Basuki Resobowo, Sebuah Kenangan
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-11-13 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
Adakah jauh perjalanan ini?Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih!Lantas bagaimana?Pada daun gugur tanya sendiri….
(“Sajak buat Basuki Resobowo”, Chairil Anwar, 1947)
DUA tahun menjelang Soeharto lengser, Basuki Resobowo pulang ke Jakarta. Setelah lebih dari 30 tahun menjadi eksil di Eropa, itu adalah kemunculan pertamanya di Indonesia. Umurnya saat itu sudah 80 tahun. Pada 1965, saat di Tanah Air terjadi peristiwa 30 September, ia tengah berada di Tiongkok. Ia saat itu diutus Lekra mengedit film dokumenter, Jayalah partai dan Negri. Ia memutuskan tak kembali.
Ia tinggal di kamp eksil Indonesia di Nanjing beberapa tahun. Pada 1972, ia mendapat suaka politik di Jerman dan beroleh kewarganegaraan Jerman. Ia lama bermukim di Jerman. Selama di Jerman, ia bolak-balik ke Belanda. Basuki lalu memiliki flat di Belanda dan memilih tinggal di sana.
Pada 1996 itu, pada usianya yang sudah sepuh, dari Belanda, Basuki datang mengunjungi banyak sahabatnya di Jakarta yang masih hidup. Ia antara lain mendatangi sebuah rumah kontrakan di bilangan Cipinang, Jakarta. Di situ mantan anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat, penulis dan penerjemah Joebaar Ajoeb, tengah berkumpul dengan beberapa aktivis muda Jakarta. Joebaar pada 1960-an adalah orang yang banyak membela dan mengapresiasi lukisan Basuki lewat tulisan-tulisannya.
“Saya ingat mereka berdua lalu mengobrol mengenang peristiwa-peristiwa perkawanan di masa lampau,” kata Irwan Firdaus, mantan koresponden kantor berita AP di Jakarta. Saat itu Irwan baru lulus dari Fakultas Sejarah Universitas Indonesia dan bersama beberapa aktivis sering berkumpul di rumah kontrakan tersebut. Irwan ingat, tutur kata Basuki sangat lembut. “Berbeda dengan tulisan-tulisannya yang terlihat garang,” ujarnya. Yang paling mengesankan bagi Irwan: di tengah percakapan, tiba-tiba Basuki meraih kertas dan menorehkan bolpoinnya. Ia membuat sketsa.
Gedung apartemen yang pernah ditinggali oleh Basuki Resobowo, di Jalan Riouw 32, Amsterdam, Belanda. TEMPO/Linawati Sidarto
“Basuki Resobowo membuat sketsa kami tengah bercakap-cakap dengan Joebaar Ajoeb. Ada tiga sketsa. Dalam satu sketsa bahkan ia khusus menggambar saya. Dua sketsa ini saya bawa pulang dan saya bingkai, saya pasang di rumah,” ucap Irwan. Dalam sketsa pertama, tampak Joebaar merokok diapit Irwan dan seorang kawan lain. Di depan mereka terdapat asbak, rokok, dan sebotol bir. Di kanan bawah sketsa, setelah menuliskan namanya dan angka tahun 1996, Basuki membuat kalimat: “Joebaar merenungkan nasib pejuang”. Sketsa kedua adalah sketsa Irwan termangu sendirian.
Irwan merasa pertemuan itu mengesankan. Sketsa dirinya bak sketsa tentang orang-orang kecil yang banyak diciptakan Basuki untuk majalah kebudayaan dan surat kabar, seperti Siasat, Zenith, Mimbar Indonesia, Zaman Baru, Harian Rakjat, dan Seni, puluhan tahun sebelumnya. Karena itu, tatkala mendengar kabar Basuki wafat di Belanda tiga tahun setelah perjumpaan tersebut, Irwan merasa kehilangan.
•••
DUA puluh dua tahun setelah kematian Basuki Resobowo, sebuah pameran kecil mengenai dirinya digelar di Galeri Nasional, Jakarta, 22 Oktober-5 November lalu. Kuratornya Umi Lestari. Sebuah pameran sederhana tapi cukup menggambarkan perjalanan kesenian dan pemikiran Basuki. Basuki pada dasarnya adalah perupa sekaligus pemikir kebudayaan.
Ia terlibat dalam pergerakan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi—kelompok yang didirikan S. Sudjojono untuk melawan kecenderungan Mooi Indie—sampai menjadi salah satu motor Lembaga Kebudayaan Rakyat. Selain menggeluti dunia seni rupa, Basuki tak asing dengan seni pertunjukan. Pada 1940-an, ia mendapat pengalaman menjadi penata dekorasi kelompok tonil seperti Orpheus dan Fifi Young Pagoda. Pada zaman Jepang, ia memilih bergabung dengan Cahaya Timur, kelompok tonil yang didirikan pasangan Ratna dan Andjar Asmara, daripada bekerja di Keimin Bunka Shidoso.
Seni rupa adalah darah Basuki. Keterampilan menata dekorasi tonil membawanya masuk ke dunia film. Ia bisa disebut sebagai salah satu pelopor dunia set artistik perfilman Indonesia. Dia terlibat dalam penggarapan set film sineas Usmar Ismail seperti The Long March (Darah dan Doa, Enam Jam di Jogja, dan Dosa Tak Berampun. Ia pun menggagas film Tamu Agung yang diadaptasi dari naskah drama The Government Inspector karya Nikolai Gogol. Film Usmar tersebut menang sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hong Kong. “Basuki Resobowo berperan penting dalam membentuk fondasi karya Usmar Ismail. Mereka adalah semacam new wave dalam dunia film saat itu,” kata sineas Riri Reza.…
Keywords: Lukisan, Partai Komunis Indonesia | PKI, Film Indonesia, Lukisan S. Sudjojono, Basuki Resobowo, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…