Phk, Pilihan Pahit Dunia Usaha ; Bayi Besar Itu Diminta Jl Sendiri
Edisi: 27/15 / Tanggal : 1985-08-31 / Halaman : 62 / Rubrik : EB / Penulis :
BERITA hangat minggu-minggu ini tentang pemutusan hubungan kerja (PHK). Dan yang paling mengundang polemik adalah sikap Menteri Tenaga Kerja Sudomo, pekan lalu, ketika menyetujui pemecatan 700-an buruh PT United Can di Cengkareng - mereka dianggap bersalah karena menyandera sejumlah staf dan karyawan perusahaan, pada Maret 1984.
Pemecatan ratusan buruh dari sebuah perusahaan itu, tampaknya, merupakan angka PHK terbesar tahun ini. Menurut catatan Depnaker, sejak Januari sampai Agustus, sudah 11 ribu buruh kehilangan pekerjaan karena, terutama, perusahaan mereka turun penjualannya. Kelesuan ekonomi, memang, jadi biang keladi lebih dari 90 ribu buruh yang kehilangan pekerjaan sejak 1982. "Dalam situasi seperti ini, sulit bagi pengusaha untuk menghindari PHK," seperti kata Iwan Jaya Azis, ekonom dari FE UI.
Pihak Depnaker memperkirakan angka pemecatan itu akan makin menggelembung. Permohonan untuk melakukan PHK sebagian besar, agaknya, masih akan datang dari sektor industri pengolahan, pertambangan dan penggalian, serta bangunan. Tiga sektor ini, memang, paling berat menahan pukulan resesi dunia, dan terhitung kurang gesit menyesuaikan diri mengimbangi lesunya permintaan pasar lokal. Tahun lalu saja. PHK dari ketiga sektor ini mencapai 18.500 atau hampir 85% dari angka pemecatan saat itu, baik karena kontrak sudah selesai mau pun lantaran perusahaan tutup.
Sektor industri pengolahan, yang selama tiga Pelita memberikan sumbangan cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi, ternyata mempunyai dasar tidak begitu kukuh. Sebab, menurut Prof. Hendra Esmara, sektor ini masih banyak bergantung pada bahan baku dan penolong impor. Kata guru besar perencanaan pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas ini, sektor industri pengolahan juga tidak begitu efisien, berbiaya tinggi, dan padat modal. "Sehingga ketika terjadi resesi banyak yang ambruk," katanya.
Siapa yang salah ? Mungkin pengusahanya sendiri. Atas permintaan sebagian besar penanam modal di sektor ini, memang, pemerintah memberikan perlindungan cukup besar kepada mereka. Menurut Iwan Jaya Azis, proteksi diberikan dengan mengenakan bea masuk tinggi terhadap barang-barang impor sejenis yang sudah bisa dihasilkan oleh industri lokal. Kemudian dengan sistem pembatasan impor (kuota). Dia mengibaratkan sektor industri ini bayi yang selalu digendong dan disuapi. "Sampai tua akhirnya bayi itu tidak bisa jalan sendiri, apalagi bisa bekerja efisien," katanya.
Industri Pengolahan
Yang terdengar paling awal terpukul di sektor ini adalah industri tekstil. Penjualan tekstil dan pakaian jadi di pasar lokal dan luar negeri mendadak mulai terasa macet di tahun 1982 lalu karena daya beli lemah dan negara pembeli memperketat kuota. Puluhan ribu buruh serta-merta terlempar dari puluhan industri tekstil di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Usaha menolong mereka, dengan melakukan restrukturisasi modal dan teknologi, ternyata hanya sampai di ruang-ruang seminar. Menurut sebuah tafsiran kasar, lebih dari 20 ribu buruh tersingkir dari sini.
Kredit macet yang harus ditanggung bank-bank pemerintah, yang banyak menyalurkan pinjaman murah, makin menggelembung. Sebuah bank pemerintah, misalnya, dikabarkan punya utang macet di GKBI di atas angka Rp 20 milyar. Pengambilalihan manajemen kemudian banyak dilakukan bank pemerintah untuk mengatasi kemacetan penjualan itu. Toh, tidak menolong. Sebuah industri produk tekstil, yang baru awal tahun ini diresmikan pengoperasiannya, mendadak saja harus merumahkan lebih dari 100 karyawannya.
Pande Radja Silalahi, pengamat ekonomi, tidak setuju dengan cara pengusaha mengatasi kelesuan dengan PHK. Kalau mereka ingin menekan biaya produksi, katanya, hendaknya jangan buruh yang selalu dikorbankan. Soalnya, persentase upah dari seluruh biaya produksi pada sektor industri pengolahan di sini rendah sekali. "Rata-rata hanya 11% dari seluruh biaya produksi," katanya.
Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS), upah tenaga kerja setiap buruh di tahun 1982, pukul rata, hanya Rp 700 ribu setahun, atau sekitar Rp 58 ribu sebulan. Di sektor industri tekstil, misalnya, upah setiap buruh per tahun hanya Rp 473 ribu, atau hanya sekitar Rp 39 ribu sebulan. Dengan angka-angka itu, Pande ingin menunjukkan bahwa tindakan PHK, yang dilakukan untuk menekan biaya produksi, tak akan banyak menolong.
Pada tahun 1982 itu, sektor…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…