PANTULAN HISTORIS PERJALANAN BANGSA

Edisi: 24/17 / Tanggal : 1987-08-15 / Halaman : 17 / Rubrik : REF / Penulis :


BARANGKALI benar juga "sejarah" itu tidak adil. Mengapa sejarah mencatat suatu peristiwa atau mengagung-agungkan seorang tokoh, tetapi melupakan peristiwa lain dan seakan-akan "membunuh" tokoh lain? Tapi, kalau dipikir-pikir, bukankah sejarah, sebagai milik masyarakat (bukannya milik para sejarawan yang sibuk membongkar-bongkar hal yang terlupakan), tak lebih daripada ingatan kolektif?

Ingatan memang bersifat selektif, dan kadang-kadang juga evaluatif. Meskipun secara psikologis dapat dimengerti, secara rasional tentu tak bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa ciuman pertama selalu teringat, sedangkan ciuman selanjutnya diperlakukan sebagai sesuatu yang rutin? Dan, sesuatu yang rutin bukan sejarah, setidaknya begitu pengertian nouvelle sonnante (letupan seketika) sebagaimana Braudel mengutip istilah abad ke-16 Prancis.

Jadi, mestikah kita heran kalau sejarah, sebagai ingatan kolektif, cenderung mencatat tanggal yang merupakan "letupan seketika" itu? Bahkan, lebih dari sekadar mencatat, ingatan kolektif juga memberi makna terhadap "letupan seketika" tertentu. Maka, tanggal 20 Mei 1908 dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, meskipun mungkin berdasarkan penelitian sejarah kritis, akan kelihatan bahwa anak-anak muda, para pendiri Budi Utomo, sama sekali tak berambisi sehebat itu. Yang jelas, peristiwa ini dikenang, dan makna tertentu telah dikenakan padanya.

Nilai sejarah memang tak ubahnya sebagai selimut yang menutupi "badan telanjang" peristiwa. Biarkan saja para ahli mengatakan betapa transformasi pengetahuan sejauh telah terjadi. Mula-mula sejarah sebagai peristiwa, yang sekali terjadi tak terulang lagi, dipindahkan menjadi sejarah sebagai catatan, yang selalu dikenang, kemudian beralih menjadi sejarah simbolik yang dianggap sebagai wakil aspirasi historis, sehingga akhirnya menjadi mitos. Bukankah mereka, dalam helaan napas yang sama, mengatakan pula betapa sejarah simbolik yangtelah jadi mitos itu memainkan peranan penting dalam kehidupan suatu komunitas? Mitos dapat berperan sebagai salah satu unsur dalam proses pembentukan sikap ketika diri menghadapi tantangan realitis.

Proses "mitologisasi" dari peristiwa yang mula-mula hanya merupakan "letupan seketika" itu didukung oleh dua hal penting. Pertama, visi komunitas tentang sejarah. Bagaimanakah hari lampau, kini, dan nanti, dirumuskan dalam pandangan hidup? Dalam konteks komunitas nasional kita, Pembukaan UUD 45, yang sangat indah dan literer itu, sebenarnya tidaklah sekadar landasan ideologis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sekadar sumber hukum nasional saja, tetapi menunjukkan visi nasional tentang sejarah.

Kedua, dukungan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah "letupan seketika" itu. Tanpa dukungan perjuangan pemuda dan rakyat, yang secara simbolik dirumuskan oleh Hari Pahlawan, umpamanya, barangkali Proklamasi akan merupakan titik peristiwa saja. Tapi, dengan perjuangan tanpa menyerah, Proklamasi bukan saja merupakan peristiwa historis yang dahsyat, melainkan juga secara simbolik memberikan makna yang luhur dalam kehidupan bangsa dan negara.

Tiada komunitas atau kesatuan pergaulan hidup dapat bertahan tanpa mitos. Tiada bangsa yang bisa dibina tanpa keterikatan pada mitos nasional apakah dalam bentuk pemberian nilai terhadap peristiwa sejarah ataupun personifikasi nilai pada diri tokoh. Demikian keadaannya dulu, dan tak berubah keadaannya kini. Begitu di negeri orang, seperti itu pula di negeri kita. Karena itu, diperlukan pengenalan yang lebih intim terhadap situasi historis yang mengelilingi sejarah simbolik. Dengan pengenalan ini, bukan saja proses mitologisasi yang berlanjut, yang bisa mengancam landasan historical plausibility, dapat dibendung, tapi arti simbolik baru, yang lebih sesuai dengan peralihan yang terjadi dalam komunitas kognitif, yang sama-sama menerima kesahihan pengetahuan, mungkin didapatkan pula.

Pengetahuan sejarah, yang merupakan rekonstruksi kritis dari kelampauan, tidaklah sekadar untuk sekali-sekali mengerling dengan sinis kepada mitos, dan bukan pula hanya pengisi kekosongan, ketika mitos telah kehilangan daya efektif dan inspiratifnya, di saat keutuhan komunitas kognitif telah terbelah-belah. Di samping menyajikan pemahaman rasional terhadap realitas sosial, pengetahuan kritis tentang hari lampau juga dapat memberikan kearifan dalam merintis hari depan. Dari sini pula hikmah pengalaman didapatkan.

Dengan ancang-ancang yang cukup panjang ini, ada baiknya dalam suasana perayaan kemerdekaan ke-42 ini, situasi historis yang melingkari "letupan seketika" yang telah menjadi sejarah simbolik kita diperhatikan lagi. Siapa tahu, bukan saja pemahaman akan dinamika sejarah bisa didapatkan, tapi tuntutan "historis" yang terkait dalam sejarah simbolik itu ditemukan pula.



Dari "kemajuan" ke kesadaran bangsa

DALAM salah satu suratnya, yang ditulis akhir 1899, Kartini mengatakan betapa ingin hatinya berdampingan dengan "saudara-saudara"-nya, para gadis di Negeri Belanda, dalam melangkah maju menuju abad baru. Dalam surat ini, (dan surat-surat lain) Kartini tidak hanya memperlihatkan kecenderungan kosmopolitanisme dan suasana kesezamanan dengan dunia luar -- seperti halnya dengan kecenderungan kultural dari elite tradisional sejak dulu -- tetapi juga memantulkan suatu suasana yang mulai berkembang di kalangan masyarakat atasan "Hindia Belanda".

Akhir abad ke-19, dan terutama awal abad ke-20, memang ditandai oleh suatu optimisme tentang masa depan. Sementara kalangan penguasa mulai menyuarakan semangat asosiasi kultural, yang didampingi oleh cita-cita "politik etis", di kalangan terpelajar anak negeri keinginan untuk memasuki "dunia maju" mulai mekar pula. Seruan "dunia maju" dan "kemajuan" didendangkan oleh Majalah Insulide, yang terbit di Padang pada tahun 1901, dan dikumandangkan oleh dr. A. Rivai dalam Majalah Bintang Hindia, yang diterbitkan di Negeri Belanda.

Optimisme ini makin menaik setelah apa yang disebut "pasifikasi Aceh" secara resmi dianggap telah berakhir, dengan menyerahnya Panglima Polem. Dalam suasana optimisme ini "dunia schakel", yaitu suasana perantara yang diciptakan untuk mengurangi trauma kolonialisme, mulai mengalami krisis. Dunia schakel yang memberikan suatu "osters visie" terhadap "kekuasaan Barat" -- seakan-akan kekuasaan itu tidak riil, dan seolah-olah hubungan kolonial tak lain daripada persekutuan kekerabatan -- kini, dengan semangat kemajuan, makin kehilangan validitasnya. Dunia maju, yang diwakili oleh "kepintaran" Barat, telah menjadi tarikan, sementara situasi schakel, yang terpantul dalam berbagai mitos hubungan kolonial dan peri laku tradisional yang dibelandakan, makin mengendur.

"Dunia maju" adalah dunia yang dicitakan "Syamsul Bahri", murid sekolah dokter Jawa, tokoh dalam roman Siti Nurbaya. Dalam dunia maju inilah ia ingin membangun maligai cinta dengan "Siti Nurbaya". Dalam aspirasi menuju dunia baru ini pula ia dihalangi "Datuk Meringgih", seorang kaya serakah, kolot,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

R
REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM
1990-11-10

Salim said mengupas perkembangan film indonesia. dikupas berbagai jenis film yang berkaitan dengan sejarah revolusi…

D
DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA
1990-11-10

Sejarah dan perkembangan taman ismail marzuki. muncul aktor dan aktris, sejumlah sutradara dan kelompok-kelompok teaternya.…

P
PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN
1988-05-21

Kesaksian goenawan mohamad tentang peristiwa manifes kebudayaan (manikebu) di tahun 1960-an. manikebu kemudian diserang pki…