Di Kampus Yang Resah, Ada Apa & Siapa

Edisi: 39/07 / Tanggal : 1977-11-26 / Halaman : 05 / Rubrik : NAS / Penulis :


KAMPUS ITB Rabu malam 16 Nopember. Tak begitu jauh dari Student Centre, di halaman terbuka, ratusan mahasiswa bergerombol. Umumnya mengenakan jaket warna-warni. Ada yang duduk santai sembari omong-omong. Tapi ada pula yang berwajah tegang, seakan lagi menunggu pengumuman ujian. 

"Kita sedang menunggu siapa yang bakal keluar sebagai pemenang," kata seorang. Rupanya mereka sedang menanti hasil akhir perhitungan suara, siapa yang akan terpilih sebagai ketua DM yang baru. Peristiwa ini cukup penting rupanya. Baru pertama kali dalam sejarah ITB, ketua DM dipilih langsung oleh mahasiswa, tak lagi lewat para senator dalam Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). MPM kini hanya berwenang menampilkan tiga calon kontestan. 

Seorang mahasiswa bertubuh kecil, gesit, berambut agak gondrong tampak mondar-mandir mengintip perhitungan suara di papan tulis. Berpakaian hitam-hitam seperti tukang sate Madura, ia banyak dielu-elukan mahasiswa. Seorang wartawan kampus membidikkan kamera. Heri Akhmadi, 24, mahasiswa yang berpakaian jawara itu ternyata tampil sebagai juara, meraih 1.702 suara - 200 lebih banyak dari saingan beratnya, Al Hilal. 

Apa sebenarnya esensi pemilihan ini? "Selain merupakan keinginan sebagian besar mahasiswa ITB sejak lama, kami ingin menunjukkan pada pemerintah bahwa mahasiswa mampu melakukan pemilihan secara langsung dan terbuka," kata Heri. "Dan benar-benar bebas dan rahasia, bukan seperti pemilu 1977 yang lalu." Merasa resah dengan keadaan sekarang, ia beranggapan ketidak-puasan masyarakat kini makin meluas sejak timbulnya kembali tekanan-tekanan dalam pemilu lalu. "Saya menilai kepercayaan banyak orang, terutama generasi mudanya, sudah mencapai titik kritis terhadap keadaan sekarang," katanya. Itu pula sebabnya Heri, sebagaimana juga banyak pimpinan mahasiswa lainnya, berkesimpulan perlu segera ada perubahan "di atas." 

Menyebut gerakan mahasiswa sebagai kekuatan yang berlandaskan pada moral, dia sendiri tak ingin menunjuk orang. "Itu urusan kekuatan yang di atas sana," katanya. "Peranan mahasiswa hanya terbatas sebagai push (pendorong) saja." Lebih dari itu, ada satu hal yang membuat dia cemas. "Sebagai orang dari Jawa, saya cemas melihat dihidupkannya kembali kebudayaan Jawa secara sangat berlebihan. Ini sangat feodal dan merupakan hal yang rawan." Itu pula sebabnya ia beranggapan perlu adanya nilai kulturil. "Semacam revolusi kebudayaan, dalam arti menahan ofensi kebudayaan Jawa itu," katanya. "Perbaikan tak cukup hanya struktur politik saja." 

Anak ke empat dari sembilan bersaudara itu lahir dan besar di Ponorogo. Ia diasuh oleh dua ayah kelika ibunya kawin lagi. Berasal dari keluarga santri Muhamadiyah, selama di ITB Heri tak pernah masuk organisasi mahasiswa ekstra universiter. "Bukan apa-apa, tapi karena ingin murni, dalam arti bebas dari prasangka ideologi politik," katanya. Sejak kecil suka berorganisasi, suka politik, dia juga ketua MPM ITB, sebelum terpilih sebagai ketua umum Dewan.


Ayahnya pedagang, tapi suka melukis dan sastra. Kebolehan itu menurun padanya. ''saya belajar melukis dan sastra dari ayah kandung." Dari ayah tiri ia belajar musik. Dikenal sebagai pemain cello, Heri juga aktif membina kegiatan musik dan apresiasi sastra ITB. Selalu nenyediakan waktu baca buku, Heri yang sedang menyelesaikan tugas sarjana di Departemen Tambang ITB itu juga mulai mempelajari karya Marx. Tapi juga asyik mendalami sastra Jawa. Setelah lulus nanti dia ingin masuk Departemen Pertambangan, karena merasa di Indonesia belum ada sarjana yang ahli benar di bidang itu. 

SUASANA kampus Jakarta akhir-akhir ini juga lebih giat dari biasa. Di kantor DM UI misalnya hampir setiap hari ada saja yang kumpul bicara ini-itu, berdiskusi tentang keadaan. Setelah "jalan-jalan" memperingati Hari Pahlawan 10 Nopember lalu mereka tampaknya belum memikirkan beraksi ke luar kampus. "Kita sebenarnya tidak happy turun ke jalan." kata Lukman Hakim, 25, ketua DM-UI. 

Bagi Lukman, yang dulu anggota HMI, peranan mahasiswa harus benar-benar sebagai kekuatan moral. "Tak ada ikatan atau hubungan apa pun dengan kekuatan atau perorangan di luar," katanya. "Kalaupun ada hanya pendekatan saja, Iain tidak." Itu sebabnya ia lebih suka bersikap polos mengutarakan keinginanya. "Kalau perlu apa yang tak disenangi diangkat saja, meskipun terbentur tembok tebal," tambahnya. …

Keywords: Kondisi PolitikMahasiswaKetua DM ITBUIUNPADIPBITSUGM MPMHeri AkhmadiHMIFIPIAMoh. NatsiH. Agus SalimBung KarnoTan MalakaDari Penjara Ke PenjaraPangkowilhan II Letjen WidodoKoreksi Nasional 1977
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?