Kulihat Polandia Kembali
Edisi: 35/15 / Tanggal : 1985-10-26 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
FEBRUARI 1935, ayahku, Adam Kaufman, melintas batas. Memakai perangkat ski yang tak diketahuinya cara menggunakannya, Ayah tergelincir dan jatuh terguling - menggelinding dari daerah kelahirannya, Polandia, ke kawasan yang waktu itu masuk wilayah Cekoslovakia. Lima puluh tahun kemudian, setelah berusia 82, Ayah datang mengunjungiku di Warsawa.
Demikian Michael T. Kaufman, kepala biro The New York Times di Warsawa, yang ia tuangkan dalam The New York Times Magazine 25 Agustus lalu. Mari kita ikuti kisahnya.
Dalam masa setengah abad kepergian Ayah, perbatasan Polandia telah bergeser 200 mil ke arah barat. Kewarganegaraan ayahku, Yahudi Polandia, telah dicoret atau dianggap tidak ada. Kaum komunis yang dulu diburu dan dipenjarakan sebagai pembangkang, kini, setelah berkuasa, mendapat giliran memburu dan memenjarakan pihak lain. Kendati batas-batas negara telah banyak bergeser dan wajah negeri telah dipermak perang dan dikikis waktu, Ayah masih menemukan banyak unsur romantik lama dan tradisional dalam budaya modern Polandia yang dikunjunginya.
Cerita ini baiknya dimulai dari diriku sendiri - dari kisah intim sebuah keluarga yang menumpang kereta api bawah tanah pada 1946. Saat itu, Ayah, Ibu, dan aku sendiri, sedang dalam perjalanan pulang dari mengunjungi teman-teman di Brooklyn. Pada petang itu Ayah terbiasa memakai sebuah kata kerja Polandia - "duduk" - dengan cara yang belum pernah kudengar sebelumnya. "Ya, aku duduk dengannya," katanya, atau "Kami duduk di sana selama dua tahun." Dalam perjalanan pulang dengan kereta, dengan malu-malu kutanya Ayah, apakah yang dimaksudkannya bahwa ia telah mendekam dua tahun di penjara. Dengan lembut ia menjawab, ya.
Pada waktu lain, di tempat lain, ia telah menjadi komunis revolusioner, yang menghabiskan usia selama sembilan setengah tahun di penjara, yaitu antara umur 22 dan 33. Aku baru berusia delapan tahun waktu itu, dan dengan teratur menguping acara radio "Pembekuk Penjahat". Aku yakin bahwa orang jahat tempatnya di penjara, dan orang baik yang menempatkan mereka di sana. Dan inilah orang terbaik yang kukenal, yang menyelamatkanku dari Prancis yang diduduki musuh dan dari tungku peperangan. Ia sudah beberapa kali mendekam di balik jeruji. Pada saat itulah, kukira, aku menerima darinya warisan Polandia, yang di dalam pengertiannya yang luas termasuk kesadaran bahwa, di dunia ini, orang baiklah yang justru terjerembab ke dalam kerangkeng.
Ada seorang penyair Polandia, Tomasz Jastrun, orang dekat gerakan Solidaritas yang terlarang dan juga putra penyair bagus dari masa perang perlawanan Polandia. Belum lama ini ia menulis sajak pendek berjudul Rantai. Sebuah baitnya berbunyi begini:
Kakeknya menunggui Polandia Yang belum lagi ada Ayahnya menunggui Polandia Yang telah bangkit Kini ia menunggui Polandia Yang sebentar lagi tiada
Bertahun-tahun setelah kejadian di kereta itu, aku baru mengetahui lebih banyak detail lebih awal riwayat kehidupan Ayah. Sekali, ketika ia berusia 70 dan aku 35 tahun, ia memberikan kepadaku naskah ketikan 100 halaman - yang mengisahkan hampir tak memihak apa-apa yang ia lakukan dan rasakan pada tahun-tahun sebelum kelahiranku, pada 1938. Ketika aku bersiap diri menyambutnya di Warsawa, di tahun 1985 ini, aku mengulang baca kisah tentang pemeriksaan, interogasi, pengkhianatan, kelaparan, usaha bunuh diri, dan perjuangan hidup mati di seberang perbatasan. Apa yang tampak sebagai romantika yang sayup-sayup dan kuno ketika aku membaca pertama kalinya di New York itu, kini - di Polandia hari ini - menjadi kenyataan yang kasat mata.
Kini ayahku sering memperolok-olok sendiri masa mudanya yang naif, salah jalan, dan selama hampir lima dekade menjadi orang swasta. Ia memperbo-lehkan aku menulis kunjungannya ke Polandia dengan ogah-ogahan - dan sekali lagi ia harus menurutkan kehendak anak tunggalnya ini.
* * *
Dari saat-saat pertama kunjungan terakhir ayahku yang berlangsung sebulan itu, kedua kami luluh oleh kenyataan-kenyataan yang sangat ironis. Tak lama setelah ia tiba, aku harus pergi ke Gdansk untuk meliput penyidangan perkara Adam Michnik dan dua aktivis Solidaritas lainnya yang kemudian dijatuhi hukuman penjara - dituduh menganjurkan pemogokan umum 15 menit sebagai protes terhadap penaikan harga barang-barang.
Sekembaliku, Ayah bertanya pasal mana yang dikenakan terhadap tertuduh. Setelah kujawab, ia berkata, "Pada masaku dulu, pasal yang dikenakan adalah Ayat 102." Ia mengutip dari ingatan, "Keanggotaan dalam organisasi terlarang yang bertujuan mengganggu orde masyarakat yang berlaku." Ia menambahkan, "Waktu itu berarti kaum komunis, sekarang kaum Solidaritas."
Ada lagi persamaan yang lain. Saat terakhir ia dituduh melawan hukum adalah ketika ia diadili bersama 19 orang lain, di antaranya almarhum ayah Michnik, Osjasz Szechter. Penyidangannya dilakukan di Lvov, waktu itu kota Polandia, kini bagian Uni Soviet, pada 1929. Semua terdakwa anggota Partai Komunis Ukraina Barat, cabang otonom Partai Komunis Provinsi Polandia, dengan sebagian besar penduduknya orang Ukraina. Ayahku, waktu itu 27 tahun, menjadi sekretaris - (ketua)-nya. Ia menjadi terdakwa utama dan menerima hukuman penjara paling lama, empat tahun.
Ketika berniat kembali ke Polandia, ayahku ingin sekali bertemu dengan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…