BEIRUT, OH, BEIRUT

Edisi: 03/12 / Tanggal : 1982-03-20 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


PELABUHAN Beirut, kini, bukan hanya tempat timbunan kapal. John Kifner, dalam sebuah laporan panjang di New York Times Magazine Desember lalu, menceritakan bagaimana pelabuhan itu menjadi lintas penyeberangan terbaik dari wilayah barat yang dikuasai Muslimin ke wilayah timur yang dikuasai Kristen. Di sini kegiatan perdagangan yang pragmatis menang mutlak atas rasa amarah dan benci. Di sini pula tembak-menembak jadi amat berkurang pada siang hari.

Pelabuhan adalah satu dari lima tempat yang masih menyimpan kemungkinan untuk melintasi apa yang mereka sebut Garis Hijau. Garis ini merupakan daerah tak bertuan sepanjang 4 mil -daerah puing reruntuhan, yang membagi kota yang dulunya kaya dan mempesona itu menjadi dua kubu bermusuhan, dikuasai tentara, milisi atau kelompok bersenjata.

Garis Hijau terbentuk sebagai hasil perang saudara muslimin dan Kristen. Sedang perang itu sendiri, pecah tahun 1975, memperkelahikan dua hal dasar: perseujuan jangka panjang yang selama ini memberikan kekuasaan politik kepada golongan Kristen, dan kegiatan gerilyawan Palestina. Memang, orang-orang Palestina sendiri segera terlibat dalam kecamuk itu.

Lantas 1976 pasukan Suriah menyerbu Libanon dengan alasan menciptakan perdamaian. Israel, Libya, Arab Saudi, Irak, Iran, ikut berperan mempertajam konflik--dengan jalan membagi-bagikan uang dan senjata kepada sekutu masing-masing. Perang pun berhasil melembaga.

Untuk kebanyakan penduduk Beirut, pertempuran dari hari ke hari sekarang ini bukan lagi untuk tujuan politik. Tapi sekedar sarana untuk bertahan hidup. Beirut telah menyesuaikan diri dengan pergolakan harian semacam itu--dengan kemudahan yang mengejutkan.

Kadang-kadang sukar mengingat kembali bagaimana indahnya Beirut beberapa tahun lalu. Sebuah Paris di Timur, ibukota negeri yang disebut Permata Laut Tengah. Libanon dikaruniai pantai berpasir, pelabuhan yang dalam, pegunungan, air melimpah, satu dari tanah paling subur di Timur Tengah, dengan penduduk paling maju dalam usaha di kawasan itu. Berski di waktu pagi, berjemur dan berenang di petang hari, berlibur sampai larut malam.

Elite yang makmur memperagakan berlian gemerlapan, berpesta gila-gilaan, melari kan Jaguar dan Ferrari dari klub yang satu ke tempat dansa yang lain. Sementara rebana dan suling Arabia bertarung dengan musik Eropa, mengiringi tarian perut dan derai tawa gadis-gadis penuh aroma.

Kini semua padam. Azab Tuhan sudah dijatuhkan. Negeri itu masih tetap indah. Tapi hotel-hotel bertembok kelabu di pegunungan, tempat para pangeran Arab dulu melewatkan musim panas dalam dunia khayali, hancur berlubang-lubang. Juga gedung-gedung bergaya kolonial peninggalan Prancis.

TOH, di tengah kehancuran orang Libanon tampil sebagai makhluk yang cerdik. Pemerintahnya bangkrut sudah. Tapi bagi mereka yang sanggup bertahan di antara desing peluru, Beirut menjelma jadi sebuah kawasan yang menawarkan sesuatu yang lain lagi. Penyelundupan, narkotika, perdagangan ganja, serentak dengan tumpahnya dollar berjuta-juta untuk membiayai pasukan dan gerilya, telah menciptakan kesempatan bagi lahirnya sebuah elite baru --yang tidak kurang makmur dari yang sebelum ini.

Pemilik sebuah butik yang menawan di dekat Jalan Hamra yang dulu penuh pesona, terus terang berkata bahwa tiga tahun terakhir ini merupakan tahun-tahun terbaik bagi bisnisnya. Seorang wanita yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, tiba-tiba masuk -- dan membeli setengah lusin gaun mahal sekaligus. Di pojok sebuah toko bunga, seorang pria dengan sepucuk pistol otomatis terselip di sabuknya, dengan sukacita menulis cek $700. Hanya untuk karangan bunga. Katanya dia merayakan ulang tahun anaknya di rumah.

Meski kekerasan mendorong penduduk kembali ke keluarga, dusun, kelompok feodal dan golongan politik yang terpecah-pecah, arus 'uang gampang' mengalir deras. Ini bukan lagi ekonomi laissez-faire. Ini keleluasaan. Beirut kini sebuah kota yang menghidupkan dan memberi makan anarki.

Dalam banyak hal kedua bagian kota ini berkembang jadi dua dunia yang berbeda. Beirut Barat, yang dikuasai golongan kiri, bercirikan sampan dan senjata. Sampah terlihat di mana-mana: tertimbun, tersebar, teronggok di kedua tepi jalan. Dan di salah satu bagian kota yang lebih necis, sampah bertengger di pucuk pepohonan ini karena penduduk melemparkannya lewat jendela di tingkat atas.

Seperti pelbagai hal lain di Beirut, sampah itu politis sifatnya. Sebuah mesin pemroses sampah terdapat di Beirut Timur yang Kristen. Begitu juga truk-truk pengangkut. Tapi sampah dari rumah penduduk beragama Islam jarang sekali diurus. Diceritakan bagaimana beberapa insinyur muslim menemukan arus pasang air laut yang menghempas sepan jang pantai hingga ke sektor Junieh, bagian kota yang didiami orang Kristen. Oleh para insinyur yang tidak kehabisan akal, sampah daerah muslim itu diceburkan ke gelombang pasang--dan terbawa ke tempat pembakaran.

ADAPUN senjata di Beirut Barat bukan saja politis, tapi juga ornamen. Kaum lelaki mengenakan senjata bagai wanita memperagakan permata. Mereka sisipkan pistol otomatis ke balik celana jin, dan sekedar pamer mereka biarkan gagangnya menonjol di atas saku bclakang. Para penembak muda di Beirut Barat bersantai dalam kursi lipat di depan tumpukan karung pasir, yang dibangun untuk melindungi daerah perkantoran dengan senapan AK-47 (Automatic Kalashnikov) atau peluncur granat di pangkuan mereka. Penembak di Beirut Barat melenggang sepan jang jalan sambil mengepit AK, tidak ubahnya orang Prancis membawa roti panjang yang terkenal itu.

Di seberang Garis Hijau, di Beirut Timur yang Kristen, toko-toko dan restoran juga dilindungi deretan karung pasir. Di sini pertumpahan darah yang terjadi bertahun-tahun antara pelbagai aliran dalam agama Kristen, justru memberi peluang bagi Partai Phalangist. Partai ini pula menciptakan tatatertib di saat-saat pemerintah yang resmi tidak berfungsi. Mereka melembagakan ketentuan ketat dalam halkeamanan, termasuk latihan terhadap setengah dosin anjing khusus untuk mengecek bom mobil yang sewaktu-waktu bisa meledak di kawasan perumahan. "Tidak begitu sukar, karena tidak ada orang asing di sini," seorang jurubicara militer menjelaskan. Yang d imaksud orang asing itu Suriah dan Palestina.

Orang Phalangist melarang orang lain yang tidak berhak menggotonggotong senjata sepanjang jalan raya, kecuali yang mendapat tugas tertentu. Meski begitu ada saja orang bersenjata --berjalan ke sana ke mari. Pihak polisi sendiri memperhitungkan tidak kurang dari 2/3 penduduk Beirut bersenjata.

Di Beirut Timur, polisi memang tidak takut muncul di tempat umum. Mereka juga memasang papan penghalang di sebuah jalan besar, khusus untuk memeriksa STNK, satu…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…