Kamboja, Atau Petasan Penderitaan...
Edisi: 22/18 / Tanggal : 1988-07-30 / Halaman : 49 / Rubrik : SEL / Penulis :
The Killing Fields, film yang melukiskan kesengsaraan di Kamboja, di zaman Khmer Merah, tak selesai di layar putih. Derita itu berlanjut, terus, di kehidupan nyata Kamboja dan di kamp pengungsi di Muangthai.
Negeri yang tercabik-cabik inilah yang dicoba dibenahi lewat sebuah konsperensi tak resmi yang bernama Pertemuan Informal Jakarta, di Bogor, awal pekan ini. Adapun tiga bagian tulisan berikut disusun dari tulisan di The New York Times Magazine, yang merupakan reportase Barbara Crossete, wartawan majalah tersebut di biro Bangkok. Ditambah, laporan Asiaweek belum lama ini.
SOK Kael seorang pelawak. Tapi ia tak bisa melucu lagi. Pertikaian terus-menerus di negerinya menyeret Sok Kael ke dunia yang jauh dari lawakan: terdampar ke barak pengungsian di negeri orang. Sementara itu, negerinya sendiri telah terpuruk menjadi salah satu negara paling miskin di dunia.
"Kamboja tengah sekarat," kata seorang pendeta Budha. Dan Kamboja itulah negeri Sok Kael, negeri yang kini tampak berantakan. Gedung-gedung terbengkalai. Pembangunan terhenti. Luka akibat perang tak kunjung kering: candi terkenal Angkor Wat rusak berat, baliho yang menggambarkan pembunuhan masal rezim yang lampau terpampang di jalan, tumpukan tulang dan tengkorak korban menjadi obyek tontonan, dan kutukan terhadap Pol Pot, pemimpin Khmer Merah yang sadistis itu, terus terdengar.
Perekonomian pun buruk. Pertanian -- merupakan tumpuan utama -- berjalan seadanya. Produksi beras 1,5 juta ton pada tahun lalu sudah merupakan kemajuan yang berarti. Apalagi bila dibandingkan dengan panen tahun 1982-1983, ketika kekeringan mencengkeram Kamboja.
Sok Kael seorang pelawak. Namun, ia pasti tak akan tega menertawakan keadaan negerinya. Suasana kota suram. Setiap kali jam menunjuk pukul 9 malam, kesenyapan menyergap. Bila malam tiba, Phnom Penh bisa dibilang sebagai ibu kota negara tersunyi di dunia.
Jangan tanyakan industri di sana. Kegiatan sektor itu masih jongkok. Yang layak disebut pabrik hanyalah sebuah pabrik tekstil di Phnom Penh. Di situ ditampung sekitar 750 orang pekerja saja. Target produksinya tahun ini, 2,5 juta lembar sarung. Itulah Kamboja, sebuah negeri yang tercabik-cabik.
Bagi seorang luar, negara Kamboja amatlah serupa dengan rangkaian petasan yang entah berapa panjangnya. Gerakan gerilyawan komunis dan keberhasilan Vietkong menumbangkan pemerintah Vietnam Selatan adalah udara panas yang membikin kering dan menjadikan mercon itu siap meledak. Sedang yang menyulutnya adalah Amerika Serikat. Amerika menggunakan pimpinan tertinggi angkatan bersenjata Kamboja, Jenderal Lon Nol, untuk menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Norodom Sihanouk. Sejak itu Kamboja terus-menerus meledak sampai entah kapan.
Sihanouk telah tersingkir. Lon Nol tidak tahan lama berkuasa. Lalu tampillah Pol Pot bersama Khmer Merah-nya ke pentas kekuasaan, menjungkirkan Lon Nol yang boneka Amerika itu. Pol Pot adalah figur yang tepat untuk meremuklantakkan negerinya. Barangkali ia memang lupa bahwa dirinya telah menjadi pimpinan negara. Pol Pot masih saja melangkah seperti ketika ia memainkan peran sebelumnya: kepala gerombolan pemberontak. Ia tetap tak punya hati. Hanya ada satu kata yang digemarinya. Revolusi.
Khmer Merah memang berhasil memerahkan negerinya. Banjir darah terjadi di mana-mana. Kematian, bagi warga Kamboja waktu itu, menjadi acara rutin sehari-hari lebih daripada sarapan pagi. Ratusan ribu, bahkan jutaan orang, menerima kematian dengan terpaksa. Oleh bom, granat, ranjau, peluru, bayonet, pentungan, pukulan, atau kelaparan.
Kamboja pun berubah menjadi pentas yang paling mengerikan dan memilukan. Kamboja adalah ladang pembantaian. Tak ada waktu tenang bagi kaum intelektual untuk lepas dari teror: pagi, siang, atau malam. Tentara Khmer Merah bisa datang setiap saat, membawa penduduk pergi, tanpa pernah kembali lagi. Kamboja adalah negara gerombolan.
"Dari 40 siswa yang kuajar, kurang dari sepuluh yang masih hidup," kata Dam Soaun, seorang wakil kepala sekolah di Phnom Penh. Kamboja pernah punya 25 ribu guru. Tapi begitu Pol Pot berkuasa, tahun 1975, angka itu melorot drastis. Menurut Dam Soaun, hanya ada 5 ribu guru yang lolos dari kematian. Itu pun setelah melewati penderitaan pahit. Salah seorang di antaranya adalah Dam Soaun sendiri.
Mungkin Pol Pot memang punya sisi gelap dalam hidupnya. Ia membenci pendidikan. Dan itu tak cuma ia lampiaskan dengan membunuhi para guru, tapi juga menghancurkan sekolah. Ada sekitar 6 ribu sekolah yang dirobohkan pasukannya. Sekarang, saat bel berdentang, murid-murid pun terpaksa berjejalan menuju sekolah-sekolah tersisa.
Nasib dunia kesehatan tak lebih baik dari dunia pendidikan. Hampir 800 rumah sakit hancur total. Dan dokternya? Mereka tak lebih dari sekadar sasaran bayonet. Sebelumnya ada 500 dokter di Kamboja. Sesudah kemelut, tinggal 45 dokter. Yang lain bisa dipastikan tewas terbunuh atau dibunuh.
Gerakan Pol Pot memang gerakan gerilyawan komunis sejati. Tak perlu kaum cendekia, tak perlu teknokrat, apalagi pemilik modal untuk membangun negeri. Mereka hanya memerlukan kerja massa, bila perlu dengan todongan senjata -- dan kenyataannya memang hanya dengan moncong senapan di punggung orang-orang mau kerja sukarela. Dengan cara itulah Pol Pot membangun Kamboja.
Massa dikerahkan untuk membangun jaringan irigasi. Maunya sehebat yang telah dibangun Kerajaan Angkor -- zaman baik yang dilukiskan oleh utusan Cina pada tahun 1296 sebagai "negeri dengan panen tiga empat kali setahun, padi mudah didapatkan, perdagangan lancar, dan banyak wanita".
Tentu saja itu tak mudah, mengingat sisa-sisa kualitas ketenagaan. Seorang penduduk, Heng Siu Heing, ingat: ia harus bekerja selama 16 jam sehari untuk membikin saluran irigasi, dan hasilnya praktis sia-sia. Tak ada tenaga ahli lagi di sana. Terlalu banyak ahli irigasi yang dibunuh Khmer Merah. Lainnya pergi mengungsi.
Ketiadaan ahli adalah petaka: Kadang kanal yang dibangun terlalu kecil, lalu air pun melimpah ke luar. Kadang juga terlalu lebar, sehingga air lebih banyak merembes ke tanah. "Tapi selalu ada paksaan untuk membangun cepat, tak peduli macam apa. Jika tak kau lakukan, Khmer Merah pun membunuhmu," kata Heng, yang kini menjadi pimpinan lapangan proyek irigasi Kandal Stung.
Petasan Kamboja terus-menerus meledak. Pada 1979, terjadi ledakan yang terlalu berarti untuk bisa disepelekan oleh sejarah. Pol Pot, yang begitu tajam kukunya itu, terjungkal. Masyarakat membenci langkah kejam Pol Pot. Sejumlah orang komunis lain pun tak suka kepadanya. Lalu, gerilyawan komunis yang berkiblat ke Vietnam mulai menguasai keadaan. Perlahan mereka mendesak, menumbangkan, dan memaksa Pol Pot kabur…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…