Kini Kita Tanya Dpr Baru; Wakil Rakyat ?
Edisi: 33/07 / Tanggal : 1977-10-15 / Halaman : 04 / Rubrik : NAS / Penulis :
DEWAN Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1977 belum lagi berusia dua minggu. Banyak juga wajah baru yang dilantik, di samping yang ditunjuk. Orang di luaran ada juga menaruh harapan pada lembaga perwakilan rakyat yang baru itu. Satu dan lain hal karena masuknya tokoh 1945, bekas Menlu Adam Malik, yang menjabat sebagai ketua. Tapi terpilihnya Mh. Isnaeni (PDI) sebagai salah satu wakil ketua DPR/MPR pantas juga dicatat sebagai preseden (kebiasaan) baru dalam cara pengambilan suatu keputusan.
Itu terjadi pada persidangan pertama DPR/MPR, dua hari setelah acara pelantikan di satu Oktober lalu. Isnaeni, yang juga duduk sebagai wakil ketua dalam DPR 1971 dan DPR-GR, ternyata tak mendapat dukungan dari partainya sendiri, yang lebih suka mencalonkan Prof. Usep Ranuwidjaja. Tapi anggota DPP PDI dan bekas duta besar RI di Hanoi itu ditolak. Sebaliknya ketiga fraksi: ABRI, Karya Pembangunan dan Persatuan Pembangunan serempak mendukung masuknya Isnaeni sebagai wakil ketua.
Dengan sedikit ribut-rihilt Isnaeni pun akhirnya sah terpilih. Dengan kata lain, keputusan itu ditempuh berdasarkan suara terbanyak. Agak ironis memang, kalau saja diingat balwa cara pengambilan keputusan seperti itu sering dihindari oleh DPR hasil Pemilu 1971.
Beberapa anggota pun merasa terkejut. Termasuk yang bukan PDI juga. Mereka agaknya belum lupa akan masa persidangan di tahun 1973, ketika Pemerintah mengajukan RUU tentang Perkawinan. RUU yang ditentang keras oleh fraksi PP itu baru bisa mendapat persetujuan - dengan perubahan di sana-sini - setelah melewati proses persidangan yang menelan 4 bulan. Itu pun baru berhasil setelah Pangkopkamtib turun tangan waktu itu Jenderal Sumitro - dalam beberapa kali perundingan yang berlangsung di Wisma Kartika Chandra, Jakarta.
Andaikata pada masa persidangan ketika membahas RUU Perkawinan itu ditempuh sistim pemungutan suara. Jelas masa persidangan tak perlu sampai berpanjang-panjang hingga 4 bulan. Juga hasilnya tentu akan berlainan.
Kalau jumlah suara di antara fraksi di DPR itu kurang lebih berimbang, sistim pemungutan suara jelas akan lebih kena. Tapi melihat keadaan sampai sekarang, ada alasan bagi anggota baru, Ridwan Saidi (PP) untuk sedikit risau. "Kalau pengambilan keputusan politik berdasarkan kwantitatif, maka inisiatif dan peranan DPR bisa dipastikan akan dipegang fraksi Karya yang punya anggota 257 orang," katanya. Ridwan, 35 tahun, adalah bekas ketua umum HMI yang baru saja terpilih untuk daerah pemilihan Jakarta.
Tapi biarlah orang mendengar apa kata R.O. Tambunan, 41 tahun, yang tak terpilih lagi mewakili fraksi Karya. "Kalau cara musyawarah-mufakat dipakai terus bisa bikin repot juga," katanya. "Karena dengan satu orang saja tak setuju bisa bikin berantakan." Pengacara yang jadi terkenal setelah debatnya dengan Ketua Bulog Bustanil Arifin itu, lalu mengambil contoh pemilihan pimpinan DPR yang baru-baru ini berlangsung. Pendapatnya memang lebih praktis dari Ridwan. "Jika harus musyawarah mufakat pemilihan pimpinan DPR itu bisa makan berbulan-bulan, sedang pada persidangan itu semua gubernur hadir," katanya. "Itu kan bisa merugikan." Menurut Tambunan - yang terkenal keras dalam menghadapi kasus Budiadji - selama periode 1971-1977 baru satu kali saja sistim voting digunakan: ketika pengesahan peraturan tatatertib.
Apakah sistim voting kini akan lebih sering dipakai, masih perlu ditunggu. Tapi kalau toh sistim itu yang dianggap lebih jalan, karena tentunya tak bertele-tele, beberapa pengamat bertanya-tanya: Apakah sistim demikian dengan konstelasi anggota fraksi seperti sekarang akan membuat DPR lebih berwibawa di mata pemerintah dan rakyat?
F.C. Palaunsoeka, 54 tahun, (PDI) jadi teringat akan DPR di zaman 'liberal'. Menjadi anggota DPR selama 28 tahun dari zaman RIS hingga sekarang, orang kelahiran Putusibau di kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat itu, memang mendambakan kembalinya suatu DPR yang punya 'wibawa. "DPR di masa liberal besar wibawanya, dihargai masyarakat dan disegani pemerintah," katanya mengenang. Tapi dengan cepat dia menambahkan, "sistim waktu itu yang bisa membuat kabinet jatuh-bangun membuat pemerintah tak bisa menjalankan program-programnya." Dengan kata lain, anggota DPR empat zaman itu merasa "tak puas" dengan wibawa parlemen yang sebesar itu.
Menurut Palaunsoeka, besar tidaknya wibawa suatu DPR bukan terletak pada dipakainya sistim voting atau musyawarah mufakat. Tapi tumbuhnya kewibawaan itu "banyak tergantung dari peran pimpinan," katanya. Menurut dia, merosotnya kewibawaan DPR di Indonesia itu dimulai pada zaman demokrasi terpimpin. Waktu itu pimpinan DPR merangkap kedudukan…
Keywords: DPR, Pemilu 1977, Adam Malik, Mh. Isnaeni, Prof. Usep Ranuwidjaja, Jenderal Sumitro, Ridwan Saidi, R.O. Tambunan, Bustanil Arifin, F.C. Palaunsoeka, Jacob Tobing, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?