Yang Menunggu Di Luar Penjara
Edisi: 37/34 / Tanggal : 2005-11-13 / Halaman : 26 / Rubrik : NAS / Penulis : Wijanarko, Tulus , Sunudyantoro, Akbar, Faidil
DARI celah daun pintu di sebuah rumah kayu, sesosok renta tampak tergolek lemah di atas kasur yang digelar di lantai. Berulang-ulang Tempo melempar salam kepadanya, tapi ia tak menjawab. Tarmiyem, 72 tahun, tampak sangat kelelahan. Siang itu, pekan terakhir Oktober lalu, matahari terik sekali di atas Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. Sinten nggih (Siapa ya)? kata ibu Amrozi, terpidana mati Bom Bali I itu, tergagap. Ia bangkit, meraih kerudung putih di pembatas ruangan dan menutupi rambutnya yang sudah putih. Tempo memperkenalkan diri dan menyebut bahwa ini bukan kedatangan yang pertamasejak kasus bom Bali I, berkali-kali Tempo menemui Tarmiyem. Tapi ia mengaku tak ingat. Wah empun sepuh, kulo lalian (Wah sudah tua, saya gampang lupa), ujarnya.
Ditinggal mati suaminya, H. Nur Hasyim, 80 tahun, tahun lalu, hidup Tarmiyem terasa lebih berat. Satu yang paling memukul hidup ibu delapan anak ini adalah ketika ia mengenang tiga anaknyaAmrozi, Ali Ghufron alias Muklas, dan Ali Imron, terpidana kasus bom Bali pada Oktober 2003. Amrozi dan Ghufron diganjar hukuman mati, sedangkan Ale, panggilan akrab Ali Imron, dihukum penjara seumur hidup. Amrozi dan Ali Ghufron menolak memohon grasi kepada Presiden setelah permohonan amnesti mereka ditolak Mahkamah Agung. Hal yang sama dilakukan Imam Samudra, juga terpidana mati Bom Bali I. Amrozi dan Ali Ghufron menolak mengajukan grasi. Keluarga hanya mengikuti saja, ujar Muhammad Khoizin, kakak kandung Amrozi dan Ghufron.
Setiap bakda subuh, Tarmiyem pergi ke ladang, setengah kilometer dari rumahnya. Di sana ia merawat kacang tanah dan jagung untuk menopang hidup. Begitu azan zuhur menjelang, ia pulang untuk mandi. Setelah itu ia makan siang, salat berjemaah di masjid, lalu tidur siang melepas penat. Sore, jika tak lelah, ia memasak sendiri untuk makan malamnya. Meski acap kali pula, Afiyah, 55 tahun, anak tertuanya, mengirimi dia makanan.
Sejak ditinggal suaminya, Tarmiyem memang hidup sendirian. Sesekali Khaula, 10 tahun, anak Amrozi dengan istrinya Khususiati, ikut menemani. Susiati kini bekerja sebagai juru…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?