Merah Putih Di Puncak Es Krim
Edisi: 28/16 / Tanggal : 1986-09-06 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
AYO beri aku semangat. Jangan diam, jangan lesu," teriak yang di ujung tali paling atas. "Sikat terus. Hajar terus," sambut dua yang berada di bawahnya. Dan kemudian, tepat pukul 11.52 waktu setempat, 9 Agustus 1986, lima pemuda Indonesia yang terangkai dengan satu tali itu satu per satu mencapai puncak Eiger. Mereka lalu mengeluarkan bendera Merah Putih kecil yang mereka bawa dari Bandung. Kemudian sebuah Merah Putih besar pun mereka bentangkan. Pandawa lima itulah orang Indonesia pertama yang mengibarkan bendera Sang Saka di puncak gunung di negeri Swiss, yang sampai kini dikenal paling berbahaya bila didaki dari sisi barat laut. Mereka berpelukan, mata mereka berkaca-kaca, lalu semuanya saja berdoa.
Harry Suliztiarto, yang berteriak itu, anak bontot dari empat bersaudara, lahir di Surabaya 6 Juni 1955. Lulusan Jurusan Patung Seni Rupa ITB ini memang punya hobi memanjat gunung sejak sepuluh tahun lalu. Wajahnya yang penuh cambang, tubuhnya yang kekar dengan tinggi 167 cm dan berat 58 kg memang mengesankan tampang seorang "penantang". Tapi coba dekati, pemuda ini punya selera humor tinggi, suka musik, dan fotografi. Selera humornya itu pula, agaknya, yang mendorongnya bikin kejutan akhir tahun, Desember 1979, di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebagai peserta Pameran Besar Senirupawan Muda Indonesia, ia dan seorang temannya, Agus Ramona Hadi, tak memamerkan patung di ruang pameran yang disediakan. Tapi, patung itu dipasangnya di puncak atap gedung Planetarium, di kompleks itu, yang licin bagaikan sebuah gundul putih, 25 meter dari tanah.
Dan total, naik-turun gundul, mereka membutuhkan waktu delapan jam. Agar selamat dari perhatian, pemasangan patung mereka lakukan mulai pukul 20.00, ketika sekitar Planetarium sepi dan tak begitu terang.
Orang yang suka pada hal-hal yang tak lazim inilah ketua ekspedisi Eiger. "Saya senang dapat mengibarkan Sang Merah Putih di puncak gunung yang oleh tiap pemanjat gunung diidam-idamkan itu."
Pagi itu, 27 Juli 1986, sekitar pukul 08.30 cuaca sangat baik. Matahari bersinar terang, langit biru, awan tidak begitu banyak. Namun, angin tetap dingin semilir. Sehabis makan pagi di Kleine Scheidegg -- desa terakhir sebelum dimulai pendakian -- mereka berangkat menuju basecamp yang telah mereka survei sebelumnya, persis di kaki Eiger. Setiap orang membawa 2 buah ransel dan mengenakan pakaian tempur. Sebuah ransel makanan untuk 16 hari, seberat 10 kg. Di samping itu, masih ada persediaan makanan untuk 5 hari, masuk dalam ransel perlengkapan tidur. Mereka berjalan penuh semangat tapi kelihatan tegang. Mereka sampai di basecamp tanpa banyak bicara, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Setelah selesai beres-beres, membenahi barang yang akan dibawa duluan, mereka membicarakan rencana jalur yang akan mereka ambil. Tepat pukul 10.30 waktu setempat, tim start dari basecamp menuju lidah salju. Jalan begitu nanjak. Berjalan di depan, Harry Suliztiarto, yang pernah mengecap pendidikan ice climbing di Leysin, Swiss. Luas lidah salju sekitar 5 x 15 meter, dengan kemiringan kira-kira 50ø. Di ujung lidah ditemukan crevasse, patahan lapangan es, sedalam kurang-lebih 3 meter. Baru, 10 meter di atas crevasse diperoleh tempat untuk penambatan.
Etape I sebenarnya cukup gampang ditempuh, dengan syarat harus bisa menghilangkan pikiran bahwa yang mereka panjat adalah Eiger. "Soalnya, Eiger punya banyak cerita seram. Otomatis, medan yang sebenarnya gampang bisa tiba-tiba terasa susah, dan kami memanjat lamban," kata Harry.
Seperti diceritakan oleh buku-buku tentang Eiger, kualitas batuan pada etape I sangat buruk. Tersusun dari tumpukan serpihan-serpihan, dinding di sini memang gampang ambrol. Atau, tiba-tiba copot sewaktu dipasang pasak. Di ujung lapangan es ketiga baru didapatkan tempat yang cukup bagus untuk menyimpan ransel. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Kabut mulai datang menutupi 2/3 tubuh Gunung Eiger. Angin pun terasa lebih dingin.
Pemanjatan tahap pertama ini telah minta korban. Seorang anggota tim, Saman Pakong, kejatuhan batu runtuh. Untung, ia sempat menangkis "meteor" itu. Tapi jam tangan tercinta mental dan lenyap entah ke mana.
Mereka hari itu kerja lebih kurang 14 tahapan atau sekitar 14 x 45 meter tali. Mereka kelihatan lelah, capek, dan tangan mereka gemetaran, karena mereka belum makan siang. Setelah mengganyang makan siang dan makan malam ditambah vitamin, kelima pendaki siap menuju peraduan masing-masing. Di saat inilah terdengar suara batu runtuh, lama sekali. "Bagaimana dengan tali yang terpasang?", pikir Harry. Ia, dan tentunya juga yang lain, tahu benar, tali yang ketiban batu bisa cacat, dan waktu dipakai bisa putus. Tapi karena tak apa pun bisa mereka perbuat di malam secapek itu, tidur tampaknya alternatif terbaik.
Sampai dengan hari keempat, 30 Juli, tak ada yang perlu dicatat. Semua begitu lancar.
Dua anggota tim termuda, masing-masing 26 tahun, adalah Achmad Husein dan Sandy Febiyanto. Yang pertama sungguh bertentangan dengan ketua ekspedisi yang bercambang itu: wajah Husein licin tandas. Pemuda hitam manis dengan tinggi 160 cm dan berat 51 kg ini adalah mahasiswa tingkat akhir Akademi Teknik Nasional di Bandung. Bila tak sedang di gunung, ia selalu berpakaian necis. Anak ke-10 dari 12 bersaudara mulai belajar memanjat tebing tiga tahun lalu, dibimbing oleh Harry yang memimpin ekspedisi ini. Ia cowok Bandung asli, masih bujangan.
Adapun Sandy, pemuda Jakarta yang demi hobi lalu bekerja di Bandung, di PT Jayagiri. Dari kelimanya, ahli memanjat batu kering ini paling tinggi, 173 cm, dan juga paling berat, 65 kg. Bujangan ini tidak suka es. Bukan minum es, tapi kurang suka mempelajari seluk-beluk dinding gunung bersalju. "Apabila medannya memutih, wah, itu bagian kepala ekspedisi untuk berjalan di depan," katanya.
Pada hari ke-5, sejak pagi cuaca jelek, mendung, kelabu, dingin. Permukaan Eiger tertutup kabut tebal, jarak penglihatan terbatas hanya beberapa puluh meter. Tiba-tiba, samar-samar kelihatan dua orang jauh di sebelah kanan, sedang berusaha naik rute normal. Yakni rute yang telah sering dijejaki banyak pendaki. Semua merasa senang, rasanya ada teman. Mereka teriak, saling menyapa: Hello, Good morning, Gutten morgen, Hai, dan lain-lain. Pokoknya, segala macam sapaan dilontarkan. Terdengar suara jauh sekali: How are you? Seterusnya suara tidak tertangkap karena gema. Tak peduli mereka dari mana, tapi yang jelas menambah semangat. Di sebuah tempat sepi, dingin, penuh maut, bertemu sesama manusia rasanya benar-benar senasib sepenanggungan.
Herry Hermanu mungkin anggota ekspedisi yang tampak paling kurus. Bujangan ini gayanya memang kemanja-manjaan. Wajahnya agak bercambang, tapi tak selebat punya Harry. Dengan tinggi 171 cm dan berat badan 58 kg, dengan rambut panjang tapi tipis -- malah kepala tampak sedikit botak -- tampangnya mirip pendekar jagoan yang agak sinting dalam cerita-cerita silat. Tapi itulah, anak sulung dari lima bersaudara ini memang kocak: piawai menuturkan cerita lucu yang sedikit jorok. Ia periang, banyak tawa. Pengalaman pendakiannya, bolehlah. Gunung Parang, Carztens, dan Ponot pernah dijamahnya. Anak Banjar yang lahir 29 tahun lalu ini tinggal di Bandung bersama neneknya, sementara ayahnya, purnawirawan TNI AD, tinggal di Jakarta.
Kami perkenalkan, anggota terpendek dan terkecil, Saman Pakong, putra Bandung yang lahir pada 31 tahun lalu. Sulit dipercaya bahwa ia pun pemanjat gunung. Coba, tinggi 162 cm, berat 50 kg, berkaki kecil khas pelari maraton. Tapi dia inilah dalam ekspedisi Eiger tahun lalu yang gagal -- tertimbun salju, dan beberapa lama tak ingat diri. Anak ke-7 dari delapan bersaudara ini memang punya hobi lari. Baru menambah climbing dalam hidupnya sejak enam tahun lalu.
Sekitar pukul 12 Sandy dan Husein sudah menghilang ke…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…