Pukat Daerah & Jaring Nelayan; Di Laut Kita Kalut
Edisi: 36/03 / Tanggal : 1973-11-10 / Halaman : 08 / Rubrik : NAS / Penulis :
PROTES tak kurang derasnya datang ke alamat gubernur Ali Sadikin, ketika dia juga menurunkan instruksi pembongkaran di laut. Ini terjadi tidak lama setelah Kepala Daerah Jakarta Raya itu mengharuskan agar seluruh bagan -- rambu-rambu perangkap ikan -- yang ada di daerah perairan teluk Jakarta dibersihkan. Alasannya tentu tidak hanya karena bangunanbangunan perangkap ikan itu mengganggu lalu-lintas laut yang semakin ramai, tetapi juga untuk mengamankan anak cucu ikan. Dan inilah salah satu permulaan tindakan pengamanan terhadap cara-cara penangkapan ikan yang dapat mengancam kelestarian laut.
Protes-protes itu tentu saja datang dari para nelayan yang selama ini digoongkan kecil dan berperalatan tradisionil. Mudah difahami kalau mereka sebagai penangkap ikan yang hampir hanya bermodal tenaga, pastilah alat sederhana itu sama artinya dengan takaran periuk nasi keluarga. Lebih dari itu, tindakan tadi kembali memancing soal yang sudah menjerat kalangan nelayan sejak 34 tahun belakangan ini. Sqak pemerintah membuka pintu bagi penanam-penanam modal di bidang perikanan tahun 1968, makin bangkit perasaan tanpa perlindungan di tengah kesibukan penangkapan ikan di laut dengan alat-alat terbaru dari fihak asing maupun pengusaha-pengusaha dalam negeri yang bermodal kuat. Bagi nelayan-nelayan tradisionil dirasakan bahwa mereka yang masih serba sederhana bukan hanya tidak mampu bersaing dalam jumlah pendapatan, tetapi juga nelayannelayan bermodal tadi dianggap telah melanggar dan sekaligus menguras sumber rezeki keluarga mereka.
Barang Selundupan
Nelayan-nelayan di sekitar laut Maluku misalnya, beberapa waktu lalu berkali-kali menyatakan ketidak-senangan mereka atas tingkah kapal-kapal penangkap ikan Jepang. arena fihak asing yang telah mendapat izin pemerintah pusat ini dianggap mengikis habis isi laut di luar ketentuan yang telah ditetapkan. Hampir bersamaan dengan ini pemburu-pemburu ikan tak berkapal di daerah Sumatera Utara dan Aceh, merasa pula rezeki mereka telah terjerat oleh pukat-pukat harimau (trawl). Malahan dari propinsinya gubernur Marah Halim -- yang menghasilkan hampir 50% dari seluruh produksi ikan laut seluruh Indonesia -- pernah mengirimkan sebuah delegasi dengan nama yang cukup aneh ke berbagai instansi pemerintah: Badan Perjuangan Penertiban Pukat Harimau. Pokok pangkalnya tetap sama, yaitu armada-armada penangkap ikan yang modern atau setengah modern itu telah mengancam kehidupan para nelayan yang bersarana sederhana. Padahal golongan tanpa kapital ini merupakan bagian paling besar dari seluruh penangkap ikan di laut. Karena itu diminta agar pemerintah paling tidak membatasi jumlah armada itu atau sekaligus mengusirnya ke laut lebih jauh lagi agar terlepas dari jangkauan perahu atau alat pancing nelayan-nelayan tradisionil.
Tidak kalah menariknya, tuntutan itu bergerak pula dari dalih bahwa cara-cara nelayan bermodal tadi akan memusnahkan kekayaan laut bagi anak cucu kita kelak…
Keywords: HNSI, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Ali Sadikin, Marah Halim, Mayjen Widodo, Nizam Zahman, Dahrif Nasution, PT Askrindo, Pukat Harimau, RUU Perikanan, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?