Setelah 22 Januari 1974 ...; Mengangkat Pribumi
Edisi: 01/04 / Tanggal : 1974-03-09 / Halaman : 46 / Rubrik : EB / Penulis :
MEMBAHAS masalah pribumi ibarat memutar piringan hitam lama yang tak pernah basi. Tapi masalahnya memang tidak bisa berputar-putar di tingkat seminar saja. Dan hal inilah rupanya yang disadari para pengambil keputusan di seputar meja lonjong Bina Graha. Sehingga bola yang mulai meluncur di penghujung tahun lalu -- yang dikenal dengan keputusan kredit 5 juta --, menggelinding makin kencang setelah Pemerintah melalui forum Dewan Stabilisasi Ekonomi mengumumkan kebulatan tekadnya di Bina Graha, hanya seminggu setelah kerusuhan 15 dan 16 Januari yang lalu (TEMPO, 2 Pebruari). Ibarat hasrat yang sudah mencuat sampai ke rongga tenggorokan, pengumuman Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh serta-merta mengundang puluhan, bahkan ratusan aplikasi baru dari massa pribumi yang sedang pengap menanti datangnya rahmat bantuan modal dan ruang gerak. Terang saja petugas-petugas bank-bank pemerintah menjadi kewalahan. Bayangkan saja: mengurusi permohonan-permohonan kredit ukuran sedang dan besar saja, yang sudah masuk lebih dulu, kerap kali masih makan waktu berminggu-minggu akibat kurangnya personalia dan prosedur yang tersendat-sendat. Sehingga kebijaksanaan kredit ringan berkaliber teri yang berjubel peminatnya, membuat beberapa kantor cabang bank pemerintah terpaksa angkat tangan. Menyerah dan menanti petunjuk lebih lanjut dari kantor besar. Pada gilirannya kantor besar juga menanti hasil pembicaraan Bank Sentral yang juga tidak lepas dari unsur-unsur Ekuin lainnya.
Keputusan Politik
Di sinilah terbuka satu jurang yang masih perlu dijembatani. Bak kata seorang pejabat Ekuin di eselon Dirjen. "Masih ada batas antara para pengambil keputusan politik dengan para pelaksana di lapangan". Itu terbukti dari soal kredit 5 juta, awal Desember yang lalu (TEMPO, 15 Desember 1973). Memang betul bahwa sebelum keputusan itu diumumkan dari Bina Graha, hal itu sudah dirembuk-kan dulu di lingkungan Bappenas, Departemen Keuangan, Bank Sentral dan instansi-instansi Ekuin lainnya. Misalnya soal jumlah 5 juta rupiah itu sendiri, suatu jumlah yang tidak terlalu kecil tapi juga tidak terlalu besar. "Maksudnya adalah untuk mencapai efek pencar (spread effect) yang maksimal, dengan memilih sasaran yang cukup luas", ujar pejabat Ekuin tadi pada TEMPO. Namun tidak disangkalnya, bahwa angka Rp 5 juta itu lebih banyak bertolak dari ukuran Jakarta. Artinya: dengan menanyakan lebih pada segelintir pengusaha di Jakarta, apa yang dapat diperbuat dengan uang 5 juta rupiah itu. Cukup bijaksana memang, sebab sudah dapat diperkirakan, bahwa ukuran Jakarta itu bisa makin membesar kalau kita beranjak ke daerah. Kecuali bagi barang-barang impor yang sudah punya harga standar, yang justru masih harus dibebani lagi dengan 1001 biaya makin jauh kita meninggalkan Jakarta, pusat perekonomian negeri ini.
Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang jauh dari Pusat namun cukup strategis letaknya, modal kerja 5 juta rupiah besar artinya bagi mereka yang ingin membuka peternakan kecil-kecilan. Atau sepotong tanah perkebunan, di mana harga tanah belum begitu mencakar langit seperti di wilayah Ali Sadikin atau Mang Ihin. Detail semacam ini tentu saja belum terperinci secara matang di fikiran para pengambil keputusan di Jakarta. Sehingga implementasi keputusan-keputusan yang masih serba umum yang disampaikan lewat perantaraan Menteri Mashuri atau Sekretaris Negara Sudharmono, justru diharapkan perincian lebih lanjut dari para pelaksana. Dan bukan sikap menanti instruksi lebih lanjut, sikap yang nampaknya mengental di kalangan pelaksana pembangunan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Proses pengambilan keputusan yang masih mentah di bawah itu juga tampak ketika dari Bina Graha diumumkan tekad Pemerintah mengatasi kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi ditambah asing dalam PMA dan PMDN. Bak kata seorang ekonom yang banyak berkecimpung di kalangan pengusaha swasta pada TEMPO: "itu baru keputusan politik". Mengapa? "Sebab kita belum mengetahui langkah-langkah konkrit yang akan diambil untuk mewujudkan pribumisasi dan sosialisasi saham PMA/ PMDN itu". Sama halnya seperti dalam urusan kredit 5 juta, fihak BKPM sendiri masih meraba-raba bagaimana implementasinya. Belum lagi kaitan keputusan DSE (Dewan Stabilisasi Ekonomi) 22 Januari itu dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang sudah ada, dan masih berlaku. Misalnya UU-PMA No.l/1967 yang sudah mendapat sorotan dari berbagai kalangan, karena di sana-sini sudah tidak senaras dan sejiwa dengan keputusan 22 Januari (TEMPO, 16 Pebruari). Atau ketentuan-ketentuan DSE terhadap Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), khususnya menyangkut pribumisasi dan sosialisasi saham yang belum disinkronkan dengan UU-PMDN No.6/1968.
Seperti dibeberkan Ketua Panitia PMDN, Drs Sri Pamungkas dalam penataran warawan ekonomi yang diselenggarakan LPKP (Lembaga Pendidikan & Konsultasi Pers), UU-PMDN disusun "untuk memberikan perlakuan sama bagi pengusaha nasional dengan PMA". Tapi lebih khusus lagi "untuk mengaktifkan modal-modal domestik asing yang sudah beberapa generasi ada di Indonesia". Karena itu yang dipentingkan adalah pengalihan pemilikan modal-modal dari tangan WNA ke tangan warga negara Indonesia. Tanpa pandang bulu apakah dia itu pribumi atau non-pribumi, pokoknya asal pada saat pertama investasi, 51% saham ada di tangan warga negara Indonesia. Ketentuan tentang naturalisasi saham memang ada. Yakni pada akhir tahun lalu (1973) saham yang ada di tangan WNI sudah harus mencapai 75%. Sedang pada akhir 1977 di pertengahan Pelita II seluruh modal…
Keywords: DSE, Dewan Stabilisasi Ekonomi, Rachmat Saleh, Ali Sadikin, Mashuri, Sudharmono, PMDN, Penanaman Modal Dalam Negeri, Drs Sri Pamungkas, Jakob Tobing, Drs Rachmat Mulyomiseno, Anton Simatupang, 
Artikel Majalah Text Lainnya
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…