Chaebol Pelabuhan Proyek Jepang

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-11-21 / Halaman : / Rubrik : EB / Penulis :


LIMA tahun berlalu, Jusuf Kalla nyaris bersinggungan kembali dengan Pelabuhan Patimban. Kali ini, ia sebagai pengusaha.
Di rumahnya yang luas di Jalan Brawijaya, Jakarta, Kalla mengingat momen krusial nasib megaproyek senilai Rp 43,22 triliun tersebut. Rencana pembangunan pelabuhan baru itu sempat terkatung-katung lama ketika lokasinya masih di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat.
Pada April 2015, Kalla, yang masih menjabat wakil presiden, bersama sejumlah menteri dan pejabat pergi Cilamaya. Menaiki helikopter Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Kalla mengeker pantai dan laut Cilamaya.
Benar kabar yang didengar Kalla. Lokasi calon pelabuhan jumbo itu bersimpangan dengan jaringan pipa dan anjungan pengeboran Offshore North West Java, blok minyak yang dikelola PT Pertamina (Persero).
Turun dari helikopter, Kalla meminta dicarikan kantor pemerintahan terdekat. “Adanya kantor Desa Cilamaya. Penuh itu kantor desa,” kata Kalla, Selasa pekan lalu, 17 November. “Kami putuskan proyek Cilamaya pindah. Biar aman.”
Lokasi proyek pindah ke Patimban, Subang, Jawa Barat, sekitar 50 kilometer sebelah timur Cilamaya. Sejak saat itu pekerjaan konstruksi dimulai, berbekal pinjaman Japan International Cooperation Agency (JICA).
Lima tahun berlalu, sejumlah paket pekerjaan konstruksi Pelabuhan Patimban fase I—bagian dari tiga fase pembangunan dermaga yang dirancang hingga 2036—kini hampir rampung. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam webinar yang digelar Liputan6.com, optimistis Patimban bisa mulai beroperasi secara terbatas Desember nanti.
Rencana ini menggenapi woro-woro Kementerian Perhubungan pada 20 Oktober lalu. Kementerian menetapkan hanya satu peserta yang lolos prakualifikasi calon operator Patimban. Peserta itu adalah konsorsium PT CT Corp Infrastruktur Indonesia, PT Indika Logistic and Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Petikemas Surabaya—anak usaha PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV.
Rupanya, bisnis keluarga Kalla sempat akan masuk konsorsium itu. Menurut Kalla, bos CT Corp, Chairul Tanjung, menawari putra sulungnya yang juga Presiden Direktur Kalla Group, Solihin Kalla, bergabung. Kalla Group memang punya lini bisnis pelayaran, Kalla Lines. “Tapi saya bilang jangan,” ujar Kalla. “Pemindahan ke Patimban itu di zaman saya jadi wakil presiden. Saya larang.”
Sesuai dengan aturan main, jika yang lolos prakualifikasi cuma satu, yang terjadi selanjutnya adalah penunjukan langsung. Tanpa kejadian luar biasa, konsorsium pimpinan CT bakal segera ditetapkan menjadi operator pelabuhan jumbo yang pada fase I pembangunannya menelan biaya Rp 14,3 triliun itu. Mayoritas pendanaan proyek ini berasal dari pinjaman lunak pemerintah Jepang. Operator seperti konsorsium CT hanya keluar modal untuk belanja peralatan dan perawatan pelabuhan. 
Namun prakualifikasi yang hanya meloloskan satu peserta ini mulai jadi gunjingan di antara pemain bisnis pelayaran. Syak wasangka sebenarnya sudah menguat ketika Kementerian Perhubungan mengabarkan daftar perusahaan yang menyodorkan dokumen lelang pada batas waktu 14 Oktober lalu. PT Pelindo II (Persero), pengelola pelabuhan peti kemas dan terminal ekspor kendaraan Tanjung Priok, Jakarta Utara, absen dari kompetisi.

• • •
RENCANA pemerintah mengutamakan swasta sebagai pengelola Pelabuhan Patimban sebetulnya sudah mengemuka sejak Juni tahun lalu. Dalam…

Keywords: Chairul Tanjung | CTJusuf Kalla
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…