Akibat Pidato Tanpa Teks
Edisi: 41/34 / Tanggal : 2005-12-11 / Halaman : 38 / Rubrik : NAS / Penulis : Agustina, Widiarsi , Kurniawan, Yophiandi , Sunariah
DI atas panggung berlatar kuning, merah, dan putih, Wakil Presiden Jusuf Kalla menebar senyum, Sabtu dua pekan lalu. Dengan gaya santai, Ketua Umum Partai Golkar ini memulai sambutannya dengan menggoda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hadir di acara di Balai Kartini, Jakarta Selatan itu. Kalla berkata, ia tak bisa melebihi Presiden. Soalnya, jika Presiden punya perasaan tertentu dengan angka sembilan, Wakil Presiden angka delapan, kata Kalla disambut gelak tawa yang hadir. Mereka pun bertepuk tangan.
Angka itu, kata Kalla, melambangkan kalkulasi politik di partainya. Ada delapan gubernur di kepengurusan partai tingkat provinsi (DPD I), delapan bupati di kepengurusan partai tingkat kota/kabupaten (DPD II), delapan pimpinan elite partai di DPR. Dan juga delapan orang dari kalangan swasta menjadi mantan gubernur dan akan menjadi calon gubernur, ujarnya. Ribuan orang yang mengikuti acara peringatan ulang tahun dan penutupan Rapat Pimpinan Partai Golkar pada malam itu pun menyambut dengan tawa dan tepuk tangan.
Kalla menyampaikan pidato politiknya tanpa teks resmi. Rileks dan mengalir. Hanya 15 menit di panggung, bos Partai Golkar itu bicara tentang sikap partainya yang pro-pemerintah, sejarah Golkar yang emoh jauh dari kekuasaan, hingga perlunya partai politik yang sehat dalam negara demokrasi.
Kalla juga mengevaluasi sistem pemilu. Juga sistem seleksi kader Partai serta kualitas sumber daya manusia Partai. Dan kemudian terlontarlah sebuah gagasan yang belakangan menuai protes. Kalla minta agar undang-undang kepartaian yang tak membolehkan pegawai negeri sipil menjadi anggota partai politik dikaji lagi. PNS yang hebat-hebat itu harusnya masuk ke parpol lagi agar partai bisa besar. Selama ini partai banyak dari unsur swasta saja. Itu tidak mungkin, ujarnya.
Topik yang belakangan disoal banyak pihak itu hanya sekilas dijelaskan. Dan sampai bubar acara, tak ada yang protes atau meributkan gagasan itu. Tak pula pengurus Partai. Semua berubah ketika esok harinya koran-koran nasional mengutip gagasan Kalla dan memuatnya di halaman pertama. Kehebohan itu pun muncul.
Sejak itu, protes bersahutan, mengecam gagasan itu. Di daerah,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?