Dewi Dan Pampasan Perang
Edisi: 32/23 / Tanggal : 1993-10-09 / Halaman : 51 / Rubrik : BK / Penulis : MASASHI NISHIHARA
Bagaimana keterlibatan Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno, di sekitar pampasan perang, diungkap dalam sebuah buku yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku karya Masashi Nishihara, profesor di Akademi Pertahanan Nasional Jepang, ini judul aslinya adalah The Japanese and Sukarno's Indonesia dan oleh PT Pustaka Utama Grafiti diterjemahkan menjadi Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966. Berikut dinukil bagian-bagian keterlibatan Dewi dalam pampasan perang dan sedikit peranan yang mau diambil Dewi di sekitar hari-hari setelah G-30-S/PKI.
Pembayaran Pampasan dan Efeknya, 1958-1965
Pampasan Jepang untuk Indonesia, yang berjumlah US$ 223,08 juta, diputuskan untuk dibayarkan selama periode dua belas tahun dalam bentuk barang modal dan jasa. Sesuai dengan perjanjian pampasan, Jepang sepakat membayar US$ 20 juta setiap tahun selama sebelas tahun pertama dan US$ 3,08 juta pada tahun kedua belas.
Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek, tempat dana pampasan akan digunakan. Keenam kategori ini adalah transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan.
Secara keseluruhan, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif dibandingkan dengan aspek positifnya kalau hanya dilihat dari segi ekonomi. Banyak proyek yang tidak menerima dana yang cukup untuk menyelesaikannya. Hal ini terutama disebabkan oleh inflasi yang terjadi di Indonesia. Proyek-proyek lain dihentikan setelah Desember 1965 karena kurangnya dana.
Di antara proyek-proyek yang telah selesai dan berjalan secara efisien adalah sebuah jembatan yang melintasi Sungai Musi di Sumatera Selatan, yang diselesaikan pada Mei 1965 dengan biaya US$ 11.782.000. Sebuah proyek lain yang sukses adalah terowongan pengendali air Neyama yang dibangun di Jawa Timur. Pembangunannya dikontrakkan pada 1959 dan diselesaikan pada April 1961 dengan biaya US$ 1.972.000.
Proyek pengembangan komprehensif di daerah Sungai Brantas di Jawa Timur merupakan proyek konstruksi terbesar di antara proyek-proyek yang dibiayai dengan dana pampasan dan menjadi simbolnya. Proyek yang dikontrakkan pada tahun 1963 ini disebut dengan "Proyek 3K", yang mewakili nama-nama dari tiga sungai yang diawali dengan huruf K.
Yang pertama adalah Sungai Karangkates, anak sungai dari Kali Brantas; yang kedua adalah Kali Konto, satu cabang Sungai Brantas; dan yang ketiga adalah Sungai Kanan. Ketiga proyek bendungan menghabiskan US$ 28.352.000 dari dana pampasan. Tetapi, ketika ketiganya tidak dapat diselesaikan dengan biaya ini, tambahan kredit yen pun diberikan.
Proyek lainnya meliputi empat hotel besar di Jakarta, Pelabuhanratu (Jawa Barat), Yogyakarta, dan Bali. Hotel Indonesia berlantai 14 yang dibangun di Jakarta pada 1962 semula dimaksudkan untuk mengakomodasi para pemimpin dan wisatawan asing pada Asian Games tahun itu. Sampai 1969, hotel tersebut merupakan satu sumber devisa yang penting karena semua tamu diharuskan membayar rekening mereka dalam dolar Amerika.
Sebagai satu-satunya hotel internasional di Jakarta -- dan di seluruh Indonesia sampai tahun 1966 -- Hotel Indonesia biasanya beroperasi dengan kapasitas penuh dan menjadi pusat aktivitas sosial dan diplomatik utama di Jakarta. Hotel Indonesia, oleh karenanya, selalu sukses. Tetapi ketiga hotel lainnya, walaupun kualitasnya sama, hanya beroperasi dengan kapasitas 20 sampai 30 persen sejak pembukaannya pada 1966.
Proyek lain yang tidak feasible dan tidak praktis adalah Toserba Sarinah yang berlantai 14 dan gedung Wisma Nusantara yang berlantai 29 -- keduanya terletak di jalan utama Jakarta, Jalan Thamrin. Dibuka pada Agustus 1966, Toserba Sarinah menarik bagi bangsa Indonesia karena dipasangnya eskalator pertama di negara ini. Meskipun kualitas barang-barangnya tinggi, harganya juga tidak kalah tingginya sehingga tidak terjangkau oleh rata-rata orang Indonesia. Masa depan Wisma Nusantara juga diragukan. Kontrak pertama dilakukan pada Agustus 1964 sebesar US$ 5,8 juta, dan pembangunannya berjalan dengan baik sampai terjadinya kudeta yang gagal pada Oktober 1965.
Pada Februari 1969, Kementerian Luar Negeri Jepang mengirimkan satu misi ke Indonesia yang diketuai oleh Kitajima Takeo, bekas Ketua Komisi Fair Trade di bawah pimpinan perdana menteri. Misi Kitajima menemukan kelambatan di banyak proyek yang ada hubungannya dengan pampasan, dan sebagian ini disebabkan oleh kurangnya dana tambahan, kurangnya perawatan, kurangnya alat perlengkapan, serta pergolakan politik tahun 1965 di Indonesia.
Lobi-Lobi Pampasan, 1958-1965.
Yang bertugas menangani masalah pampasan perang di pihak Indonesia adalah Komite Pampasan Pemerintah Indonesia, yang dibentuk pada 20 September 1958. Komite ini meliputi para pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Industri, Perdagangan, Pertanian, dan Perkapalan, serta diketuai oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri dan dilaksanakan oleh Biro Pampasan dari Kementerian.
Setiap tahun, komite ini mengisi permintaan yang diajukan oleh para anggota kementerian dan menyusun daftar pesanan. Garis besar proyek-proyek ini secara umum juga disiapkan oleh Dewan Perancang Nasional, yang dibentuk pada Agustus 1959, dan kemudian oleh penggantinya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas.
Pada akhir November 1957, banyak menteri Indonesia yang sudah berkompetisi untuk alokasi dana yang sangat besar untuk proyek-proyek mereka. Satu sumber mengungkapkan bahwa Seksi Industri dari Kementerian Bidang Veteran meminta kepada Perdana Menteri Djuanda dana sebesar US$ 23 juta untuk proyek-proyek yang diusulkannya sendiri, sementara jumlah total yang dijadwalkan untuk tahun 1958-1959 hanyalah sebesar US$ 20 juta.
Menurut sumber yang sama pula, pada Mei 1958, kementerian yang sama dipaksa mengurangi permintaannya menjadi US$ 4 juta setelah diketahui bahwa kementerian lain pun telah menyerahkan permintaan mereka. Bahkan setelah itu, permintaan dari keenam belas menteri semuanya berjumlah US$ 113.927.000, hampir enam kali dari jumlah yang dijadwalkan.
Pada 29 Juli 1958, dalam suatu pertemuan antarmenteri, jumlah ini diturunkan menjadi US$ 21.318.000, dan untuk dibagikan hanya kepada tujuh kementerian. Tetapi pada saat itu Kementerian Perkapalan sudah melakukan sebuah kontrak dengan Perusahaan Dagang Kinoshita untuk sembilan kapal dengan biaya US$ 7,2 juta. Belakangan, pada Maret 1959, ketika jadwal pembayaran dan daftar order disajikan, perundingan lebih lanjut dengan Jepang hanya menghasilkan pembayaran sebesar US$ 14,28 juta, termasuk kontrak besar dengan Kinoshita. Berarti, hanya tersisa US$ 7,08 juta untuk keenam kementerian lainnya, yakni Kementerian Pertanian, Perdagangan, Veteran, Pertahanan, Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, dan Transportasi.
Pampasan merupakan hal yang menarik bagi para pengusaha Jepang karena melibatkan sejumlah besar uang. Seperti yang banyak diceritakan orang, mereka bisa dengan mudah mendesak para pengusaha Indonesia menaikkan harga produk Jepang, dan akan berbagi keuntungan yang besar dengan mereka. Terdapat kabar angin bahwa para pejabat Indonesia, biasanya pejabat tinggi, diberi komisi dari keuntungan ini atas jasanya mengizinkan Jepang menaikkan produk mereka.
Para perantara atau pelobi pampasan mewakili agen-agen pemesan, yakni dari pihak pemerintah Indonesia, dan mewakili agen pemasok dari perusahaan Jepang. Di antaranya terdapat para pedagang Cina perantauan dan "pakar Indonesia" yang mempunyai gaya tersendiri yang telah tinggal sebelum atau semasa perang di Indonesia, seperti halnya para "pakar Jepang" yang juga mempunyai gaya tersendiri.
Perusahaan Jepang menggunakan jasa para perantara ini agar kebutuhan mereka mendapat perhatian dari eselon tinggi pemerintah Indonesia. Banyak perusahaan Jepang yang mencoba menjalin hubungan langsung dengan Sukarno sendiri, istrinya yang berkebangsaan Jepang, Dewi, atau para pemimpin yang berpengaruh di lingkungan Partai Liberal Demokrat yang berkuasa.
Pada tahun 1970 sampai 1972, saya berjumpa dengan beberapa pengusaha Jepang di Jakarta yang tetap berpendapat bahwa bahkan beberapa duta besar Jepang untuk Indonesia pun sudah memberikan bantuan kepada sejumlah perusahaan tertentu selama…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Tamparan untuk Pengingkar Hadis
1994-04-16Penulis: m.m. azami penerjemah: h. ali mustafa yakub jakarta: pustaka firdaus, 1994. resensi oleh: syu'bah…
Upah Buruh dan Pertumbuhan
1994-04-16Editor: chris manning dan joan hardjono. canberra: department of political and social change, australian national…
Kisah Petualangan Wartawan Perang
1994-04-16Nukilan buku "live from battlefield: from vietnam to bagdad" karya peter arnett, wartawan tv cnn.…