Hati-hati Dengan Korupsi

Edisi: 16/06 / Tanggal : 1976-06-19 / Halaman : 05 / Rubrik : NAS / Penulis :


SETELAH senyap-senyap sejak tahun 1970-an, korupsi sekarang dipercakapkan lagi. Terakhir Pemerintah menegaskan bahwa benalu itu masih terus diperangi. Cuma, seperti dikatakan Jaksa Agung Ali Said SH pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sudah menjadi pekerjaan rutin. Dalam rapat Kerja bersama Komisi III DPR pimpinan Ny. Mudijomo SH pekan lalu, Jaksa Agung menegaskan bahwa walaupun saat ini jarang terdengar adanya pemberantasan korupsi secara besar-besaran -- seperti di bidang penyelundupan dan narkotika -- Pemerintah terus mengantamirnya.

Sebagai dikatakan Wilopo,"korupsi dan penyelewengan lainnya adalah masalah hidup atau matinya kita bersama" Karena itulah agaknya orang ingin melihat Pemerintah lebih trampil lagi dalam pentrabasan korupsi . Apalagi, khusus untuk korupsi telah ada alat baru Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.3 tahun 1971. Iazim disebut UU Anti Korupsi (UUAK). Wilopo yang paling akhir bicara soal trio penyeleweng di Indonesia pun berpandangan seharusnya aparat Kejaksaan bisa bertindak lebih keras (lihat: Satu Jam dengan Wilopo).

Dalam suasana demikian tahu-tahu ada berita dari negara tetangga. Datuk Harun bin Idris. Menteri Besar Selangor Malaysia oleh pengadilan sana telah dihukum 2 tahun penjara. Dia dipersalahkan karena jabatannya telah menerima uang suap dari sebuah bank di Hongkong. Uang yang berjumlah sekitar Rp 80 juta itu menuruttuduhan dipakai untuk mempengaruhi Harun, sebagai Menteri Besar, guna memperoleh persetujuan dari pemerintah Selangor terhadap rencana bank tersebut untuk menyatukan beberapa buah gedungnya (TEMPO, 29 Mei).

Di Jakarta Ketua Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung Nasution SH memberikan reaksi atas putusan bersejarah dari tetangga seberang itu. Kepada Kompas, ia mengemukakan 3 hal yang patut ditarik dari proses peradilan Datuk Harun. Pertama, adanya sikap mental tanpa pandang bulu dalam menegakkan hukum. Tak soal apakah tersangka seorang Menteri Besar, dan bahkan disebut-sebut sebagai calon Perdana Menteri Malaysia, tetap tidak kebal terhadap hukum. Kedua, norma-norma hukum dan moral amat dijunjung tinggi di kerajaan itu. Jadi seorang pejabat yang menerima imbalan jasa, karena pelayanannya kepada masyarakat -- yang adalah kewajibannya -- termasuk melakukan korupsi. Bukan seperti gejala-gejala dalam masyarakat kita sekarang, yang menganggap hal seperti itu sebagai hak yang wajar. Begitu pandangan Buyung yang meneruskan: "Bisa dibayangkan berapa banyak kasus serupa itu yang menyangkut pejabat-pejabat kita. Yang menerima imbalan jasa, bukan saja dalam soal tanah atau kaveling. Melainkan dalam berbagai proyek. order-order pembelian dan sebagainya, yang menjadi wewenangnya". Ketiga, Buyung menunjukkan kenyataan bahwa Hakim Raja Azlan Shah. adalah bekas rekan Datuk I Harun dalam Kementerian Kehakiman Malaysia Fakta ini menunjukkan bahwa orang-orang di sana bisa bersikap lugas. R.O. Tambunan SH, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Karya Pembangunan juga memberi pandangan yang lebih kurang sama dengan Buyung.

Sebelum angin Datuk Harun bertiup, lidah orang masih belum kering dengan kejutan hutang Pertamina. Tapi di balik itu ada pula yang bisik-bisik tentang kemungkinan memintai tanggungjawab hukum pimpinannya.

Kasus Datuk Harun maupun Pertamina hanya sekedar mengingatkan orang pada situasi hitam yang sudah klasik. Lingkaran situasi itu dihimpit oleh masalah penyelundupan yang lain pula sifatnya dengan penyelundupan model lama. Pemerintah sudah bersikap galak terhadap para penyelundup, khususnya para importir swasta. Nusakambangan sudah tersedia. Kedua bentuk perbuatan serong itu kini bagaikan lingkaran tak berbatas. Makin dimasuki, makin sukar ditemukan batasnya.

Penyelundupan dan korupsi itu memang bagaikan saudara kembar. Ali Said kepada DPR menyebutkan dalam suatu penyelundupan pun bisa terkandung perbuatan korupsi. Memang sudah banyak contoh. Bahkan yang menarik adalah kasus Robby Tjahjadi, pedagang mobil yag telah merugikan negara lebih Rp 600 juta itu. Kepadanya bahkan sengaja dipakai UUAK. Menurut Jaksa Agung Sugih Arto waktu itu dipakainya UUAK adalah supaya lebih mendekati rasa keadilan masyarakat (TEMPO, 17 Maret 1973). Lain dengan peraturan yang berkaitan dengan penyelundupan, UUAK mengancam hukuman 20 tahun, bahkan sampai seumur hidup.

Oleh Majelis Hakim pimpinan Bismar Siregar SH dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Robby dihukum 7 1/2 tahun, denda Rp 10 juta serta perampasan rumah terhukum yang bernilai Rp 100 juta di samping barang-barang lainnya. Pada tingkat banding, Robby mendapat keringanan hukuman menjadi 2 1/2 tahun plus denda Rp 5 juta. Sekarang tentu pedagang mobil itu sudah merdeka, karena dipotong masa tahanan.

Robby adalah tes untuk mencoba UUAK. Sekaligus,kasusnya besar karena dia main-main dengan mobil mewah. Ada Robby, ada Abu…

Keywords: Ali Said SHMudijomo SHU Anti KorupsiUUAKWilopoDatuk Harun bin IdrisAdnan Buyung Nasution SHRaja Azlan ShahR.O. Tambunan SHRobby TjahjadiBismar Siregar SHAbu KiswoTomasouw SHWantjik Saleh SH
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?