Checkpoint Charlie di Jayawijaya

Edisi: 33/48 / Tanggal : 2019-10-13 / Halaman : 40 / Rubrik : NAS / Penulis : Wayan Agus Purnomo, Egi Adyatama,


DWI Josanyoto melongok ke luar jendela sewaktu terdengar suara tembakan dari arah Jalan Pikhe. Orang berkelimun di jalan di depan rumahnya. Api menjilat-jilat rumah toko di sepanjang jalan itu. Asap pekat meruah. Pohon-pohon roboh, malang-melintang menutup jalan. Di luar ruko, aroma bensin meruap di mana-mana. Merasa tak aman, Dwi keluar dari ruko miliknya.

Massa mendekat ke arah rukonya. Mereka menenteng parang sembari berteriak-teriak. Sebagian yang lain melempari ruko yang berjejer di sepanjang jalan. Dwi bergidik ketakutan. Seorang tetangganya, warga asli Papua, mencegah sekelompok orang yang hendak membakar rukonya. “Jangan bakar di sini. Ini wilayah saya,” kata Dwi, Rabu, 2 Oktober lalu, menirukan ucapan tetangganya.

Sang tetangga meyakinkan Dwi bahwa rukonya tak bakal dibakar. “Sudah, di sini saja. Kamu aman.”

Mengikuti saran itu, Dwi berlindung di rukonya sendiri. Dari lantai tiga, ia melihat area pertokoan di Jalan Pikhe, salah satu jalan yang ramai di Wamena, Papua, telah berubah menjadi lautan api. Dwi berhitung dengan cemas: bertahan atau keluar. Di luar, massa makin beringas.

Dwi mendengar rukonya digedor. Bergegas dia ke lantai satu. Dari balik jendela, ia melihat Utu, kawannya dari Kurima, distrik di luar Wamena, berada di antara massa. Kurima bisa ditempuh dalam satu jam menggunakan kendaraan bermotor dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Utu sehari-hari kuliah sembari menjadi tukang ojek dengan menyewa sepeda motor milik Dwi. “Ayo, kamu keluar,” kata Utu, seperti ditirukan Dwi.

Utu mengawal Dwi berjalan di antara iring-iringan orang. Ia dibentak-bentak massa. Seseorang berteriak, “Bakar semua, bakar semua!” Seseorang yang lain menyabetkan parang ke arah Dwi, yang menangkis dengan tangan kosong sehingga pergelangan tangan kanannya sobek.

Di tengah jalan, Dwi bertemu dengan warga pendatang lain dan digiring menuju suatu tempat. Mereka berjalan menembus massa yang bergelegak. “Bawa ke gereja,” seseorang berteriak.

Di tengah jalan, Dwi melihat dokter Soeko Marsetiyo berusaha menyelamatkan seorang warga pendatang yang dihajar massa. Darah bercucuran. Dwi jeri dan tak bisa berbuat apa-apa. Belakangan, Dwi mengetahui dokter Soeko menjadi satu dari 31 korban tewas dalam kerusuhan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?