Kesenjangan Sosial, Opini Publik, Dan Sikap Partisan

Edisi: 44/47 / Tanggal : 2018-12-30 / Halaman : 44 / Rubrik : KL / Penulis : Burhanuddin Muhtadi, Eve Warburton,


SEBUAH ironi tersaji di depan mata. Sejak 2017, perekonomian Indonesia menjadi yang terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan produk domes­tik bruto menembus US$ 1 triliun atau sekitar Rp 15 ribu triliun. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi mencatatkan prestasi yang patut dipuji. Setelah di­hantam krisis ekonomi dan politik 1997-1998, Indo­nesia mampu menggeliat dengan rata-rata pertumbuhan pada 2000-2017 mencapai 4 persen. Tingkat kemiskinan juga menu­run drastis, bahkan tinggal satu digit sejak Maret 2018.

Terlepas dari rentetan kabar baik ini, kesenjangan antara kaum miskin dan kaya justru makin lebar. Koefisien Gini—yang mengukur ketimpangan antara kelompok miskin dan kaya— naik dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,42 pada 2014, menjadi­kan Indonesia sebagai negara dengan peningkatan ketimpang­an paling cepat se-Asia Tenggara (Indrakesuma et al, 2015). Ke­timpangan ini terutama disebabkan oleh akumulasi kekaya­an yang menumpuk pada segelintir elite kaya. The Credit Suis­se Research Institute merilis “Global Wealth Report” yang me­nunjukkan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 49,3 persen dari total kekayaan di seluruh Nusantara. “Prestasi” ini hanya dikalahkan oleh Rusia, India, dan Thailand.

Bank Dunia juga mengeluarkan laporan menyesakkan ber­tajuk “Indonesia’s Rising Divide” (2015). Pada periode 2003-2010, tingkat konsumsi 10 persen kelompok orang kaya di In­donesia tumbuh lebih dari 6 persen per tahun, sedangkan
kon­sumsi 40 persen orang miskin hanya tumbuh 2 persen. Seolah-olah tak mau kalah, Oxfam mengumumkan catatan yang me­ngagetkan: gabungan empat orang terkaya di Indonesia memi­liki harta lebih besar dibanding total kekayaan 40 persen pen­duduk miskin—sekitar 100 juta orang. Karena sulitnya meng­urai benang kusut ketimpangan inilah peneliti menduga aku­mulasi kekayaan yang terkonsentrasi pada segelintir orang kaya tersebut menjadi kondisi “normal baru” (new normal) yang menggambarkan wajah ekonomi-politik Indonesia pada jangka waktu yang lama (Suryahadi, 2018).…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

O
OPEC, Produksi dan Harga Minyak
1994-05-14

Pertemuan anggota opec telah berakhir. keputusannya: memberlakukan kembali kuota produksi sebesar 24,53 juta barel per…

K
Kekerasan Polisi
1994-05-14

Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi perlu dicermati. terutama mengenai pembinaan sumber daya manusia…

B
Bicaralah tentang Kebenaran
1994-04-16

Kasus restitusi pajak di surabaya bermula dari rasa curiga jaksa tentang suap menyuap antara hakim…