Jejak Radjab: Jurnalis Dan Penerjemah Dari Minang
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-07-04 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
Di jalan pulang ke Bukittinggi di dalam ngarai yang damai dan tenteram, saya persaksikan kebuasan dua tiga pemuda Minangkabau yang merintang-rintang puasanya dengan senapan angin menembaki unggas kecil yang lagi bersenang-senang terbang mencari makan dari ranting ke ranting di tebing itu. Sedang teman-temannya membaktikan jiwanya untuk negara dan kemerdekaan bangsanya di Padang Area, pemuda biadab itu menembaki unggas yang tak bersalah untuk kepelesirannya. Saya tidak mengerti, di tahun 1947 ini masih banyak pemuda Minangkabau seganas itu, seperti bapak-bapaknya yang mengurung burung, padahal mereka sendiri ingin merdeka dari penjajahan, katanya (1949:97).
BEGITULAH tuturan Muhamad Radjab Sutan Maradjo dalam buku pertamanya, Catatan di Sumatra. Fragmen itu ada dalam bagian kisah perjalanannya ke Bukittinggi, Sumatera Barat, 27 Juli 1947. Radjab tajam menyoroti hal-hal yang dekat dengan tanah kelahirannya. Bahasanya lugas dan kritis, deskripsinya detail. Catatan di Sumatra diterbitkan Balai Pustaka pada 1949 atau saat lelaki kelahiran Sumpur, Sumatera Barat, itu berumur 36 tahun. Buku setebal 224 halaman tersebut diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Januari lalu, setelah naskah asli buku sempat tak tercium rimbanya.
Sewaktu bertualang ke Sumatera, Radjab masih bujangan. Ia satu dari tiga jurnalis yang ikut dalam rombongan Kementerian Penerangan yang meninjau kondisi dan perkembangan titik-titik sepanjang Pulau Andalas sejak Republik Indonesia berdiri. Selain Radjab, yang mewakili Kantor Berita Antara, wartawan peserta rombongan pimpinan Parada Harahap itu adalah Suwardi Tasrif (harian Berita Indonesia) dan Rinto Alwi (harian Merdeka). Mereka mengunjungi sejumlah daerah, antara lain Kotaraja dan Teluk Betung, serta dua negara tetangga: Malaysia dan Singapura.
Anak-anak Muhamad Radjab (dari kiri) Herawati, Nusyirwan, dan Elisabeth, saat menuju Sumpur, Sumatra Barat, 2019./Dok. keluarga
Catatan di Sumatra tak hanya merangkum perjalanan jurnalistik Radjab, tapi juga menunjukkan ketajamannya dalam berpikir, keresahannya terhadap situasi masyarakat dan adat-budaya, serta kepiawaiannya dalam merumuskan suatu persoalan. Radjab menepikan identitas Minang-nya karena dengan memberi jarak itulah ia bisa jernih melihat situasi di hadapannya. Dalam buku ini, Radjab juga menyoroti praktik ketimpangan gender di masyarakat.
Selain menjadi penulis dan jurnalis yang kritis, Radjab adalah penerjemah. Dia poliglot yang mahir menulis dan berbicara dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Pada 1969, Radjab menyadur buku Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, dari bahasa Belanda. Ia juga membahasa-indonesiakan dua karya novelis Rusia, Fyodor Dostoyevski, Si Lembut Hati (1948) dan Rumah Mati di Siberia (1949).
Adapun karyanya yang monumental selain Catatan di Sumatra adalah Semasa Kecil di Kampung (1950) dan Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838) (1954). Kedua buku ini juga diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka dan KPG tahun lalu. Radjab juga menulis Sistem Kekerabatan Minangkabau serta dua buku oleh-olehnya dari tugas di Sulawesi Selatan, yakni Dongengan Sulawesi Selatan (1950) dan Toraja Sa’dan (1952).
Buku Sistem Kekerabatan…
Keywords: Sejarah Kemerdekaan, Penulis Buku, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…