Menonton Anak-anak Belajar
Edisi: 49/14 / Tanggal : 1985-02-02 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
BEL di aula berdering. Gaung percakapan segera sirna, dan murid-murid kembali ke bangku masing-masing. Pintu terdengar bergeser dibuka. Pak guru masuk. Hening.
Ketegangan itu disusul suara gemeresak: murid-murid berdiri berbaris di samping bangku masing-masing. (Beberapa murid di barisan belakang, yang tadinya duduk, tampak berdiri dengan segan). Pak guru mengangguk singkat - dingin. Murid-murid membalasnya dengan bungkukan dalam. (Sekali lagi, di barisan belakang, murid-murid sedikit saja menekukkan badan).
Toh, hampir semua anak tampak rapi. Rambut rata-rata terpotong pendek. Ketika berdiri pun terlihat ketertiban mereka: tas bertali panjang menggantung di pundak, sementara sebelah tangan menggenggam kotak makanan. Tas yang mereka bawa hampir seragam: bergambar Snoopy pada tas cewek, dan Madison Square Garden pada yang cowok.
Pagi itu, ketika pelajaran dimulai, para murid mengeluarkan buku teks ilmu sosial. Pak guru, setelah melihat murid-muridnya siap mendengarkan, dengan bersemangat mencecar mereka - kali itu tentang hubungan keadaan geografi Jepang dengan perkembangan ekonominya. Segera terlihat, ia tak pernah menyimpang dari buku teks. Ia telah mempersiapkan diri dengan baik.
Memang, ia kelihatan seperti seorang profesional dari tipe yang terlalu serius. Tak sebuah pun alat peraga digunakannya - bahkan peta. Karena itu, pelajaran berlangsung terlalu lancar. Kadang-kadang terdengar pertanyaan-pertanyaan singkat diajukannya, tapi si guru sendiri tidak cukup sabar menunggu jawaban muridnya - pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Kadang-kadang juga ia mengulang bagian-bagian penting, dan meminta agar para murid menggarisbawahi bagian-bagian itu.
Para murid mencoba mengikutinya dengan serius. Tapi, bisa dimengerti, sungguh sulit bagi remaja tujuh belasan tahun untuk mengikuti berondongan pelajaran seperti itu. Beberapa tampak asyik mencoret-coret kertas di hadapan mereka, beberapa yang lain membaca majalah yang terselip di tengah buku teks. Yang cukup beruntung duduk di dekat jendela bisa melemparkan pandangan ke luar, menikmati cahaya musim panas dan dunia di luar gedung.
Thomas Rolen, seorang wartawan, duduk di bangku belakang selama pelajaran berlangsung. Ia, yang akhirnya menurunkan karangan berupa buku, Japan's High School, bisa merasakan kebosanan para murid. Gurauan macam apa pun, yang kadangkadang dilemparkan sang guru, tak bisa mengendurkan sedikit pun suasana yang sungguh-sungguh menekan. Waktu terasa tak beranjak. Bahkan Rohlen sendiri hampir tak tahan. Pada bukunya ia menulis, "Kelas itu sebuah penjara tersamar yang tak terhindarkan."
Rohlen, 35, ingat masa sekolahnya 20 tahun yang lalu di negaranya, Amerika Serikat. Ia membandingkan: paling tidak, gurunya dulu sangat mengharapkan jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Selain itu, gurunya juga bangga bila mampu mengajar tanpa menyentuh buku teks sedikit pun didepan kelas.
Rohlen menghabiskan waktu sekitar dua bulan di SLA Otani, Kobe. Selama itu ia terhitung jarang bisa duduk di kelas sepanjang hari. Ia selalu menerima datangnya bel tanda usai dengan riang, seperti murid-murid lainnya.
Dan ia gembira mengamati anak-anak sekolah itu menghabiskan waktu istirahat yang cuma sepuluh menit. Sekelompok murid wanita menghambur, lari menemui kawan-kawannya dari kelas lain; wajah mereka menampakkan perasaan yang tak bisa dibendung. Seorang anak laki-laki berlatih main terompet di tangga sekolah. Yang terbanyak lari kian kemari di gang, seperti melepaskan hasrat yang sangat tertekan. Pada jam main seperti itu, sekolah - yang di saat belajar sepi seperti kubur - berubah menjadi riuh rendah, nyaris kacau.
* * *
Itulah suasana sehari-hari hampir semua sekolah di Jepang. Itu pula suasana pendidikan yang konon terbaik. di dunia, yang dalam tiap tes perbandingan dengan negara lain selalu menang secara mencolok. Para murid duduk rapi, sang guru dengan teratur menyampaikan pelajaran. Hari ini Renaissance, besok Reformasi, lusa Kepler, Copernicus, Galileo. Hari ini halaman sekian sampai sekian, besok sekian sampai sekian. Tak pernah sedikit pun melenceng dari buku teks, tak ada inisiatif untuk menyegarkan suasana.
Kalaupun ada inisiatif, itu adalah kerajinan mencari pokok-pokok pelajaran yang penting, yang kira-kira akan keluar dalam ujian. Atau mempelajari soal ujian tahun-tahun sebelumnya, untuk mencari pertanyaan yang paling sering keluar. Seorang guru bahasa Inggris, ketika minum bersama Rohlen, mengadu seperti ini, "Aku tahu, aku tak bisa omong Inggris. Kehadiranmu membuat aku malu. Tetapi aku bisa mencari pokok-pokok terpenting tata bahasa Inggris. Itu lebih membantu anak-anak untuk mengerjakan ujian."
Cara mengajar yang seperti itu tentu saja tak memberi kesempatan tanya jawab. Apalagi percobaan mencari hubungan antara pelajaran dan kenyataan di luar. Yang dipentingkan adalah penjejalan informasi, bukan kemampuan menyatakan pendapat atau kemampuan berpikir kritis. Bagi orang Jepang, kemampuan seperti itu akan muncul sendiri setelah dewasa.
Karena itu, diskusi pun, jika diadakan, menjadi sangat tak efisien. Mula-mula sang guru akan mengajukan pertanyaan. Jika tak ada murid bersedia menjawab, ia akan menunjuk salah seorang dari mereka. Murid itu lalu berdiri sambil mencoba menjawab. Jika tidak bisa, ia akan berdiri terus, sampai guru itu memperoleh orang lain yang bisa menjawab. Atau - ini yang paling sering - sang guru menyerah, dan menjawab sendiri pertanyaannya. Kadang-kadang seorang murid terpaksa berdiri lebih dari lima menit, menanti pertanyaan-pertanyaan terjawab.
Melihat keadaan seperti itu Rohlen segera merasa, baik si guru maupun si murid sama-sama tak terbiasa dengan diskusi. Ia bertanya kepada si guru, dan mendapat jawaban: diskusi memang baik, tetapi susah dilakukan karena anak-anak biasanya segan. "Kedatangan Anda-lah," katanya lebih lanjut, "alasan utama diadakannya diskusi."
Rohlen membayangkan, jika sistem yang serupa diterapkan di AS, apa yang akan terjadi? Pastilah anak-anak akan segera memberontak. Anak-anak Jepang itu pun, tampak sekali, menganggap kelas mereka monoton dan tak menarik. Satu-satunya alasan mengapa mereka mau menerimanya adalah ini: persiapan menghadapi ujian.
Di Jepang, saat-saat paling menentukan bagi para pelajar memang saat-saat ujian masuk - masuk SD, SLTP, SLTA, perguruan tinggi. Dalam ujian…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…