Suara Rendra Masih Bergema

Edisi: 50/48 / Tanggal : 2020-02-09 / Halaman : 36 / Rubrik : SEL / Penulis : Moyang Kasih Dewimerdeka, Shinta Maharani,


Aksara Arab terukir di nisannya. Diambil dari Surat Yasin ayat 58 yang kurang-lebih bermakna “Salam untuknya dari Yang Maha Pengasih”. Akhir Januari lalu, suasana terasa lembap di Bengkel Teater Rendra di Cipayung, Jawa Barat. Daun yang gugur banyak membusuk. Di bagian selatan lahan tiga hektare itu, ada petak terbuka berumput hijau di antara kerimbunan pohon jati, sengon, mahoni, sirsak, dan durian. Di tengah petak itu, Willibrordus Surendra Broto Rendra bin Brataatmadja dikuburkan.

Kubur Rendra diperkokoh marmer hitam berhias kerikil putih. Lebih dari sepuluh tahun setelah kematiannya pada 6 Agustus 2009, makamnya masih rutin diziarahi murid-murid Rendra dan keturunan mereka atau sekadar pengagum karyanya. “Paling ramai kalau bertepatan dengan hari lahir atau wafatnya Rendra,” ujar Ale Utsman, pengurus sehari-hari rumah almarhum Rendra di Cipayung.

Makam itu terjaga rapi. Hampir setiap hari dibersihkan. Agak berjarak di samping kubur Rendra, terdapat makam berhias salib dan patung Yesus. Di situ terbaring Isruwyasti Brataatmadja, adik Rendra yang meninggal dua tahun lebih dulu darinya. Di bagian tanah yang lebih rendah dan bersemak lebih tinggi, ada sembilan kubur lain. Di situ ada makam penata panggung Roedjito dan perupa Semsar Siahaan. Selain itu, makam musikus Urip Achmad Riyanto alias Mbah Surip, yang populer dengan lagu Tak Gendong. Mbah Surip wafat tepat dua hari sebelum Rendra.

Kematian berjarak dekat itu masih terus diingat dengan pahit oleh sahabat-sahabat Rendra. “Ratusan orang datang saat pemakaman Mbah Surip. Tapi tak ada yang ingat bahwa, pada saat yang sama, Rendra juga sedang sakit keras di Bengkel Teater. Saya menangis,” kata Emha Ainun Nadjib dalam diskusi mengenang satu dekade kepergian Rendra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, awal November 2019.

Tak lama setelah kematian Rendra, Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik yang juga sahabat Rendra, menulis di majalah Tempo dan bertanya, “Mengapa pentakziah (Rendra) tak semembeludak khalayak yang datang pada pemakaman Mbah Surip beberapa hari sebelumnya di tempat sama?” Eep menjawab sendiri pertanyaannya dengan menyatakan bahwa Mbah Surip meninggal sebagai seorang selebritas, sementara Rendra sebagai orang besar. “Sebagai orang besar, Rendra meninggalkan jejak yang tegas pada zaman kita,” Eep menyimpulkan.

Dan, 10 tahun setelah kepergian Rendra, kita melihat jejak tegas itu masih membekas terus hingga kini. Di mana-mana, untuk memperingati 10 tahun wafatnya Rendra, ada pementasan naskah-naskah Rendra, baik pementasan kecil maupun besar, dan acara pembacaan puisi-puisi Rendra. “Dari awal triwulan kedua tahun lalu, banyak sekali naskah Rendra ditampilkan di seluruh Indonesia.
Naskah paling besar, saya kira, Kisah Perjuangan Suku Naga oleh mahasiswa di Jember dan Perampok oleh komunitas Jakarta,” ujar Ken Zuraida, istri terakhir Rendra, saat ditemui di Cipayung, pekan lalu. Yang terbaru, Ken Zuraida terlibat sebagai konsultan dalam pentas Panembahan Reso di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Sabtu terakhir Januari 2020.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…