Pilkada: Kegagalan 'crafting Democracy'

Edisi: 21/34 / Tanggal : 2005-07-24 / Halaman : 92 / Rubrik : DMS / Penulis :

SEJAK 1999 dan menjelang Sidang Tahunan MPR 2000, Cetro (Centre for Electoral Reform), yang didukung berbagai LSM dan aktivis prodemokrasi, mengeluarkan sebuah wacana tentang pemilihan langsung. Walau baru sebatas pada pemilihan presiden, wacana ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat elite politik.

Meskipun agak tersendat-sendat, karena saat itu menguat wacana antipresiden kuat yang dikhawatirkan mengulang munculnya "Soeharto baru", agenda pemilihan presiden secara langsung ini menjadi bagian dari agenda amendemen UUD 45 karena berkaitan langsung dengan peran dan fungsi lembaga tertinggi negara MPR.

Pada saat yang bersamaan, terdapat pula gagasan untuk melaksanakan pemilu lokal. Wacana ini dikeluarkan oleh KPU saat itu, dengan membentuk PPL (Panitia Pemilu Lokal) yang diketuai Agus Miftach. Tetapi kelompok prodemokrasi yang mengusulkan pemilihan presiden langsung saat itu justru tidak setuju diadakan pemilu lokal karena ketidaksiapan aturan perundangan, serta keraguan terhadap kredibilitas KPU yang saat itu masih diisi oleh orang-orang partai dan pemerintah.

Pada akhirnya toh pemilihan langsung presiden-wakil presiden, serta pemilihan yang diadakan di tingkat lokal (pilkada) terlaksana juga. Yang pertama baru saja dilaksanakan pada 2004 lalu, sedangkan pilkadanya baru dimulai Juni 2005. Tapi apakah perwujudan kedua pemilihan langsung tersebut telah sesuai dengan harapan, itu soal lain.

Tujuan utama dari pemilihan langsung, baik kepala negara dan pemerintahan pusat maupun daerah, adalah agar pemerintahan yang terbentuk mendapat legitimasi yang utuh dari rakyat, dan bukannya merupakan hasil dari kompromi elite semata. Kepala pemerintahan yang terpilih secara otomatis akan sesuai dengan keinginan/aspirasi…

Keywords: -

---

Foto Terkait