Bunga Dan Riba
Edisi: 26/20 / Tanggal : 1990-08-25 / Halaman : 40 / Rubrik : KL / Penulis : RAHARJO, M DAWAM
RIBA adalah sebuah gejala universal. Demikian pula larangan dan sikap anti-riba yang sudah terdapat dalam semua peradaban kuno. Islam, seperti tercermin dalam pandangan formalnya, adalah satu-satunya agama dunia yang paling gigih mempertahankan sikap itu hingga kini, walaupun beroperasinya lembaga perbankan, dengan sistem bunga, sudah merupakan realita di Dunia Islam.
Larangan riba sebenarnya sudah terdapat dalam Kode Hukum Musa yang dianggap sebagai ajaran anti-riba tertua. Dalam masyarakat Yunani Kuno, Plato dan muridnya Aristoteles dengan keras enentang praktek riba. Riba, yag disebut rokos, artinya turunan makhluk organik, dikatakan oleh Aristoteles bertentangan dengan hukum alam, karena uang adalah "alat pertukaran dan sekali-kali bukan obyek organik yang dapat melahirkan mata uang baru".
Ajaran agama dan pemikiran para filsuf memang sudah jelas. Tapi praktek riba sulit dilarang. Karena itu, para penguasa bertindak pragmatis. Raja-raja Yunani, Solon dan Justinian umpamanya, mengeluarkan peraturan yang membatasi besarnya atau menetapkan perbedaan suku bunga di antara sektor-sektor kegiatan ekonomi. Solon mengurangi tingkat bunga sektor pertanian. Undang-undang Roma mengenal Dua Belas Tabel suku bunga sampai tingkat maksimum 10% per bulan.
Pada tahun 342 S.M. keluar Lex Genucia yang melarang riba. Adanya pengecualian, misalnya kredit untuk perdagangan maritim, memberi peluang terhadap penyimpangan UU tersebut. Akhirnya Justinian hanya bisa mengatur dengan pembatasan saja, misalnya 6% untuk kredit umum, 8% untuk perajin dan pedagang, 5% untuk orang yang berpangkat tinggi, dan 12% untuk perdagangan maritim yang sangat menguntungkan pada waktu itu.
Pada Abad Pertengahan larangan anti-riba dihidupkan kembali berdasarkan kombinasi ajaran agama Kristen (lihat Kitab Perjanjian Baru, Lukas VI: 34, 35) dan pemikiran para filsuf. Hampir seribu tahun berlaku pengertian dan paham bahwa setiap tambahan terhadap modal yang dipinjamkan adalah riba yang dilarang.
Larangan itu tidak hanya berdasarkan moral agama, tetapi juga karena kenyataan sosial bahwa, dalam perekonomian sederhana, pinjaman umumnya dipergunakan untuk konsumsi oleh orang miskin. Akibatnya, pinjaman tidak pernah menolong orang miskin dari kesulitan, malah sebaliknya. Seseorang bisa kehilangan kemerdekaannya karena gagal membayar utang. Di lain pihak, dalam situasi di mana kesempatan usaha sangat terbatas pada masa Abad Pertengahan di Eropa, pembungaan uang adalah bisnis yang sangat menguntungkan dan mudah dijalankan.
Bisnis kredit, ternyata, adalah spesialisasi orang-orang Yahudi. Padahal, doktrin larangan riba mula-mula berasal dari syariat Musa sendiri. Syariat ini memang khusus berlaku di kalangan Bani Israil, sendiri. Hukum itu sebenarnya berlaku umum. Tapi kenyataan yang terjadi adalah bahwa larangan membungakan uang…
Keywords: Dawam M. Raharjo, Larangan Riba, Lex Genucia, Mujadid Agung Kristen, Thomas Aquino, William Petty, Jeremy Bentham, Syafruddin Prawiranegara Kasman Singodimedjo, Mohammad Hatta, Ahmad Muflih Saefuddin, Murasa Sarkanipura, 
Artikel Majalah Text Lainnya
OPEC, Produksi dan Harga Minyak
1994-05-14Pertemuan anggota opec telah berakhir. keputusannya: memberlakukan kembali kuota produksi sebesar 24,53 juta barel per…
Kekerasan Polisi
1994-05-14Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi perlu dicermati. terutama mengenai pembinaan sumber daya manusia…
Bicaralah tentang Kebenaran
1994-04-16Kasus restitusi pajak di surabaya bermula dari rasa curiga jaksa tentang suap menyuap antara hakim…