Tiga Perempuan Menguak Putin
Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-05-28 / Halaman : / Rubrik : IQR / Penulis :
TATKALA pada 24 Februari 2022 sekitar 190 ribu personel militer Rusia menyerbu Ukraina, segera terjadi perbedaan perspektif antara Rusia dan komunitas internasional dalam memahaminya. Barat menyebutnya sebagai invasi, sementara Rusia menamainya operasi militer khusus. Di luar perbedaan penamaan itu, yang menjadi teka-teki sampai kini adalah apa sebenarnya motif Presiden Rusia Vladimir Putin dalam serangan ini?
Kepada Duta Besar Ukraina dan Duta Besar Rusia di Indonesia, Tempo mengajukan pertanyaan: “Mengapa Putin menginvasi?” Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, mengatakan pada 16 April lalu tanpa tedeng aling-aling: “Jelas, lantaran Putin ingin membangun kembali kekaisaran Uni Soviet."
Sedangkan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, menolak mentah-mentah pendapat itu. Menurut dia, anggapan bahwa perang Ukraina adalah upaya Putin memperluas wilayah Rusia tidak benar. "Ini adalah balasan Rusia terhadap berbagai pernyataan ancaman Barat yang hendak menjamin dominasi mereka yang terus melemah," katanya kepada Tempo, Kamis, 26 Mei lalu.
Meski ada perbedaan pendapat tentang motif, banyak ahli setuju bahwa invasi ini bagian dari bentuk ketegangan hubungan Rusia dengan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat yang akarnya bisa dilacak ke masa-masa berakhirnya Perang Dunia II. Topik inilah yang menjadi satu benang merah penting dalam tiga buku tentang Presiden Rusia Vladimir Putin yang dikarang oleh tiga penulis perempuan.
Tiga buku itu adalah From Russia with Blood: Putin's Ruthless Killing Campaign and Secret War on the West (2019) oleh Heidi Blake; Putin's People: How the KGB Took Back Russia and Then Took On the West (2020) oleh Catherine Belton; dan Putin's World: Russia Against the West and with the Rest (2021) oleh Angela Stent.
Angela Stent, Direktur Pusat Studi Eurasia, Rusia, dan Eropa Timur, dalam buku Putin’s World melacak warisan sejarah yang membentuk Rusia kontemporer dalam memahami diri dan perannya secara global. Namun fokus terbesar buku setebal 447 halaman itu adalah hubungan Rusia dengan negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Cina, negara-negara Timur Tengah, dan negara eks republik Uni Soviet. Ideologi Kekaisaran Rusia abad ke-19 adalah ortodoksi, otokrasi, dan nasionalisme. Stent, profesor di Georgetown University, Amerika Serikat, juga mencatat ada semangat ekspansionisme. Hal ini tecermin dari pernyataan Catherine the Great, Maharani (kaisar perempuan) Rusia (1729-1796), yang mengatakan bahwa ia memperluas perbatasan untuk menjaga negaranya tetap aman.
Semuanya berubah setelah terjadi Revolusi Bolshevik yang dipimpin Vladimir Lenin, Oktober 1917. Ideologi negara Rusia menggabungkan aspek retorik Leninisme yang punya visi internasionalisme (melalui Komunis Internasional alias Komintern) dengan dosis besar nasionalisme. Hanya, kata Stent, seiring dengan waktu, hal yang tampak revolusioner pada awalnya itu makin menyerupai era kekaisaran.
Rusia sempat menikmati masa-masa kompak bersama rekan Barat-nya, yaitu Amerika Serikat dan Inggris, saat menghadapi Adolf Hitler dalam Perang Dunia II. Periode itu tak bertahan lama. Segera setelah Jerman menjelang kalah perang, sekutu ini mulai menunjukkan ketidakkompakan, yang terlihat dalam Konferensi Yalta, Februari…
Keywords: Rusia, Vladimir Putin, KGB, Perang Dingin, Uni Soviet, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…