Mussolini Atau Sebutir Debu
Edisi: 45/14 / Tanggal : 1985-01-05 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :
ITALIA. Tanah kelahiran sebuah bangsa yang selama berabad-abad menjadi penguasa dunia. Tanah yang pernah terpecah-pecah dan menjadi rayahan bangsa-bangsa bekas jajahannya. Di akhir abad ke-19, adalah Italia pula yang mencoba kembali menegakkan kepala: negara yang baru saja bersatu, raja yang baru belajar memerintah, parlemen dan kabinet yang silih berganti, dengan partai-partai yang belum dewasa, belum mampu membuat rakyat mengenal suasana damai dan sejahtera.
Di Italia yang seperti itu tak mengherankan jika benih-benih sosialisme dan anarkisme tumbuh subur.
Terutama di Romagna, wilayah timur laut yang terletak antara lereng-lereng Appenine dan kebiruan Laut Adriatik, yang penduduknya dari dulu miskin dan baru saja lepas dari penguasaan Napoleon dan kekuasaan paus setelah huru-hara berdarah yang panjang. Mikhail Bakunin, anarkis Rusia itu, punya banyak penganut di situ.
Salah seorang penganut itu bernama Alessandro Mussolini, pandai besi muda dari Desa Dovia, Predappio. Orang ini, yang dalam usia 21 mendirikan cabang organisasi kiri Internasional I, bahkan pelopornya. Di rumahnyalah pertemuan dan ceramah-ceramah sosialis sering diadakan.
Di suatu Minggu yang cerah, 29 Juli 1883, istri Alessandro, Rosa - seorang guru keturunan borjuis, yang, meski mengagumi pandangan suaminya, masih teguh memegang agama - melahirkan anak pertama.
Alessandro memberinya nama panjang: Benito (untuk Benito Juarez, pahlawan revolusi Meksiko) Amilcare Andrea - (untuk dua tokoh sosialis Italia). Rosa tak keberatan dengan nama Benito Amilcare Andrea Mussolini ini. Dia cuma minta satu hal: sang bayi dibaptis. Alessandro dengan segan menyetujuinya.
Benito cilik segera terperangkap dalam kemiskinan. Ayahnya terlalu aktif dalam pergerakan untuk cukup punya waktu buat pekerjaannya. Gaji ibunya terlalu kecil. Apalagi tak lama kemudian adik-adiknya lahir: Arnaldo, laki-laki, dan Edvige, perempuan.
Rumah yang mereka tinggali - dua ruang penuh nyamuk, dengan dinding-dinding retak dan lembap - terlalu sempit untuk berlima. Cuma ada satu ruang sisa: sebuah kelas, tempat Rosa mengajar, yang juga lumbung gandum di musim panas.
Benito dan si gemuk Arnaldo tidur di karung berisi daun jagung, di ruang yang juga dapur dan gudang kayu bakar. Edvige dan kedua orangtuanya di ruang satunya lagi, yang juga ruang tamu dengan kursi-kursi kayu kasar dan sebuah kotak penuh buku, surat kabar dan brosur sosialis - bacaan Benito sejak kecil. Di dinding ruang itu tergantung gambar pemersatu Italia, Garibaldi - dan, sebelum dicopot, Perawan Suci Maria.
Di lingkungan seperti itu - terutama di bawah ibunya yang ambivalen - Benito tumbuh liar, keras kepala, bandel, pemberontak. Tak ada yang mampu menguasainya. Bahkan kepada orangtua dan adik-adiknya ia tak bisa menunjukkan rasa sayang.
Di sekolah, di bawah ancaman gebuk ibunya, tiap hari dia merangkaki kolong meja untuk mencubiti kaki teman-temannya. Dia tak pernah mau masuk gereja. Ada-ada saja alasannya: tak tahan bau dupa, asap lilin, atau suara piano. Dia lebih suka menanti di luar, duduk di pohon sambil melempari anak-anak yang lewat. Rosa tak mampu memaksanya. Di rumah, duduk menunggu ayahnya sambil bergumam mengutuk para "si hitam" - istilah untuk kaum rohaniwan. Alessandro memang membenci mereka, dan kebencian itu diwariskan kepada anaknya.
Tetapi ia ayah yang baik, yang selalu sedia menasihati dan menyenangkan hati putra-putrinya. Juga keras dalam mengajar disiplin. Tiap kali dia bekerja membikin tapal kuda, mata bajak, atau pekerjaan lain - dia suruh Benito memompa puputan. Pukulannya selalu sedia jika si anak kurang perhatian atau mengejapkan mata karena asap atau percikan api. "Lebih baik gebukan bapakmu sekarang daripada gebukan orang lain nanti," begitu ajarannya.
Suatu saat Benito betul-betul dipukul orang. Dan, Alessandro memerintahkannya membalas. Benito lalu mencari orang itu lagi, dan menghantamnya dengan batu yang telah diruncingkan di bengkel. Sejak itu dia beranggapan, orang yang takut digertak adalah pengecut. Karena itu, dia sering pulang dengan pakaian kotor dan penuh darah.
Tapi yang mengherankan, selain nakal, Benito juga pelamun. Biasanya menggantang asap itu dilakukannya berjam-jam, sambil mengawasi burung-burung yang beterbangan atau merenungi lembah di bawah. Dia juga punya teman seorang wanita tua, La Vecchia Giovanna, yang mengajarinya mantra-mantra sihir.
Melihat perkembangan anaknya itu Rosa menjadi takut. Dia juga khawatir akan seringnya penggerebekan polisi di rumahnya untuk mencari pamflet-pamflet dan manifes revolusioner. Maka, diambilnya keputusan: Benito harus disekolahkan ke Faenza, di bawah asuhan keras para pastor Salesian.
Setelah berdebat sengit dengan Alessandro selama tiga hari, Rosa menang. Dan Benito harus segera berangkat. Dia sedih sekali. Sekolah, dalam bayangannya, sama saja dengan penjara.
Kenyataannya sekolah itu lebih dari penjara. Tak satu pun disukainya di situ. Para pastor, murid-murid, hilangnya kebebasan, upacara gereja, pengawasan terus-menerus. Yang paling dibencinya adalah acara makan. Ada tiga golongan murid di situ: yang uang sekolahnya 60 lira, yang 40 lira, dan yang 30 lira. Mussolini termasuk yang terakhir, dan itu berarti makan di meja paling ujung, dengan roti yang sering keras dan basi. Kemiskinan tak pernah dirasakannya dulu - semua orang di kampungnya miskin. Tapi di sekolah ini dia segera menjumpai ketidakadilan sosial yang selama ini cuma didengarnya dari ajaran sang ayah.
Untuk menghibur hati, dihabiskannya waktu untuk pelajaran yang paling dia senangi: sejarah kejayaan Romawi Kuno. Meski cerdas, ia mengacuhkan pelajaran lain. Setiap hari cuma sejarah dan pelajaran tertentu yang dibacanya. Di tepi bukunya sering ia menulis Roma Dovia, sambil mimpi membangun kembali kejayaan Roma.
Benito tak bertahan sampai selesai di sekolah itu. Dua tahun kemudian dia dikeluarkan karena menusuk seorang temannya dengan pisau lipat. Kembalilah ia ke bengkel ayahnya selama satu tahun.
Tahun berikutnya ia mulai belajar lagi. Kali ini di sekolah Giosue Carducci, penyair Italia terkenal dan pemenang Nobel, di Forlimpopoli. Benito, juga ayahnya, adalah pengagum Carducci.
Di sekolah inilah untuk pertama kalinya si bocah menunjukkan keahliannya berpidato. Itu terjadi ketika Giuseppe Verdi meninggal, dan ia diminta membuat pidato penghormatan.
Dengan kemeja dan dasi hitam yang penuh tambalan dan mulai luntur, ia tampil sedikit gugup. Tetapi begitu mulai bicara, keyakinannya tumbuh. Semua orang dibuatnya terpaku oleh suaranya yang menggelegar dan gerak tangannya yang efektif. Mula-mula dipujinya kegiatan politik Verdi ketika Kerajaan mulai berdiri. Tetapi tak lama kemudian pidato itu berubah menjadi pidato politik yang dengan keras mengkritik kondisi sosial saat itu.
Besoknya, harian resmi partai sosialis, Avanti (Maju!), merasa perlu memuat dan mengomentarinya. Untuk pertama kali nama Benito Mussolini muncul di koran.
Lima bulan kemudian, sesaat setelah ulang tahun ke-18, Mussolini lulus dan berhak mengajar di sekolah dasar. Nilai sejarah, bahasa Italia, dan sastranya tertinggi dari seluruh kelas. Sebuah kehidupan baru, yang memberinya hak untuk mengatur diri sendiri, terbentang di hadapannya.
* * *
Kehidupan dewasa itu diawalinya dengan mengajar di Gualtieri, Reggio Emilia - daerah paling "merah" di Italia - setelah ditolak di empat tempat. Saat itu, Februari 1902, gajinya 56 lira - yang empat puluh habis untuk pondokan dan makan.
Kerutinan mengajar membuat ia bosan, dan kebosanan membuat ia mencari hiburan di luar. Itu ditemukannya pada wanita-wanita setempat - yang gadis, yang janda, yang punya suami. Tubuhnya yang tegap, meski agak pendek, dan wajahnya yang tak jelek, membuat ia cukup disenangi. Hanya, ia sering membalas kenikmatan yang diperolehnya dengan siksaan. Salah seorang dari mereka, seorang istri prajurit, pantatnya dia tusuk dengan pisau lipat yang selalu dibawanya.
kelakuan seperti ini membuat ia tak disenangi para pejabat kota. Apalagi ia juga sering bicara keras, mengkritik orang-orang tua daerah itu sebagai "sosialis spaghetti" yang cuma bisa berdebat di balik gelas anggur.
Puncak kejengkelan ini terjadi ketika ia berpidato untuk memperingati kematian Garibaldi, menggantikan penceramah yang tidak datang. Mussolini, yang digelandang ketika asyik berjoget dan minum-minum di sebuah rumah makan, berpidato selama satu setengah jam dengan jaket mengalungi leher dan baju basah oleh keringat. Inti pidatonya: "Garibaldi pasti lebih suka mati daripada hidup di Italia yang memalukan ini."
Hari berikutnya kontrak kerjanya diputuskan, dan sebuah tiket pulang diberikan kepadanya.
Tak mau lagi mengajar, dan tak mau ikut wajib militer, Mussolini minggat ke Swiss, 8 Juli tahun itu juga. Dua hari kemudian, setelah berkereta selama 36 jam, dia tiba di Kota Yverdon. Dua hari tinggal di sebuah penginapan kota itu, dan pada hari Sabtu ia pergi mencari kerja di Orbe bersama seorang tukang cat yang menganggur.
Selama seminggu ia bekerja di Orbe sebagai buruh bangunan. Sehari sebelas jam, dengan gaji 32 sen per jam. Di sore hari, dengan badan capek dan urat-urat kaku, dia makan kentang panggang dan tidur di tumpukan jerami.
Hari Minggu tanggal 20 Juli ditinggalkannya kotaitu. Ia ngacir ke Lausanne, sebuah kota di tepi Danau Jenewa. Seminggu kemudian uangnya habis dan dia terpaksa hidup menggelandang. Pengalamannya ini ditulisnya dalam sepucuk surat untuk Sante Bedeschi, temannya, 2 September 1902.
"Pagi tadi aku makan sepotong roti, dan sore nanti aku tak tahu harus tidur di mana. Aku mengelilingi kota sampai perutku tiba-tiba merasa mulas. Lalu duduk di bawah patung William Tell di Taman Montbenon. Orang-orang pada melihat aku dengan jijik dan curiga, bahkan sedikit takut.
"Pukul lima sore kutinggalkan tempat itu dan berjalan ke Ouchy. Kutelusuri lebuh yang membujur sepanjang pantai danau, dan senja datang. Di kegelapan, cahaya matahari terakhir dan gema lonceng tua yang penghabisan membuatku mengawang.... Suatu perasaan sedih tak berhingga mengungkungku, dan aku bertanya kepada diriku sendiri, di tepi danau itu, perlukah esok aku hidup.
"Selagi melamun begitu, kudengar sebuah melodi yang manis, seperti lagu seorang ibu yang lagi menidurkan anaknya. Aku menoleh. Di depan Hotel Beau Rivage yang indah, sebuah orkes 40 orang sedang bermain. Aku bersandar di pagar taman, di tengah kegelapan dan dedaunan, dan mendengarkan dengan asyik. Musik itu menghibur pikiran dan perutku.
Sekelompok orang yang lagi berlibur berjalan di lorong-lorong taman. Kudengar gemerisik pakaian dan geremang suara mereka dalam bahasa yang tak kumengerti. Sepasang orang tua lewat di dekatku. Tampaknya orang Inggris. Aku kepingin minta uang pada mereka supaya bisa tidur malam ini. Tetapi kata-kata itu terhenti di mulut. Wanita itu berkilauan oleh emas dan permata. Aku, roti pun tak punya. Aku mengutuk. Ah! Pikiran tentang anarki itu. Tak adakah hak bagi orang tertindas untuk membunuh orang yang menghisapnya".
"Sampai pukul 11 malam aku melamun di WC umum, lalu sampai pukul 12 di sebuah tongkang. Angin berembus dari Savoy, dingin sekali. Aku kembali ke kota dan menghabiskan malam di bawah Crand Pont(jembatan besar). Paginya aku mengaca di jendela toko. Aku tak bisa mengenali diriku sendiri. Aku bertemu dengan seseorang dari Romagna. Kuceritakan apa yang kualami. Dia tertawa mengejekku. Aku menyumpah. Diberinya aku 50 sen. Kubilang terima kasih. Aku beli sepotong roti, lalu berjalan ke arah hutan. Rasanya, sungguh beruntung. Setelah jauh dari kota, kusikat roti itu dengan kerakusan seorang Cerberus. Dua puluh enam jam sudah aku tak makan."
Beberapa minggu kemudian Benito memperoleh pekerjaan tetap: menjadi sekretaris dan propagandis Asosiasi Tukang Batu dan Pekerja Kasar Lausanne, dengan hak makan gratis di tiap pertemuan. Usianya 19 ketika itu, dan masih hidup menggelandang.
Pada suatu pertemuan kelompok sosialis, ia berjumpa dengan Angelica Balabanoff, seorang Marxis dari keluarga borjuis Ukraina. Angelica, setelah mencari informasi kian kemari tentang anak muda yang tampak kelaparan ini, bertanya kepadanya, "Adakah yang bisa kubantu? Kudengar kau tak bekerja."
Jawaban yang diperoleh Angelica, setengah histeris, seperti ini: "Tak satu pun. Aku sakit; tak bisa apa-apa."
Angelica tak tahu harus bilang apa. Sampai anak itu berkata lagi, "Aku lagi sial. Beberapa minggu lalu aku sebenarnya bisa memperoleh 50 franc, tetapi terpaksa kutolak." (Dia lalu mengutuk secara kasar). "Seorang penerbit menyuruhku menerjemahkan pamflet Kautsky-Revolusi Sebentar Lagi. Terpaksa kutolak. Aku tak begitu mahir bahasa Jerman."
"Aku bisa. Dan aku sangat senang bisa membantumu," Angelica berkata.
"Membantu? Mengapa?" Lagi-lagi setengah men jerit.
"Mengapa tidak? Aku sosialis. Aku besar dalam keberuntungan yang tak kaupunyai. Tugaskulah untuk mengganti...."
Dia terlalu lemah untuk menolak. Tampak sekali ia tak menyukai hal itu. Dia agak segan ketika diajak berjabat tangan.
"Siapa namamu, Kamerad?"
"Benito Mussolini."
Tak sedikit pun Angelica menduga, gelandangan ini kelak akan menjadi penguasa Italia - dan musuh utamanya .
* * *
Hari-hari selanjutnya, Mussolini menghabiskan waktu bersama pengungsi dan pelajar Rusia, kaum Bohemian miskin dan para nihilis. Dia minum dan main cinta setiap saat dengan mereka. Dia membaca segala macam buku: Nietzsche, Schopenhauer, Stirner. Tetapi dia cuma membaca Manifesto di antara banyak karangan Marx.
Dia selalu menempatkan diri sebagai musuh agama. "Kristus itu 'kan cuma laki-laki kerdil dengan pengikut para pengemis kasar - sampah Palestina," katanya. Dia juga masih sering bicara keras mengkritik aturan sosial. Tahun 1903 dia ditangkap dan dikembalikan ke Italia karena menyerukan pemogokan umum dan tindak kekerasan. Tak sampai seminggu kemudian dia sudah menggelandang kembali di Bern dan Lausanne.
Dan meneruskan gaya Bohemiannya, sambil mengajarkan bahasa Prancis dan Italia. Ia menulis dan menerjemah. Juga sering menghabiskan waktu di perpustakaan Universitas Lausanne - satu-satunya kota yang tersisa baginya, karena dia telah diusir dari banyak kota lain akibat pidato dan tingkah lakunya.
Kehidupan semacam ini baru berakhir November 1904, ketika raja Italia memberi amnesti kepada semua "pelarian". Mussolini pulang, Januari 1905, untuk menjalani wajib militer dan menyaksikan kematian ibunya.
Di rumah, dilihatnya ayahnya benar-benar terpukul oleh kematian sang istri. Alessandro berhenti bekerja sama sekali. Juga dari semua kegiatan politiknya. Tiap hari kerjanya cuma minum dan melamun. Benito, yang baru pulang dari tugas militer, akhirnya tak tahan: dijualnya semua harta benda…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…