EKONOMI 1987: PROSES PENYESUAIAN ...

Edisi: 11/17 / Tanggal : 1987-05-16 / Halaman : 01 / Rubrik : REF / Penulis :


TANGGAL 11 Februari 1987, Bank Dunia memberikan kepada pemerintah Indonesia pinjaman US$ 300 juta, yang dinamakan trade policy adjvstment loan. Sesuai dengan namanya, pinjaman ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah melaksanakan penyesuaian, yaitu melalui perombakan (reform) di bidang perdagangan. Dalam kaitan ini Bank Dunia akan memonitor tidak hanya kemajuan di dunia perdagangan, tetapi juga pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan.

Di waktu lalu, pinjaman serupa - tetapi yang sifatnya lebih umum - telah diberikan Bank Dunia kepada Filipina, misalnya, dan dinamakan SAL atau structural adjustment loan. Pinjaman itu sangat tidak populer - terutama di kalangan para sarjana berhaluan kiri, dan ditentang khususnya atas alasan ideologis.

Sebabnya: SAL dilihat sebagai cara pihak luar campur tangan dan memaksa Filipina melakukan liberalisasi ekonomi. Di dalam negeri Filipina usaha liberalisasi itu juga ditentang kalangan industrialisnya, yang selama itu dapat memupuk keuntungan di belakang tembok perlindungan yang tinggi. Dengan catatan itu, bagaimana kita di Indonesia seharusnya menanggapi trade policy adjustment loan ini?

Sebaiknya memang tidak secara ideologis. Sebab, memang ada alasan obyektif yang sangat kuat bagi pemerintah untuk melaksanakan penyesuaian ekonomi di berbagai bidang, bukan hanya di bidang perdagangan.

Tampaknya, masalah pokok yang dihadapi ekonomi kita dewasa ini adalah masalah penyesuaian itu. Yang perlu dipikirkan tak lain cara kita dapat melalui proses penyesuaian ekonomi ini secara baik. Penyesuaian terhadap penerimaan dari migas yang lebih rendah bukan semata-mata soal penghematan penggunaan devisa, tetapi merupakan masalah yang jauh lebih fundamental.

Sektor negara yang telah telanjur meningkatkan perannya di bidang ekonomi - selain di bidangbidang kehidupan lain - berkat melonjaknya penerimaan dari minyak di waktu lalu memang tidak mudah melakukan penyesuaian terhadap kenyataan baru yang dihadapinya. Ini mungkin bisa dinamakan "penyakit Nigeria". Selain karena ketegaran-ketegaran struktural, yang antara lain disebabkan pemerintah hampir tidak mungkin mengurangi jumlah pegawainya, masyarakat sendiri umumnya menganggap peranan besar pemerintah itu sejalan dengan dan mendapatkan pembenaran dalam UUD 1945.

Tambahan lain: setiap tindakan yang menjurus pada mengurangnya peranan pemerintah - walaupun tidak jelas, mengapa pemerintah sebenarnya telah terlibat atau perlu melakukan campur tangan dalam suatu bidang - selalu ditafsirkan sebagai tindakan ke arah liberalisasi. Tidak pernah terpikir bahwa tindakan itu mungkin lebih bersifat normalisasi dari keadaan yang etatis. De-etatisme tidak dikenal. Celakanya lagi, liberalisasi - yang selalu dianggap dijiwai liberalisme - telanjur dianggap kata jorok dan tindakan tidak terpuji.

Mungkin di sinilah kita akan menjumpai sumber utama kesulitan, bahkan kegagalan, untuk melakukan penyesuaian ekonomi. Tentu saja di Indonesia - seperti di mana-mana - ada kelompok "vested interesf" yang akan menentang setiap kebijaksanaan penyesuaian yang merugikan kedudukan mereka. Di Filipina kala itu juga terjadi hal yang aneh atau lucu: "liberalisasi" - atau apa pun namanya secara serempak ditentang oleh dua kutub dalam masyarakatnya, yaitu kelompok ideologis kiri/ kuasinasionalis dan kelompok kapitalis-monopolis/oligarki yang berkuasa. Padahal, kelompok teknokrat Filipina, yang mengelola ekonomi, melihat liberalisasi sebagai cara terbaik untuk melemahkan dan mungkin malah menghancurkan oligarki, yang juga merupakan sasaran kelompok pertama di atas.

DALAM masyarakat Indonesia tidak ter dapat penentangan setajam di Filipina. Tetapi penolakan terhadap usasha-usaha penyesuaian ekonomi itu juga -- datang dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan pemerintah sendiri. Bidang perdagangan telah menjadi sasaran utama tindakan-tindakan penyesuaian. Mungkin karena di bidang ini alasan sangat kuat dan gamblang: merosotnya penerimaan dari ekspor migas mengharuskan kita mengembangkan ekspor nonmigas, dan karenanya daya saing produk-produk kita harus ditingkatkan.

Dimulai dengan kebijaksanaan 6 Mei, disusul oleh paket 25 Oktober dan kemudian kebijaksanaan 15 Januari 1987, sebenarnya kita telah memulai satu proses penyesuaian yang bukan tidak berarti. Adakalanya, suatu kebijaksanaan pemerintah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

R
REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM
1990-11-10

Salim said mengupas perkembangan film indonesia. dikupas berbagai jenis film yang berkaitan dengan sejarah revolusi…

D
DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA
1990-11-10

Sejarah dan perkembangan taman ismail marzuki. muncul aktor dan aktris, sejumlah sutradara dan kelompok-kelompok teaternya.…

P
PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN
1988-05-21

Kesaksian goenawan mohamad tentang peristiwa manifes kebudayaan (manikebu) di tahun 1960-an. manikebu kemudian diserang pki…