TABIR PUTRI KERATON

Edisi: 44/14 / Tanggal : 1984-12-29 / Halaman : 55 / Rubrik : SEL / Penulis :


KETIKA menulis laporan ini, saya merasa sebagai wartawan dengan stamina puncak. Suasana reportingnya, eh, sudah dalam takaran high reporting. Betapa tidak: aku berhasil masuk ke dalam dua istana sampai ke liku-liku gangnya yang sunyi, dalam lingkungan tembok tinggi, tak terdengar suara mobil, hanya desah suara angin.

Aku berhasil ketemu dan bebas mewawancarai bunga-bunga istana di lantai Sasono Sewoko. Peristiwa ini belum dilakukan wartawan lain, memang, wartawan majalah wanita sekalipun.

Juga kisah dan masalah dalam laporan saya ini, tentang mereka. Wawancaranya saja di Sasono Sewoko, itu bangunan utama Keraton. Masih lagi, suasana senja menjelang malam hadir di Keraton ikut menambah rasa romantis putri kasunanan. Sampai aku heran, kok saya bisa ke situ. Yang hebat aku, atau nama majalah ini? Tak tahu.

O ya, wawancara di Sasono Sewoko itu hanya di lantai. Kalau di kursi, tak boleh, dilarang, itu 'kan singgasana raja. Juga berlangsung di emperan Panti Rukmi (rumah keputren) dan bangunan lain yang kami pilih. Bangunan, pot bunga, meja berukir mesti mendukung lancarnya wawancara kami.

Tentu, aku masuk Keraton dan mewawancarai putri-putri itu berulang kali. Untuk menuliskan profil mereka. Klise saya cetak dulu, biar pas. Karena sering memandangi fotonya, dan mewawancarai mereka, hatiku kok "greg" juga. Saya terangkan pada dia, " Gusti Mur, amargi kulo asring nyawang foto panjenengan, manah kulo kok dados goreh, " Dan jawab Gusti Mur, "Ah, punopo inggih. Mas Kastoyo ki kok ngaten Iho ...." (Terjemahannya: "Gusti. . ., karena sering memandang foto Anda, hati saya kok jadi guncang. Dijawab: "Ah, masa? Mas Kastoyo kok begitu, Iho ...."

Tentu, dialog itu hanya ditelan angin. Dan tentu juga aku bisa masuk Keraton sampai demikian jauh, karena pertolongan tokoh dalam yang penting, yang sangat penting. Waktu berlangsung resepsi mewah di Sasonomulyo untuk perkawinan Kus Sabandiyah dan Ir. Sony, aku melihat tiga putri duduk berjajar. Wajah mereka ayu, luwes, tapi sorot matanya melukiskan hati mereka yang tegang. Nah, ide itu datang. Aku pun menghubungi tokoh itu. Dan diterima.

* * *

Begitu memasuki Kamandungan - pintu gerbang terluar Keraton - yang terlihat adalah sekelompok satpam. Mereka memandang saya penuh selidik, seperti umumnya petugas keamanan.

"Saya mau sowan Gusti Mur. Sudah ada dawuh, " kataku. Mereka membiarkan aku memasuki Istana, menuju Sekretariat Keraton untuk mendaftarkan diri. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, kulihat Gusti Mur - Gusti Raden Ayu Kus Murtiyah muncul di Pura Sri Manganti. Aku membelokkan langkahku menghampiri dia. Dan para pegawai Istana memandang tanpa komentar.

Gusti Mur membawa aku memasuki keraton yang sudah berusia 240 tahun itu. Melalui halaman bangunan Istana yang terdiri dari Sasono Sewoko (tempat Susuhunan, sebutan raja Solo, menerima audiensi) dan Sasono Hondrowino (tempat Susuhunan bersantap dan menjamu tamu agung), kami menuju Panti Rukmi, atau kompleks Keputren, tempat semua gadis Istana berdiam.

Keraton ini, meski sudah sering diperbaiki, konon belum pernah mengalami perubahan susunan, sejak didirikan Pakubuwono ll pada 1745. Pohonpohon sawo keciknya, yang sejak dulu merindangi halaman, tak pernah terusik. Hening. Hiruk pikuk lalu lintas di luar tembok Istana tak mampu menelusup ke dalam. Yang terdengar hanya kicau burung dan gemersik dedaunan tertiup angin.

Di dalam Panti Rukmi keheningan terasa lebih menekan. Bangunan itu dipisahkan dari bangunan lain oleh sebuah tembok tinggi. Pohon yang tumbuh di halamannya lebih beragam ketimbang yang di halaman Istana. Bisa dilihat, selain sawo kecik juga ada mangga dan duwet.

Selain itu, di tengah halaman terdapat taman bunga yang lumayan indah. Ada kolam di tengahnya, dan di ujungnya terdapat pendopo, atau bangunan terbuka tanpa dinding, joglo yang tampak baru selesai diperbaiki. Genting, cat, dan lantainya masih baru. Dindingnya penuh ornamen, tiangnya berukir.

Di belakang pendopo joglo itu terdapat bangunan utama Panti Rukmi yang juga baru selesai dipugar. Gedung utama itu terdiri dari sebuah bangunan limasan memanjang dan tiga bangunan joglo limasan yang juga memanjang. Luas masing-masing kira-kira 400 m. Bangunan pertama dulu tempat tinggal para garwa ampil (selir) Susuhunan, sementara tiga bangunan sisanya tempat tinggal para putri Istana.

Tiga bangunan itu temboknya bercat abu-abu, sedangkan semua jendelanya yang besar dicat hijau. Lantainya marmar Italia. Hiasan lain, sekelompok pot bunga Cina antik, berderet sepanjang dinding.

Rasanya, memang seperti berada di sebuah dunia lain. Tetapi begitu melongok ke dalam melalui jendela, perasaan itu sirna.

Panti Rukmi disekat sekat menjadi kamar-kamar, mirip asrama. Di sebuah kamar yang agak besar terdapat pesawat televisi, video, dan telepon. Mebelnya semua terbuat dari kayu jati berukir yang tampak sudah antik. Potret PB X, PB Vll, PB Vlll, dan PB Vl berderet memenuhi dinding.

Dengan jumlah putra Susuhunan dan istri yang sekarang, bangunan sebesar itu memang menjadi berlebih. PB Xll dulu punya enam garwa ampil. Kini tinggal empat: R.Aj. Madyaningrum, R.Aj. Retnodiningrum, R.Aj. Rochgasmoro, dan R.Aj. Pudjoningrum. Yang sudah meninggal R.Aj. Pradoponingrum dan R.Aj. Kusumoningrum. Seluruh putra PB Xll 35 orang; 19 putra dan 16 putri.

Dari 16 putri itu, kini yang masih tinggal di Keraton cuma 6. Yang lain sudah menikah. Keenam gadis ini adalah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…