Gelanggang Olahraga: Riwayat Musik Bawah Tanah

Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-07-03 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


“JAKET kulit tanpa lengan, kuping ditindik, sepatu bot Docmart (Dr. Martens). Kerumunan massa itu banyak sekali yang berbaju hitam,” kata Giri Nugroho, 41 tahun. Setelan itu jauh dari kesan menakutkan bagi Giri remaja. Justru tampak trendi baginya. Bisa jadi karena ia terbiasa merekam pemandangan itu saban akhir pekan. Dulu, tiap Ahad, Giri dan belasan kawan sebayanya biasa pergi menonton pergelaran musik bawah tanah (underground). “Kami ke (Gelanggang Olahraga) Saparua,” ujarnya saat dihubungi, Kamis, 1 Juli lalu.
Rombongan bocah sekolah menengah pertama ini pergi sejak pagi hingga petang menjelang. Tumpangannya gratis: mobil bak terbuka yang dicegat di jalan raya sekitar Kiaracondong, area rumah mereka. Di perjalanan tertampar angin Bandung yang dingin, di Saparua hawa sejuk adalah hal yang muskil. Tujuh ribu manusia bersesakan di dalamnya, menyanyikan lagu-lagu cadas yang dibawakan bergantian oleh puluhan musikus yang unjuk gigi di panggung kecil. Terbawa melodi keras dan vokal penuh energi dari kelompok musik idola, para penonton tak jarang berloncatan, saling bertabrakan. Moshing menjadi atraksi biasa di sana. Kalau sudah kelewat sumpek, barulah Giri keluar dari gelanggang untuk menangkap udara segar.

Acara musik di GOR Saparua Bandung. Film Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua
Kenangan itu membuat Saparua punya tempat sendiri bagi Giri. Bahkan kini dia menjabat Kepala Sub-Bagian Urusan Rumah Tangga Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, yang mengharuskannya bersentuhan dengan gelora tersebut. “Salah satu tugasnya memelihara kebersihan dan keamanan Gelora Saparua bersama puluhan petugas lapangan,” ucapnya.
Gelora Saparua adalah legenda. Menurut Ridwan Hutagalung dari Komunitas Aleut, yang aktif menggali sejarah Kota Bandung, Belanda menjadikan area Saparua sebagai lapangan olahraga untuk publik pada 1910. Sebutannya ketika itu Nederlandsch-Indische Athletiek Unie (NIAU). Baru pada 1961, pemerintah memoles ulang kawasan seluas 25.400 meter persegi ini. Gedung Saparua, yang seluas 1.267 meter persegi, dipermak menjadi tempat pertandingan bola voli dan bulu tangkis dalam hajatan Pekan Olahraga Nasional kelima.
Namun, dalam perkembangannya, lebih banyak seniman yang lahir di sini ketimbang olahragawan. Pada 1980-an, Saparua menjadi wadah beragam pentas kesenian. Di sana tak hanya digelar konser band cadas, tapi juga genre musik lain. Saparua pun menjadi tempat pembacaan puisi penyair W.S. Rendra. Di sana pula sejumlah band beraliran black metal kerap membuat atraksi eksentrik. Misalnya ritual memanggil arwah sembari membakar kemenyan yang mencekam suasana. “Itu sering dilakukan band dari Ujungberung, seperti Sacrilegious,” ujar Ridwan.

(Dari kiri ke kanan) Gitaris Burgerkill Eben, Vokalis Rocket Rockers Aska, Sutradara Alvin Yunata, Creative Director Cerahati Edy Khemod, dan Vokalis Superglad Buluks, saat gala premiere Film Dokumenter “Gelora: Magnumentary Of Gedung Saparua di Grand Indonesia, Jakarta, 6 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Peran itulah yang menjadi jantung cerita film dokumenter Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua, yang tayang perdana pada pertengahan Juni lalu di sejumlah kanal streaming. Proyek gagasan Rich…

Keywords: MusikKonser Musik
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…