Marshall Plan Di Timur Tengah
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-08-22 / Halaman : / Rubrik : INT / Penulis :
PERCAKAPAN telepon tiga pemimpin negara pada Kamis, 13 Agustus lalu, itu menjadi sorotan dunia. Pembicaraan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan, Putra Mahkota Abu Dhabi dan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab, yang dijembatani Presiden Amerika Serikat Donald Trump, berujung pada kesepakatan damai bersejarah antara Israel dan Emirat. “Setelah 49 tahun, Israel dan UEA akhirnya menormalkan sepenuhnya hubungan diplomatik mereka,” kata Trump dalam pidato di Gedung Putih seusai percakapan tersebut.
Trump menyebutnya sebagai “Kesepakatan Ibrahim”, mengacu pada Nabi Ibrahim, bapak dari tiga agama samawi—Yahudi, Kristen, dan Islam—yang banyak dianut penduduk ketiga negara. Israel dan Emirat akan mewujudkan kesepakatan itu dengan pertukaran duta besar dan kerja sama di berbagai bidang, termasuk perdagangan, pendidikan, dan keamanan. Pada Selasa, 18 Agustus lalu, Emirat mencabut pemblokiran sambungan telepon di antara kedua negara. Hari itu untuk pertama kalinya kepala badan intelijen Israel (Mossad), Yossi Cohen, berbincang-bincang dengan Syekh Tahnoun bin Zayed al-Nahyan, penasihat keamanan nasional Emirat, mengenai rencana kerja sama kedua negara.
Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa mengucapkan selamat kepada Syekh Mohammed bin Zayed atas traktat damai itu. Mesir, Oman, dan Yordania juga mendukung kesepakatan tersebut. Negara-negara Timur Tengah lain, termasuk Kuwait, Qatar, dan Arab Saudi, belum berkomentar apa pun. Tapi pejabat senior Palestina, Hanan Ashrawi, mengecamnya. “Semoga Anda tidak menjual ‘teman-teman’ Anda,” ujar Ashrawi, yang ditujukan kepada Syekh Mohammed.
Kesepakatan itu, kata Emile Hokayem, peneliti International Institute for Strategic Studies yang berbasis di London, Inggris, membuat kepemimpinan Emirat menjadi tak populer di dunia Arab, yang umumnya mencurigai Israel. Namun, “Kesepakatan ini tidak akan mempengaruhi stabilitas rezim UEA. Ini lebih mencerminkan perubahan geopolitik di kawasan dan menunjukkan niat baik UEA kepada Amerika,” ucap Hokayem, seperti dikutip BBC.
Menurut Frank Gardner dari BBC, ada dua hal di balik perjanjian tersebut: strategi dan teknologi. Emirat, bersama Bahrain dan Arab Saudi, sudah lama merasa terancam oleh Iran, tetangga mereka yang memiliki senjata nuklir. Ada pula kelompok politik Islam lintas negara, seperti Al-Ikhwan al-Muslimun, yang dinilai mengancam pengaruh dinasti para emir, sehingga para pangeran Arab mendukung penentang kelompok tersebut bahkan hingga ke Libya. Ini mendorong terbentuknya kemitraan tak resmi di antara negara-negara konservatif Timur Tengah, termasuk Israel.
Dari sisi teknologi, kata Gardner, Israel adalah negara yang memiliki teknologi paling maju di kawasan. Kerja sama dengan Israel membuat Emirat…
Keywords: Israel, Benjamin Netanyahu, Donald Trump, Uni Emirat Arab, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Jalan Pria Ozon ke Gedung Putih
2007-10-28Hadiah nobel perdamaian menjadi pintu masuk bagi al gore ke ajang pemilihan presiden. petisi kelompok…
Pesan Kematian dari Pazondaung
2007-10-28Jasad ratusan biksu dikremasi secara rahasia untuk menghilangkan jejak. penangkapan dan pembunuhan biarawan terus berlangsung…
Mangkuk Biksu Bersaksi
2007-10-28Ekonomi warga burma gampang terlihat pada mangkuk dan cawan para biksu. setiap pagi, biksu berke…