TANDATANYA, TANPA PANTUN

Edisi: 07/04 / Tanggal : 1974-04-20 / Halaman : 34 / Rubrik : BK / Penulis :

BENIH HARAPAN,
; oleh A. Samad Said Penerbit Grafika Sendirian Berhad Kuala
Lumpur, cetakan pertama 1973, 24 halaman.

; ***

; BAGI saya kesulitan dalam menilai sajak-sajak mutakhir
pengarang-pengarang Malaysia adalah karena apa yang di sana
mungkin sudah dirasakan sebagai puisi, belum terasakan demikian
untuk ukuran bahasa Indonesia. Ini barangkali akibat dari
perbedaan perkembangan kedua bahasa, Malaysia dan Indonesia.
Perbedaan itu tidak hanya dalam tingkat kekayaan perbendaharaan
kata-kata, tapi lebih-lebih -- dalam hubungannya dengan puisi --
pada makna dan rasa yang dikandung oleh ungkapan-ungkapan atau
kata-kata itu sendiri pada masing-masing bahasa. Apa yang
mungkin di Malaysia dirasakan sudah halus dan lembut bahkan
puitis. di Indonesia --artinya bagi perasaan dan telinga di
Indonesia -- masih bisa terasa "kasar", prosais bahkan
barangkali "vulger". Dengan contoh-contoh dari sajak-sajak
pengarang mutakhir Malaysia terasa kesan yang kuat bahwa
sementara bahasa Indonesia sudah menjadi piranti "pengucapan
puisi", bahasa Malaysia -- sekali lagi untuk ukuran Indonesia
baru merupakan "bahasa prosa".

; Anehnya, perbedaan ini tidak begitu terasa benar ketika
sastrawan-sastrawan Malaysia masih belum melepaskan diri dari
pola-pola pantun -- seperti yang bisa dilihat pada karya-karya
yang mereka tulis dan terbitan sebelum tahun 50-an. A. Samad
Said, sastrawan Malaysia tergolong Angkatan 50 yang sekarang
bekerja sebagai wartawan dan redaktur koran Berita Harian Kuala
Lumpur dan kini muncul dengan kumpulan sajak-sajaknya yang
terbaru Benih Harapan -- juga pernah mengalami "periode pantun"
ini dalam…

Keywords: -

---

Foto Terkait