Jepang Dan Orang Asing
Edisi: 11/13 / Tanggal : 1983-05-14 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :
DI medan perang itu, 3.000 tentara tegak memegang bedil. Mereka berdiri di balik tonggak-tonggak kayu. Mereka menunggu. Dari seberang sana, ratusan samurai berkuda menyerbu dengan mengacungkan tombak dan pedang. Begitu mendekat, 3.000 tentara yang menunggu itu membidik. Tembakan menggelegar. Tubuh manusia dan kuda terbanting jatuh, bergelimpangan. Medan perang bersimbah darah.
Hasilnya sudah bisa diduga: mereka yang bersenjata apilah yang menang. Senjata kebanggaan tradisional para kesatria Jepang, pedang baja yang bagai sembilu itu, tak berdaya apa-apa ....
Adegan itu bisa dilihat pada bagian akhir film sutradara termasyhur Akira Kurosawa, Kagemusha. Adegan itu juga bisa dibaca di buku sejarah Jepang: peperangan Nagashino di tahun 1575. Itulah hari kemenangan Oda Nobunaga, penguasa Provinsi Owari. Juga hari itu adalah hari yang menandai berubahnya cara orang Jepang berperang -- dan menunjukkan bagaimana bangsa ini, yang terkenal tertutup, pandai memanfaatkan keunggulan orang asing.
Cara berperang itu sendiri sebenarnya memang sudah agak lama berubah. Di masa lampau pertempuran lebih sering terbatas pada adu kecepatan memainkan pedang di antara para samurai. Tapi perlahan-lahan taktik baru dirasa lebih. efektif: tentara biasa, orang kebanyakan yang tak dilahirkan sebagai anggota kasta tinggi itu, dengan berbaris rapat mengacukan lembing panjang, ternyata dapat mengalahkan para kesatria.
Dan ketika di tahun 1543 para penguasa Jepang mulai membeli bedil berbentuk korek api dari para petualang Portugis, babak baru pun terbuka. Dengan cepat senjata bermesiu itu diproduksi oleh orang Jepang sendiri. Meskipun para samurai banyak yang menganggapnya sebagai senjata pengecut, para panglima pasukan yang cerdik tak melepaskan kesempatan itu. Bedil yang kapasitasnya makin ditingkatkan oleh para pandai besi Jepang sendiri -- dapat merobohkan musuh yang paling tangguh dari jauh.
Lagipula senjata api itu dapat memenuhi kebutuhan para penguasa kecil yang selama ini tak punya dukungan samurai dalam jumlah besar. Menggunakan bedil tak memerlukan latihan yang panjang seperti halnya menggunakan pedang. Petani biasa pun dengan cepat dapat dicetak jadi prajurit yang berbahaya.
Nobunaga termasuk dalam kalangan daimyo yang memerlukan tentara secara cepat, murah, dan banyak. Dan ia bukan orang yang takut kepada adat. Bahkan dia tidak takut kepada siapa pun -- termasuk para rahib Budha dan siksa akhirat.
Jangkung ramping, liat, dan bersuara jernih, Nobunaga yang mencicipi kemenangan besar pertama kali ketika masih berumur 26 tahun itu dengan kasarnya bisa memperlakukan para bangsawan lain. Seorang pastor Portugis, Padrea Frois, yang menemuinya ketika Nobunaga berumur 37 tahun -- kali pertama ia menerima orang asing -- mencatat bagaimana kurang-ajarnya tokoh ini. "Dengan terbuka ia menyatakan bahwa tak ada itu yang namanya Sang Maha Pencipta, juga tak ada kehidupan abadi atau hidup setelah mati."
Ia dengan tak tanggung-tanggung menghancurkan kuil-kuil Budhis, guna mendapat batu untuk membangun kastil. Rakyat Kyoto yang akhirnya ia kuasai kaget dan ngeri menyaksikan patung-patung suci itu diseret ke tempat pembangunan kastil untuk dibikin berkeping-keping. Para rahib mengunci mulut tak berdaya.
Apalagi setelah Nobunaga dengan kekejaman yang khas dia mengepung Gunung Hiei, sebuah bukit besar di utara Kyoto. Sebanyak 30.000 tentara dikerahkan buat merebut wilayah suci para padri Budha itu. Dengan satu gempuran, ketujuh sekolah tinggi keagamaan yang ada di sana dibakar sampai lumat. Para rahib, wanita, dan anak-anak yang tertangkap dengan serta merta dipenggal.
Tak heran bila dalam film Kagemusha kita bisa melihat bagaimana Nobunaga membiarkan bebas -- dan bahkan dapat bantuan dari para pastor Jesuit yang mulai meninggalkan pengaruhnya di Jepang. Dalam satu adegan nampak ia berangkat berperang dengan diiringi doa para pastor itu dalam bahasa Latin. Nobunaga sambil setengah mencemooh berkata, "Amen . . . ". Dia bukan Nasrani. Dia cuma mainmain -- dengan doa, Tuhan, kematian, dan adat istiadat.
Dia barangkali bukan tokoh urakan yang luar biasa dalam sejarah pembaruan Jepang. Tapi jelas, dia contoh sebuah sikap yang kemudian menang dalam perkembangan bangsa ini ke arah zaman modern.
Tulisan ini adalah satu fragmen dari sejarah, yang menunjukkan contoh bagaimana orang Jepang bersikap terhadap dunia luas, khususnya Barat -- dan bagaimana mereka memanfaatkannya.
Tak banyak yang diketahui sebetulnya, apa yang terjadi ketika orang Jepang pertama kali…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…