Ketika Cina Berlumuran Darah

Edisi: 43/19 / Tanggal : 1989-12-23 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :


Berita dari Cina selalu menarik. Apalagi ketika tentara menembaki para demonstran di bulan Juni lalu. Banjir darah itu tak mengakhiri pergulatan kekuasaan. Masih belum ada kesatuan pendapat di kalangan pimpinan tentang bagaimana Cina mesti dikelola, baik secara politis maupun ekonomis. Siapa yang harus dipecat dan siapa yang posisinya akan anik. "Banyak orang yang tadinya yakin pada komunisme jadi kecewa," tulis Nicholas D. Kristof dalam The New York Times Magazine bulan November lalu. Berikut tulisan selengkapnya.

HU YAOBANG punya cara sendiri untuk segala hal. Pada usia 14 tahun ia kabur dari rumah untuk bergabung dengan Partai Komunis. Pada 1986, sebagai pemimpin Partai ia mengatakan kepada Deng Xiaoping bahwa mungkin sudah saatnya orang tua itu mengundurkan diri. Tahun ini, setelah ia kena serangan jantung ketika sedang menghadiri sidang Politbiro, dokter menasihatinya untuk beristirahat total selama satu minggu. Namun, Hu dalam usia 74 tahun, membenci tempat tidur. Pada 15 Maret, seminggu setelah serangan jantungnya, ia memaksa badannya yang kecil bangkit. Ternyata, itu berakibat fatal. Jantungnya dibetot lagi, ia pun pingsan lalu meninggal.

Serangan jantung Hu adalah awal serangkaian sergapan terhadap Cina. Kematiannya disusul oleh serbuan penduduk ke jalan-jalan di Beijing, antara bulan April dan Mei lalu. Mereka memprotes korupsi yang makin parah dan menuntut lebih banyak hak-hak demokrasi. Hu diangkat jadi lambang. Tujuh minggu yang penuh gelora, bagai mengubah warna Daratan Cina, tapi tiba-tiba saja segalanya berhenti. Dini hari, pada 4 Juni, selagi dunia terpesona, tank-tank milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) menggelinding ke Lapangan Tiananmen. Pasukan jalan kaki berderap mengoyak dinding manusia itu. Ribuan orang terluka, ratusan mati.

Bersama banjir darah itu, terjadi sebuah drama rahasia, yang kemudian menentukan segalanya. Panggungnya bukan di jalanan, tapi di Zhongnanhai -- kompleks perumahan tertutup, beberapa ratus meter dari Tiananmen. Di vila-vila indah yang dihuni kebanyakan pemimpin Cina. Tepatnya di kediaman Deng Xiaoping.

Perebutan kekuasaan para pemimpin ambisius yang menentukan masa depan Cina itu berlangsung di belakang layar. Gema pertentangan tersebut masih bergaung sampai sekarang. Hari depan Cina kini adalah hasil perundingan tersebut.

Pemain utama dalam tragedi itu Zhao Ziyang. Pada 1987 ia menggantikan Hu Yaobang sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC). Politikus lihai yang sering meluap-luap itu memiliki otak yang tajam bagaikan pisau silet. Ia diharapkan akan menggantikan Deng Xiaoping sebagai pemimpin tertinggi Cina. Namanya hampir identik dengan prinsip ekonomi Deng yang "membuka diri" terhadap dunia luar. Ia dikelilingi tokoh-tokoh terbaik, sarjana-sarjana muda usia yang paling brilyan di seluruh Cina. Mereka berasal dari lembaga-lembaga think tank yang ada di Beijing. Mereka bagai cip otak Zhao dengan usulan-usulan demi perubahan ekonomi dan politik di Cina. Zhao pun jadi Camelot Cina.

Menjelang musim panas 1988, pelindung para pakar muda ini mulai diintai bahaya. Inflasi dan korupsi merajalela, rakyat sakit gigi. Banyak pejabat Partai yang lebih senior menganggap Zhao terlalu "darah tinggi". Mereka gemas ketika Zhao bermain-main dengan gagasan berbau bidah (menentang arus): membebaskan harga dan menjual BUMN-BUMN kepada swasta. Kritik terhadap Zhao atas nama menyelamatkan revolusi dan negara mulai terdengar. Di awal tahun ini, rekan-rekan Deng yang paling berpengaruh, terutama Chen Yun, jenius berusia 84 tahun itu, secara resmi menyarankan agar Zhao digeser. Itulah posisi Zhao ketika pendahulunya, Hu Yaobang, semaput di Rumah Sakit Beijing. Dan tragedi mulai.

Disuntik oleh kabar ajal Hu Yaobang, pada 19 April, para mahasiswa mulai menggantungkan poster sebagai tanda dukacita. Serangan terhadap para pemuka Partai pun terdengar. Hu bagi para mahasiswa adalah simbol perubahan. Jauh sebelum fajar, ribuan mahasiswa bergerak ke Tiananmen. Hanya dalam beberapa hari, mereka berhasil menduduki lapangan itu dan mengancam hendak masuk ke Zhongnanhai.

Pada pekan pertama itu, kebetulan saya sempat tiga kali makan siang dengan para pembantu Zhao. Faksi yang kemudian berkuasa di Beijing kelak menuduh bahwa sejak semula Zhaolah otak demonstrasi mahasiswa itu. Ia dituduh menggerakkan mahasiswa, dengan tujuan merebut kekuasaan. Padahal, tak satu pun dari tokoh-tokoh itu yang berpikir tentang mahasiswa.

Bahkan ada kesan dengan terang-terangan menyepelekan. "Mereka bukan apa-apa," kata salah seorang dengan ringan. "Segalanya akan segera berakhir." Mereka menganggap protes itu hanya satu dari banyak soal yang membuat bos mereka pusing. Tapi seperti juga faksi-faksi lain, faksi Zhao kemudian dibuat bingung oleh aksi mahasiswa.

Sementara itu, di sebelah barat Tiananmen, para pejabat Kota Praja Beijing mulai merasa terganggu oleh tingkah laku mahasiswa. Wali Kota Beijing Chen Xitong dan pemuka Partai lokal Li Ximing memerintahkan stafnya menyusun laporan untuk pekik mahasiswa yang tak masuk akal: tuntutan agar Deng Xiaoping mengundurkan diri.

Pada 23 April Zhao Ziyang memulai perjalanan ke Pyongyang, Korea Utara, yang memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Para penganut garis keras lalu memegang kendali untuk menentukan segala kebijaksanaan.

Komite Tetap Politbiro bersidang pada 24 April, untuk membicarakan huru-hara mahasiswa. Sidang yang diketuai oleh Li Peng itu -- saingan utama Zhao -- memutuskan Partai harus bertindak tegas terhadap demonstrasi.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua Mercedes Benz melesat dari Zhongnanhai menuju ke utara. Tak menggubris tanda "dilarang masuk" kedua limusin itu membelok ke sebuah gang kecil di sebelah selatan Gerbang Dianmen. Sekelompok penjaga dari pasukan elite mempersilakan Li Peng, 60 tahun, dan Presiden Yang Shangkun, 82 tahun masuk melalui gerbang lain yang terbuat dari baja. Itulah tempat kediaman orang paling sakti di Cina, Deng Xiaoping.

Mereka menemui muka Deng keruh. Ia sangat terganggu oleh kerusuhan Tiananmen dan cemas kalau keadaan memburuk. Dikatakannya negeri-negeri sosialis lain yang begitu toleran dalam menghadapi kekacauan sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Contohnya Polandia. Ia memuji-muji para penguasa Republik Soviet Georgia yang telah mengambil tindakan tegas terhadap semua bentuk pembangkangan.

Akhirnya Deng mengatakan kepada kedua tamunya bahwa TPR harus masuk ke kota dan menindas semua bentuk demonstrasi. "Kita tak usah khawatir dengan kemungkinan darah tumpah," kata Deng. "Kita tak usah takut dengan reaksi internasional." Seorang penulis…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…