Sepotong Indonesia Di Karibia

Edisi: 15/34 / Tanggal : 2005-06-12 / Halaman : 71 / Rubrik : SEL / Penulis : Wijaya, Putu , ,


ORANG bilang, Sint Maarten adalah "the melting point"tempat luluhnya berbagai akar budaya dari seluruh dunia," kata pemandu wisata yang membawa kami mengelilingi St. Maarten, sebuah pulau di bilangan Karibia. "Pulau yang menampung penduduk yang berasal dari 60 bangsa dari seluruh dunia ini ibarat sebuah piring salad; semuanya terhidang bersama-sama namun tetap pada nuansa kultur masing-masing," Fariz, si pemandu itu, melanjutkan dengan amat PD, percaya diri.

Pernyataan bernada patriotik itu terasa benar sebagai dialog yang sudah dirancang dengan bagus oleh "dinas" pariwisata setempat. Fariz yang muda, ganteng, bagus postur badannya, dan terlatih vokalnya itu piawai dalam memberikan sudut pandang, bagaimana sebaiknya para turis menikmati keberagaman di perairan Karibia. Saya jadi teringat kepada satu pidato mantan Menteri Kebudayaan kita, I Gde Ardika. Dalam peresmian Badan Pekerja Kongres Kebudayaan tahun lalu, dia mengatakan Indonesia adalah sepiring gado-gado budaya, bukan piring salad. Gado-gado diracik dengan berbagai bahan dan menjadi satu rasa sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan salad, walau dalam satu wadah, tetap terpisah-pisah.

Perkara "salad dalam satu piring" ini kian kental terasa selama 14 hari melintasi bekas koloni Belanda. Curacao, St. Maarten, Aruba, dan Bonaire. Bersama sastrawan dari negeri-negeri lain yang turut dalam Festival Sastra Winternachten di KaribiaDiana Ferrus (Afrika Selatan), Clark Accord (Suriname), Gerrit Komrij (Belanda), Drisana Deborah Jack (St. Maarten), Myra Romer (Curacao), sama sekali tak terendus ada bau konflik antarsuku bangsa. Kulit hitam, kulit berwarna, dan kulit putih bercampur aduk dengan oke-oke saja.

Banyak wajah bernuansa Melayuyang mengakui bapaknya, ibunya, atau kakeknya dari Indonesiabergandengan dengan pasangan kulit putih. Mereka berserak tanpa menjadi komunitas-komunitas eksklusif yang saling bersitegang. Agama tak menjadi alat bertengkar. Saya kerap disapa oleh mereka yang terlihat kangen pada tanah "leluhurnya" Indonesia dengan satu-dua kata bahasa Jawa. Seorang arsitek yang mengaku berdarah Jawa memegang tangan saya erat-erat seusai pergelaran saya di St. Maarten. Dia memperkenalkan istrinya, seorang perempuan berdarah Cina.

Ada lagi yang mengaku anak angkat Adam Malik, bekas Wakil Presiden Indonesia. Ia kini menetap di Suriname dan sudah pensiun. Ia sengaja datang karena ingin mendengar pembacaan dalam bahasa Indonesia. Ada perempuan muda dengan mata seperti orang Bali, mengaku punya darah Bali. Dengan sangat rindunya dia menemani saya bicara lama. Saya tahu ada semacam getaran di dalam dadanya yang menyebabkan ia menjadi merasa dekat. Saya pernah mendengar kisah rindu para keturunan pekerja ladang tebu Suriname yang berasal dari Indonesia, tapi tetap tertegun. Ternyata kerinduan pada tanah leluhur itu diturunkan hingga terus mengalir di dalam darah. Hal yang sama…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…