KETIKA NASIB BANGSA DIPERBINCANGKAN DI...

Edisi: 14/18 / Tanggal : 1988-06-04 / Halaman : i / Rubrik : REF / Penulis :


AKIRA NAGAZUMI

Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa

20 Mei diperingati sebaga Hari Kebangkitan Nasional. Di bawah ini dikisahkan sejarah, cita-cita dan tantangan terhadap Budi Utomo.

DEWASA ini Budi Utomo dipandang sebagai organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Namun, penduduk pribumi berusaha menghubungkannya dengan organisasi organisasi yang ada sebelum 1908. Majalah Retnodhoemilah, yang pertama terbit 1895, dan Pewarta Prijaji, yang muncul lima tahun kemudian, mencerminkan adanya hasrat di kalangan elite pribumi untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri.

Walau nomor-nomor awal Retnodhoemilah disunting oleh seorang Belanda, dan orang Jawa sendiri tidak banyak berperanan, majalah ini diterbitkan dalam bahasa Melayu dan Jawa. Isi majalah sebagian besar membicarakan masalah kondisi penduduk Jawa yang memburuk dengan perhatian khusus pada kalangan priayi, jelas ditujukan bagi pembaca elite pribumi. Orientasi seperti ini bahkan lebih kentara pada Pewarta Prijaji.

Sementara oplah kedua majalah ini tidak diketahui, pada 1903, persatuan pembaca Pewarta Prijaji terbentuk di ibu kota tujuh belas keresidenan di Jawa dan Madura, dengan tiga puluh cabang di ibukota kabupaten. Kelompok ini tersebar merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anggota perkumpulan terutama berasal dari priayi lapisan bawah: pemangku jabatan juru tulis kontrolir kolonial, juru tulis asisten residen dan pejabat pengadilan, atau priayi yang menjabat wedana, asisten wedana, jaksa, dan polisi. Sesudah 1901, suara Retnodhoemilah mengalami perubahan mencolok yaitu sejak keredaksian diserahkan kepada Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Baik dalam kedudukanny sebagai redaktur, maupun belakangan juga melalui usahanya sendiri, Wahidin memainkan peranan penting dalam penggalakan pendidikan dan penyadaran terhadap orang Jawa, dan juga menjadi penganjur utama bagi berdirinya Budi Utomo.

Lahir 1857 di salah satu keluarga tertua yang bermukim di Desa Mlati, di kaki Gunung Merapi, dekat Yogyakarta, Wahidin termasuk golongan priayi desa, seperti ditunjukkan oleh gelarnya yang sederhana: Mas Ngabei. Karena Mlati terletak tidak jauh dari Yogyakarta, maka banyak bangsawan pribumi dan orang Eropa melewati desa ini, baik untuk alasan dagang maupun alasan wisata. Pendatang yang terkesan oleh kecerdasan Wahidin menganjurkan agar anak itu disekolahkan. Wahidin salah seorang di antara murid pribumi pertama yang diterima di sebuah sekolah dasar Eropa.

Tahun 1869, Wahidin meneruskan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Ia membuktikan dirinya sebagai siswa yang pandai, sehingga diangkat menjadi asisten pada 1872. Beberapa tahun kemudian Wahidin melepaskan jabatannya, dan kembali ke Yogyakarta sebagai pegawai kesehatan pemerintah sampai September 1899. Tahun 1901, ia menjadi redaktur Retnodhoemilah.

Nama harum Wahidin bukan hanya didukung oleh kecakapannya sebagai ahli kesehatan. Ia juga dihormati sebagai orang yang rendah hati dan berpekerti halus, yang mampu memadu pendidikan Barat yang diterimanya dengan unsur-unsur terbaik dalam tradisi Jawa. Ia juga dikenal sebagai juru karawitan yang mumpuni, pandai memainkan banyak gending di luar kepala dengan gamelan apa saja, dan sebagai dalang wayang kulit kepandaiannya hanya kalah oleh dalang profesional.

"Harmoni" merupakan tema tetap tulisan dan ceramah Wahidin. Ia sendiri cukup luwes mempertahankan ketaatannya kepada budaya tradisional, tapi siap menyesuaikan diri dengan politi kolonial yang sehat. Ia melihat adanya semacam perhatian terhadap kesejahteraan penduduk pribumi, yang telah memungkinkan dirinya menjad seorang dokter. Bagi Wahidin, sebagai anggota golongan priayi bawahan yang berpendidikan Barat, politik etis lebih banyak memberikan janji ketimbang kekecewaan.

Sebagai redaktur Retnodhoemilah, Wahidin berusaha berkomunikasi dengan kalangan luas penduduk pribumi. Maka, dalam edisi pengangkatannya, ia mengumumkan, selanjutnya Retnodhoemilah tidak hanya diterbitkan di dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa Melajoe sedang bukan bahasa Melayu tinggi seperti yang sudah, sehingga pembaca Jawa bisa menangkap isinya dengan mudah. Selanjutnya, ia mengubah isi secara radikal. Rubrik luar negeri diperluas, dan laporan-laporan terinci mengenai Peristiwa Bokser di Cina, Perang Boer, dan kejadian-kejadian luar negeri lainnya menjadi berita utama.

Karangan-karangan dalam Retnodhoemilah berangsur-angsur berubah, dari bernada pasif menjadi aktif. Pada salah satu nomor, seorang penulis bernama Darat berkeluh-kesah tentang kemelaratan saudara-saudaranya setanah air dibandingkan dengan taraf hidup para pendatang Jepang, Cina, dan Arab, mencoba menggugah mereka agar mengikuti jejak para pendatang itu.

Walau dalam karangan-karangan sebelumnya pun tidak pernah disebut-sebut secara khusus soal organisasi para imigran Cina di Batavia, yang didirikan pada 1900, peristiwa itu menimbulkan kesan mendalam bagi masyarakat pribumi. Perkumpulan tersebut, Tiong Hwa Hwe Koan, dibentuk sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899, yang memberikan kedudukan pada bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa.

Kedua perkembangan ini telah menggugah kaum terpelajar Jawa untuk berdaya upaya mempersatukan diri mereka. Sebuah karangan dalam Retnodhoemilah, 4 Januari 1901, menyambut berdirinya perkumpulan Mardiwara (Berupaya):

Walau Mardiwara baru saja berdiri, jumlah priayi yang menjadi anggotanya sudah mencapai lebih dari seratus orang. Kecuali para pembesar dari kalangan kesultanan Yogyakarta, Mardiwara juga beranggotakan para pejabat di luar itu.

Walau organisasi ini kelihatan lebih bersifat persaudaraan ketimbang bersifat gerakan, toh menarik diperhatikan karena inti persatuan adalah kesultanan Yogyakarta, dan anggotanya seratus orang lebih, yang terdiri atas para pembesar pribumi. Sukar ditebak, apakah yang dimaksud Toemenggoeng Danoekoesoemo dengan "tanda kehormatan bagi kerajaan" kebesaran Negeri Belanda, ataukah kebesaran Mataram prakolonial. Tetapi bagi para pejabat yang berwawasan kepangkatan itu, kiranya tidak akan banyak berbeda arti.

Biarlah kaum kolot tinggal di hutan belantara dan bersemadi sesuka hati, sampai maut merenggut jiwa raga mereka. Karena zaman modern menuntut kemajuan dan perbaikan syarat-syarat kehidupan, maka marilah kita mengambil langkah tegas. Agar kaum muda tidak mempunyai alasan untuk menertawakan mereka yang ada di tengah-tengah kaum muda dan kaum tua, yang berdiri mengempang jalan kemajuan.

Meminta bantuan keuangan dari orang-orang Jawa yang berharta, penulis menunjuk pada pengalaman masa lalu, hampir semua organisasi bangsa Jawa mati karena ketiadaan dana. Dengan sedikit pedas ia menutup karangannya:

Maka, menjadi jelas, apabila tidak ada seorangpun bersedia menyokong gagasan ini, penulis hanya bisa menyimpulkan bahwa bangsa Jawa memang belum menghendaki kemajuan, dan imbauan yang terkadang muncul di koran-koran itu sekadar buah bibir belaka, sementara di jantung hati mereka masih bersemayam pikiran-pikiran kolot. Jika memang demikian halnya, penulis pun akan bungkam seribu bahasa.

Pendirian Wahidin selama tahun-tahun awal menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan. Hal ini kelak dengan jelas diuraikan Soewardi Soeryaningrat, tokoh terkemuka dalam awal gerakan kebangsaan Indonesia dan pendiri perguruan Taman Siswa, dalam catatan kenangan untuk Wahidin. Apa yang menurut Wahidin diperlukan ialah pendidikan secukup-cukupnya bagi masyarakat pribumi, dan mempertinggi kesadaran kebangsaan di kalangan orang Jawa.

Perjuangan hidup mati yang terhampar di hadapan orang Jawa ialah memilih satu di antara dua: berjuang atau hancur. Dan Wahidin berpendapat, mereka harus bersiap sedia menghadapi perjuangan mendatang dengan jalan menyebarluaskan pendidikan.

Dalam mempropagandakan masalah pendidikan Wahidin berpendapat, paling tepat dengan melakukan pendekatan pertama kepada mereka yang bisa memahami bahasa ibu, yaitu masyarakat Jawa. Kendati pada 1901 ia menekankan pentingnya bahasa Melayu sebagai perantara, ia cenderung memotong bahasa ini. Alasannya:

Jika tertulis dalam bahasa Melayu, banyak kaum priayi Jawa tidak akan bisa memahaminya, walau mereka mengerti bahasa Melayu pasar. Jika yang dipakai bahasa dan aksara Jawa, bahkan lurah pun akan mengerti. Malah mandor dan kulit pun bisa mengerti.

Sejalan dengan pendiriannya ini, kebanyakan karangannya yang jelas bercorak kebangsaan dalam Retnodhoemilah, hanya terbit dalam edisi berbahasa Jawa, dan tidak pada edisi Melayu.

Terpusat pada pegawai pemerintah pribumi sebagai sasaran pokok kegiatannya, Wahidin mulai melancarkan propaganda besar-besaran tentang pemberian beasiswa bagi anak-anak muda pribumi yang pandai pada 1906. Ketidaksabarannya yang semakin memuncak menghadapi tanggapan dingin masyarakat Jawa itulah yang telah menggugahnya melakukan tindakan yang lebih nyata. Pada November tahun itu jugaj dengan alasan kesehatan pribadi, ditinggalkannya jabatan ketua redaksi Retnodhoemilah untuk mencari kebebasan berkiprah lebih besar.

Dalam propagandanya, Wahidin bersama dengan Pangeran Aria Noto Dirodjo, putra Pakualam V. Wahidin mempunyai hubungan erat dengan keluarga Pakualam selama bertahun-tahun, karena juga mereka dikenal sebagai pendukung aktif pendidikan Barat. Tetapi semangat kedua tokoh ini sama sekali tidak bisa mengatasi masalah yang menyangkut umur masing-masing - Wahidin, 51 tahun, dan Noto Dirodjo satu tahun lebih muda. Selain itu, juga masalah pembiayaan untuk kegiatan mereka tersebut.

Wahidin lalu mendekati priayi lebih tua dan lebih tinggi, khususnya para bupati yang kaya dan berpengaruh, tetapi tak banyak di antara mereka itu yany menaruh minat pada usahanya. Di sana-sini terkadang Wahidin harus menghadapi tentangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya sebagai hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku. Setengahnya lagi berpaling muka semata-mata karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja.

Kendati demikian, perjalanan kampanye itu tidak gagal sama sekali. Setidak-tidaknya telah terbuka kemungkinan kerja sama dengan para pejabat pribumi, khususnya di Jawa Tengah. Di beberapa daerah, sejumlah priayi bahkan terang-terangan menyokong usahanya.

Belakangan ia menceritakan pengalamannya dengan seorang asisten residen kepada temantemannya. Asisten residen ini dengan keras menolak kampanyenya, sehingga para priayi di daerahnya menjadi takut berjumpa dengan Wahidin. Tanpa takut, ia memutuskan menghadap asisten residen secepatnya.

Setelah masuk ke kantor asisten residen, Wahidin berdiri mematung di sana sampai sang asisten residen berpaling kepadanya. Dengan berpura-pura ketakutan, ia mengendap-endap di depan meja pembesar itu. Ia tidak melalaikan kata-kata penghormatan sepatah pun. Asisten Residen menjadi lunak, secercah senyum terbit di wajahnya. Lalu berkatalah pembesar itu: "Dokter, rencanamu harus disokong sebesar-besarnya. Anda harus bicara di depan rapat, agar semua pegawai saya bisa mendengar kata-kata Anda sendiri."

Dengan dengan bantuan asisten residen yang semula berniat menggagalkan rencananya itu, ia berhasil mendapat dukungan yang luar biasa besar.

Sudah tentu Wahidin tidak selalu berhasil. Tetapi pembawaannya yang tenang dan meyakinkan menimbulkan kepercayaa pada setiap orang yang dijumpainya, dan sangat membantu terhadap pertemuannya yang paling penting, yaitu dengan muridmurid STOVIA. Sesungguhnya Wahidin sama sekali tidak bermaksud singgah di STOVIA. Pada akhir 1907 ketika itu ia hanya ingin beristirahat di Batavia, sesudah dari perjalanannya yang panjang. Selagi ia di sana, Soetomo dan Soeradji tiba-tiba saja memutuskan hendak mengundang dokter itu dan mendengarkan gagasan-gagasannya. Mereka temyata tergugah oleh semangat orang tua itu.

Mengenang pertemuan pertama itu dalam memoarnya Soetomo menulis:

Yang membikin saya terkeJut dan tertarik ialah perangai dan pikiran dokter tua ini. Ia mampu memusatkan kegiatannya dan mengatasi rintangan-rintangan yang terus-menerus mengalangi cita-citanya. Saya berhadapan dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo, yang berwajah tenang tapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, dan membuka dunia baru yang melipur jiwa saya yang terluka dan sakit.

Berbicara dengan Dokter Wahidin merupakan pengalaman yang sangat mengharukan. Orang akan dengan mudah tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini.

Baik Soetomo maupun Soeradji lahir tahun 1888, dan berumur sekitar 20 tahun, duduk di kelas lima, pada waktu mereka bertemu Wahidin. Keduaduanya masuk sekolah ini 10 Januari 1903, walaupun, ironisnya, mereka tidak berniat masuk sekolah kedokteran. Dengan agak sinis Soetomo melukiskan bagaimana ia menjadi siswa STOVIA tanpa melalui ujian masuk:

Sebelum saya sempat berpikir menjadi dokter, ibu saya bermimpi. Dalam mimpinya, ibu melihat saya berdiri di pucuk sebatang tiang bambu.

Ibu saya bicara pada diri sendiri: "Anakku sudah bisa memperoleh cukup pendidikan untuk mencapai cita-citanya. Seandainya anakku akan menjadi priayi, maka jelas untuk memanjat tiang bambu itu memerlukan waktu yang tak terkira lamanya. Padahal, anakku masih bersekolah. Jadi, apa kiranya makna mimpi itu?"

Maka, dimintanya Pak Soeto, bekas gurunya, datang menguraikan rahasia impiannya itu.

Dua hari setelah itu, mengikuti petunjuk Pak Soeto, Ibu membikin selamatan. Telegram datang memberitakan kepadanya bahwa saya telah dipilih menjadi (murid untuk belajar sebagai) dokter tanpa harus menempuh ujian wajib.

Kisah ini merupakan contoh jelas untuk pendapat Wahidin, tentang orang Jawa rata-rata yang memandang rendah pada jabatan-jabatan kekaryaan (keprofesian), walaupun jabatan-jabatan demikian semakin lama semakin tergolong di dalam kepangkatan priayi. Bagi ibu Soetomo tiang bambu bisa diartikan priayi, tapi tak seorang pun dari mereka pernah menduga tentang kemungkinan dirinya akan bisa menjadi dokter Jawa.

Sama halnya pengalaman Soeradji. Semula ia berharap menjadi priayi, maka mendaflarlah ke OSVIA, dahulu termasuk lembaga hoofdenscholen yang direorganisasi tahun 1900 menjadi sekolah untuk pejabat pribumi. Diterangkan Soetomo:

Soeradji sebenarnya lulus ujian masuk OSVM, tetapi tidak diterima, karena ada calon lain yang lebih berbangsa ketimbang dia. Ini aturan yang sama sekali tidak demokratis, tetapi barangkali cocok bagi segolongan tertentu sepertipara pejabat pemerintah Eropa itu. Mereka menganggap bahwa kepandaian, kecerdasan, dan kelakuan belum merupakan syarat-syarat cukup bagi elite pribumi untuk memangku kedudukan yang berpangkat tinggi.

Akankah Anda mengatakan aturan demikian konsentatif dan kolot? Tak perlu saya berkomentar. Tetapi saya pikir, yang penting agar orang menjadi sadar bahwa sikap yang semacam inilah yang dengan mudah membangkitkan perasaan yang akan memperlebar dan memperdalam jurang antara kita dengan pemerintah.

Walau barangkali banyak murid seperti Soetomo dan Soeradji yang pernah mencoba masuk ke sekolah-sekolah yang lebih bergengsi, bagaimanapun STOVIA merupakan sebuah dari sedikit lembaga pendidikan lanjutan yang ada saat itu, dan para muridnya pada umumnya bangga dengan sekolah tersebut. Tentang sekolah ini pernah Soetomo mengobral pujiannya:

Pendidikan dan bimbingan yang diberikan di sekolah ini sangat baik. Tidak sekadar memenuhi tujuannya untuk mencetak ahli-ahli kesehatan yang akan berguna bagi masyarakat, tetapi sekolah ini pun memberikan kemungkinan bagi para pemuda yang tak mampu meneruskan sekolahnya agar kelak memperoleh kedudukan yang sebaikbaiknya. Misalnya menjadi bupati, patih, wedana, jaksa, pegawai kantorpos, kantor pajak, BOW atau kantor pekerjaan umum, pemimpin-pemimpin bangsa, pengarang, dan wartawan.

Para siswa STOVIA, yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu, juga memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modem. Sekolah itu terletak di Weltevreden di jantung Batavia yang, sebagai kota terbesar, menjadi pusat kegiatan politik, perekonomian, dan kebudayaan di Hindia, serta merupakan pintu gerbang paling penting ke dunia luar. Juga Batavia menjadi kediaman satu kelompok intelektual nonpolitik pribumi, yang kecil tapi sedang tumbuh. Karena STOVIA pada hakikatnya merupakan satu-satunya lembaga pendidikan menengah di Batavia dan sekitarnya, maka wajarlah bila siswa-siswanya bergaul dengan kelompok intelektual ini, terpengaruh oleh ide-ide mereka.

Tokoh terkemuka kalangan intelektual ini, antara E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa dan saudara jauh Multatuli, penulis novel terkenal Max Havelaar itu. Douwes Dekker saat itu redaktur surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad. Karena ia tinggal dalam jarak seperjalanan kaki saja dari sekolah itu, rumahnya biasa dipakai sebagai "tempat berkumpul sekaligus perpustakaan dan ruang baca" bagi para siswa. Soetomo menulis tentang Douwes Dekker:

Hubungan saya dengan Douwes Dekker akrab dan bersahabat, Karena itu, rumahnya selalu terbuka bagi saya. Douwes Dekker seorang sahabat yang selalu teguh dan setia dalam membantu kami melalui surat kabarnya, walaupun cita-citanya, yang kemudian menjelma di dalam (Indische) Partij, tidak dianut di kalangan kami.

Menurut D.M.G. Koch, seorang sosialis Belanda yang selama setengah abad tinggal di Hindia, Douwes Dekker menyimpan gagasan untuk mendirikan sebuah partai, tempat bangsa Indonesia dan Indo-Eropa bekerja sama demi "kemerdekaan" sejak 1907. Jika demikian, ia pasti pernah memperbincangkan gagasannya ini dengan para siswa itu.

Dalam melukiskan Soetomo, Koch menyatakan: Ia orang yang "jujur luar biasa, walau emosional dan gampang terpengaruh . . . memang, ia bukanlah orangnya untuk siasat-menyiasat politik yang lembut dengan segala kecerdikan dan tipu daynya." Jika perangainya yang demikian itu dianggap sebagai pasiva kelak, selama tahun-tahun pertama Budi Utomo jelas merupakan aktiva. Seotomo memiliki simpanan energi yang luar biasa besarnya, dan mampu menyalakan semangat para siswa rekan-rekannya.

Selama tahun 1905- 1906 jumlah siswa terdaftar di STOVIA sebanyak 177 orang - 48 dalam kelas persiapan tiga tahun, dan 79 dalam kelas kedokteran tujuh tahun. Karena mereka tinggal bersama dalam asrama dan ruang sekolah, hubungan sangat mudah. Soetomo dan Soeradji berkeiiling, dari satu kelas ke kelas yang lain, mencari dukungan dari siswa-siswa STOVIA. Lalu segera pula mereka mulai menyebarkan edaran berisi imbauan agar perkumpulan yang serupa didirikan di. Magelang, Semarang, dan Yogyakarta.

Nama Budi Utomo agaknya sudah ditetapkan sejak awal mula. Soetomo mengatakan, "Mas Soeradji yang mengusulkan agar perkumpulan kita dinamakan Budi Utomo."

Imam Soepardi, penulis biografi Soetomo, menguraikan hal ini secara panjang lebar. Dikatakannya, ketika Wahidin berpamitan kepada kedua anak muda itu untuk meneruskan perjalanannya ke Banten, Soetomo memuji tekadnya, "Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi."

Soeradji belakangan mengusulkan agar dua patah kata terakhir dalam pendapatnya yang dinyatakan sambil lalu itu dipakai sebagai nama tetap untuk perkumpulan mereka. Walaupun kisah ini tidak bisa dibuktikan oleh sumber-sumber lain, pemilihan namanya yang spontan tersebut agaknya memang khas untuk kelahiran organisasi itu.

Biasanya Budi Utomo diterjemahkan sebagai "usaha bagus" atau "usaha mulia". Namun, penerjemahan harfiah demikian tidak bisa menangkap nuansa bahasa pribumi. Seorang sarjana berpendapat bahwa perkataan itu agaknya merupakan Kata "budi" agaknya sangat penting bagi orang Jawa. Pengertian tentang budi erat hubungannya dengan paham mengenai kesejahteraan masyarakat. Perlu diingat bahwa "seorang yang berbudi menjauhi yang bukan-bukan". Budi memberi cahaya terang ada masyarakat, tetapi tidak mengubahnya. Etos Jawa menganggap sebagai sudah layak, seseorang yang berbudi akan hidup rukun dengan masyarakatnya.

Walau kata-kata Wahidin menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap nilai-nilai Jawa tradisional, munculnya kata "budi" di dalam nama organisasi kelihatan secara kebetulan saja. Sekali peristiwa ketika para siswa STOVIA berbincang-bincang tentang kepemimpinan gerakan, mereka memberikan interpretasi progresif terhadap konsep budi. Karena jiwa kelompok mempunyai sedikit persamaan dengan orang yang "menjauhi yang bukan-bukan dan berusaha tidak ikut terlibat di dalam hal-hal yang akan membikinnya merasa susah."

Sementara itu, batasan-batasan etnis dan geografis dalam kelompok menjadi semakin tegas. Batasan-batasan ini tidak hanya mencerminkan kurangnya kesadaran akan persatuan nasional pada penduduk Indonesia secara menyeluruh, tetapi juga karena antipati yang berkepanjangan antara golongan penduduk Jawa yang pribumi dan non Jawa. Kebanggaan orang Jawa terhadap keunggulan budaya mereka atas golongan-golongan etnis lainnya di Hindia begitu meluas, sehingga tidak heran apabila siswa-siswa Jawa di STOVIA merasa ragu mengundang siswa-siswa non-Jawa ikut serta dalam gerakan mereka. Goenawan mengingatkan pada sentimen yang lazim saat itu:

Dengan orang-orang Sumatera, Manado, Ambon, dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup di bawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama ... Apakah yang kita taku tentang orang-orang senegeri kita itu? Seperti kita juga, mereka pun mempunyai sejarah, mempunyai budaya. Tetapi alangkah sedikitnya yang kita ketahui! Betapa berbedanya barangkali mereka itu dari kita. Maka, mungkin juga mereka mempunyai aspirasi yang lain dari aspirasi kita.

Tidakkah suku-suku di Nusantara yang Kristen lebih diistimewakan dari kita? Apakah orang Jawa dan orang Manado yang berpendidikan sama diperlakukan dan digaji sama ? Tidakkah penyamaannya dengan bangsa Eropa bagi mereka merupakan peristiwa sehari-hari, dan sebaliknya perkecualian yang langka bagi kita ? Tidak. Janganlah kita mencari kerja sama dengan golongan-golongan penduduk ini, walaupun mereka itu segan memberikan jawaban tidak kepada kita.

Dengan demikian, kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di dalam konsep budaya inilah kita mencari unsur-unsur yang membentuk suatu rakyat, suatu bangsa.

Organisasi untuk kaum muda Jawa ini didirikan Soetomo pada Minggu, 20 Mei 1908, pukul 09.00. Tepuk tangan gemuruh menyambut pernyataan kelahirannya. Para hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah ini, tetapi juga siswa-siswa dari sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, sekolah pamong praja pribumi di Magelang dan Probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang di Surabaya, dan sekolahsekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.

Seruan kelompok STOVIA dengan cepat tersebar di seluruh. Jawa. Walau kemudian tanggal 20 Mei in selalu dirayakan oleh bangsa Indonesia sebagai hari kebangkitan nasional, tak banyak informasi yang tersingkap mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi di aula itu. Mungkin sekali sekada merupakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah-masalah organisasi di masa datang. Bagaimanapun banyak hal penting dan mendasar dalam organisasi timbul pada hari itu. Antara lain, nama Budi Utomo, secara resmi ditetapkan dalam rapat ini.

Dalam mengorganisasikan Budi Utomo, Soetomo mempunyai banyak rekan cakap yang membantunya. Djajadiningrat mengatakan, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreng, Mohammad Saleh, dan Soelaeman disebut Wahidin sebagai tokoh yang paling banyak jasanya bagi berdirinya Budi Utomo.

Walau namanya tidak disebut-sebut, Soeradji, sebagai pembantu utama Soetomo, mencurahkan seluruh kepandaiannya dalam bahasa Jawa kromo menjelaskan tujuan organisasi kepada angkatan tua di Jawa Tengah.

Semua siswa STOVIA mulai menjadi siswa pada 1902 atau 1903. Umur mereka berkisar antara 20 dan 22 tahun, dan berasal dari Jawa Timur atau Jawa Tengah. Tak seorang di antara anggota organisasi pada tahun-tahun permulaan berasal dari Pasundan, Jawa Barat. Dengan pengecualian Soetomo, dan mungkin juga Goenawan, dua tokoh yang menyatakan bahwa mereka "tidak bisa hidup di tengah masyarakat seperti masyarakat kita yang serba santai dan leha-leha," para anggota sisanya tampaknya sangat tenang dan berkepala dingin. Suasana umum kalangan siswa STOVIA selama periode permulaan ini hampir tidak bisa dikatakan sebagai sturm und drang terus-menerus.

Beda dengan kegiatan Wahidin mula pertama dengan mengimbau kepada para pejabat pribumi senior, para siswa ini mencurahkan usaha mereka…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

R
REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM
1990-11-10

Salim said mengupas perkembangan film indonesia. dikupas berbagai jenis film yang berkaitan dengan sejarah revolusi…

D
DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA
1990-11-10

Sejarah dan perkembangan taman ismail marzuki. muncul aktor dan aktris, sejumlah sutradara dan kelompok-kelompok teaternya.…

P
PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN
1988-05-21

Kesaksian goenawan mohamad tentang peristiwa manifes kebudayaan (manikebu) di tahun 1960-an. manikebu kemudian diserang pki…