Samoa, Pulau-pulau Yang Hilang
Edisi: 22/13 / Tanggal : 1983-07-30 / Halaman : 27 / Rubrik : SEL / Penulis :
PADA pandang pertama, Desa Luma di Kepulauan Samoa Amerika tak sepantasnya menjadi biang kemasyhuran seorang antropolog kaliber Margaret Mead. Terletak di antara kepungan laut dan dinding-dinding bukit, perkampungannya terdiri dari rumah-rumah berlantai satu. Cukup apik, karena dindingnya diplesteri semen, atapnya dari seng bergelombang.
Turun ke tepi pantai, ada sejumlah gubuk buruk dan sebuah kedai kecil. Lalu dua gereja besar, sebuah di antaranya putih kemilau dengan lis berwarna pastel -- tegak berdiri laksana hantu. Di depannya ada lapangan pasir, tempat anak-anak bermain rugbi dan kriket.
Desa itu memiliki keindahan negeri tropis; tampak hening dan diam dalam siraman matahari, namun tak kuasa menyembunyikan lingkungannya yang jorok. Panasnya yang menggigit khas negeri terkebelakang dari dunia ketiga.
Terkebelakang, memang. Namun Luma bukan tempat yang terlupakan. Terletak di Pulau Tau, bagian dari gugusan pulau-pulau Manua di Kepulauan Samoa. Samoa sendiri terdiri dari Samoa Barat dan Samoa Amerika.
Di sinilah calon antropolog Margaret Mead, 23 tahun saat itu, melakukan penelitian lapangannya yang pertama 58 tahun berselang. Ia datang dengan bot dari Pago Pago, ibu kota Samoa Amerika, sekitar 70 mil di seberang Pasifik Selatan, dan menetap sekitar setengah tahun di sana. Kendati segera berhasil menawan hati penduduk setempat, perempuan itu sendiri mengeluh tentang udaranya yang panas. lni menghalanginya bekerja dua tiga jam di siang bolong.
Lalu, datang pula penghalang lain. Badal yang ganas menyerbu -- hanya menyisakan lima buah rumah berdiri utuh. Rencana mewawancarai penduduk jadi berantakan. Meski demikian, ketika Mead meninggalkan kawasan itu, April 1926, nada riang tecermin dalam catatan hariannya. "Girangnya aku karena memperoleh segepok bahan etnologis," tulisnya. Bahan-bahan itulah yang kemudian memberinya nama harum dan martabat, yang sungguh tidak pernah diraih antropolog lainnya -- seperti ditulis Richard Bernstein dalam The New York Times Magazine.
* * * *
Beberapa waktu berselang Bernstein sendiri datang berkeliling di Kepulauan Samoa. Di Tau ia menginap semalam, sebagai tamu Tufele (kepala desa), Pola Imu. Imu ingat cerita dari mulut ke mulut tentang persinggahan Margaret Mead yang tersohor itu. Dengan bantuannya pula Bernstein berhasil memperoleh "persambungan" dengan masa Margaret berada di sana.
Sayang, kepala desa yang dulu menerima dan membantu Mead sudah meninggal. Tapi penggantinya, dan wakil gubernur Samoa Amerika, Tufele F. L'ia, dengan suka cita membantu dan mengatur peninjauan wartawan The Times itu di Tau.
Sekarang ini penduduk desa diatur dalam kelompok-kelompok besar keluarga, masing-masing dipimpin seorang kepala desa yang kekuasaan dan wibawanya cukup besar. Di Tau sendiri Bernstein bertemu dengan Soa Ifetu, 83 tahun, satu-satunya yang masih hidup di antara bekas subyek penelitian Mead. Nenek Ifetu, yang tinggal bersama para anak, cucu, dan cicitnya di rumah kayu berlantai satu yang luas, yang dindingnya dihiasi permadani gantung, masih ingat benar akan Margaret. " Ia senang tinggal di sini dan menikmati keindahan kepulauan ini," katanya, dengan suara tinggi. Ia lalu menunjuk tato yang ada di kakinya -- yang ada kaitannya dengan si peneliti. Ia dulu menemani perjalanan sang antropolog dua hari dua malam, dan itu dinilainya cukup berani. Karena itu peristiwanya perlu ditandai dengan sebuah tato. Itu merupakan proses "perploncoan" yang terbilang sakral bagi masyarakat Samoa, meskipun biasanya "dilakukan" kaum pria.
Kendati masih terikat erat dengan masa lampau, "dibandingkan dengan masa Mead, Tau telah banyak berubah," tulis Bernstein. Dr. Mead memilih pulau itu karena keterpencilannya. Seperti yang dijelaskan melalui suratnya kepada Franz Boa, profesornya di Universitas Columbia, Tau merupakan tempat "yang tidak tercemar barang dan pengunjung Amerika." Di sana, katanya, ia dapat menyimak "gambaran tipikal kebudayaan orisinal" Samoa -- hal yang bukan gampang, kendati pada 1920-an. Tau, menurut dia, "ideal untuk bidang garapan saya."
Kepulauan di Pasifik Selatan itu sudah dipengaruhi Kristen sejak 80 tahun sebelumnya. Namun masih belum tersentuh kebudayaan Barat, konon. Menurut catatan Mead, satu-satunya bangunan papalai (asing) di pulau berpenduduk sekitar 1.000 orang itu adalah sebuah rumah obat yang menjadi markas si antropolog sendiri. "Bahkan gereja dibangun menurut gaya Samoa," tulisnya. Tau, kata Mead, kayaknya kawasan "paling primitif dan tak tercemar" di seluruh Kepulauan Samoa.
Lain dulu lain sekarang. Demikian laporan Bernstein. Kini, barang Amerika dan cara hidup Barat datang dan merasuki kehidupan rakyat kepulauan itu -- di Tau maupun seluruh Samoa. Aliran listrik sudah masuk desa dan rumah setiap orang di sana. Banyak yang telah memiliki mobil, atau lazimnya truk pikap. Orang pribumi secara tetap menerima "ransum" acara televisi Amerika termasuk iklan, tentu. Rumah khas Samoa yang menganga di dua sisi itu kini hanya menjadi tempat upacara adat, ketimbang sebagai kediaman. Di Luma, setiap satu dari 26 keluarga memiliki kulkas Amerika yang besar dan kompor gas.
Sebagian besar penduduk Tau, atau setidaknya yang berusia di bawah 60 tahun, berbicara dalam bahasa Inggris. Setiap 2.000 penduduk yang tinggal di desa-desa, seorang di antaranya bekerja di luar negeri sebagai serdadu AS atau mencari nafkah di negara-negara bagian seperti Hawaii atau California. Mereka mengirimkan sebagian penghasilan ke kampung. Setelah tinggal beberapa lama di negara bagian tertentu, sebagian besar orang desa itu menjadi warga negara AS penuh.
"Jadi, Kepulauan Manua yang lusuh, tenteram, dibasuh matahari, dan seperti tenggelam di keluasan Pasifik Selatan, kini bukan hanya telah tersentuh pengaruh Barat, tapi juga telah tenggelam ke sana," komentar Bernstein.
"Ketika tiba di siang Sabtu yang bolong, aku disambut putra tuan rumahku yang berusia 12 tahun, Salo," Bernstein berkisah. "Kami duduk di depan meja, di ruang tamu Samoa yang besar dan berbentuk oblong di dekat rumah Tufele. Lantainya ditaburi kerikil, dan meja dipenuhi majalah dan buku komik. Ada sebotol minuman keras tiruan dan sekaleng obat serangga semprot.
"Televisi dan video kaset terletak di lapik yang apik di anjungan. Di luar, pohon-pohon kelapa tumbuh berjajar, sementara pohon-pohon pisang seperti sosok bayangan yang remang-remang -- berlatarkan laut yang bergelora. Angin santer singgah.
Saat kami menunggu ayahnya pulang dari pesta kawin, Salo menawariku menonton video. Malam ini kita menonton film Rockylll, O.K. ?," katanya dalam bahasa Inggris yang jumpalitan, namun lancar.
* * * *
Perubahan yang melanda Samoa menarik minat setidaknya karena dua hal. Pertama, Kepulauan Samoa akhirakhir ini menjadi pokok perdebatan antropologis berkenaan dengan karya Margaret Mead, yang meninggal pada 1978 itu, dan Derek Freeman, guru…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…