Memoar Ketiga Mia Bustam
Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-08-20 / Halaman : / Rubrik : IQR / Penulis :
SRI Nasti Rukmawati dan Abang Rahino masih ingat huru-hara pagi 23 November 1965 itu. Sepasukan tentara yang datang dengan truk merangsek masuk ke rumah mereka yang berdinding gedek di kawasan Kali Tunjang, Yogyakarta. Beberapa muda-mudi teman Sri Nasti aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) berada di rumah. Ada yang sedang mandi di kali, ada yang sedang mencangkul, ada pula yang sedang mewiru kain. Nasti adalah anggota CGMI Komisariat Sastra Universitas Gadjah Mada. Empunya rumah, Mia Bustam, sedang sibuk menyiapkan bancakan untuk Watu Gunung, putra ketiganya yang pada hari itu tepat berusia 17 tahun.
Tatkala tentara-tentara itu menghambur ke halaman dari truk, Nasti ingat ibunya sempat berteriak, “Lari, lari!” Tapi hampir semua yang ada di dalam rumah tak bisa lolos. Mereka ditangkap. Mia dan Nasti pun diangkut ke atas truk. Rhino—sapaan Abang Rahino—ingat saat itu ia takut dan bersembunyi di bawah meja makan. Ia menyaksikan para pemuda dihajar orang tak dikenal. Wajah dan tubuh mereka berdarah-darah, ditendang semaunya. “Saya masih kecil, takut sekali,” kata Rhino.
Rhino juga ingat, dari semua orang, hanya ada satu yang tak diambil, yaitu Mas Kirnadi. “Mas Kirnadi itu teman CGMI Mbak Nasti. Ia yang tadinya berkemeja rapi tiba-tiba langsung mencopot semua pakaiannya, tinggal kolor, berada di dekat saya dan berpura-pura menjadi pembantu keluarga. Mpun teng mriki mawon, Den (Sudah di sini saja, Den). Saya bingung dipanggil ‘Den’, wong biasanya panggil ‘Rin... Rin…’,” ujar Rhino menirukan ucapan teman kakaknya itu. Tapi ternyata siasat itu berhasil. Kirnadi tak ikut dicokok.
Koleksi arsip foto keluarga Mia Bustam di Depok, Jawa Barat, 14 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Nasti pun ingat ada seorang tentara yang iba melihat adik-adiknya yang ketakutan. “Dia tanya ke adik-adik saya, kalau Ibu ditangkap, siapa yang mengurus kalian? Adik-adik menjawab Mbak Nasti,” ucapnya. Nama Nasti lalu dipanggil, diminta turun dari truk, untuk mengurus adik-adiknya.
Geger penangkapan pagi itu menjadi awal perpisahan Mia dengan anak-anaknya. Si sulung Tedjabayu ditangkap lebih dulu. Mia digelandang ke kantor polisi setempat. Setelah itu, ia dipindahkan ke berbagai tempat, dari Benteng Vredeburg; Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan; Plantungan, Kendal, Jawa Tengah; lalu Lembaga Pemasyarakatan Bulu, Semarang. Selama 13 tahun dia mendekam sebagai tahanan politik tanpa pengadilan hanya karena ia anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Tiga belas tahun kemudian, Nasti pulalah yang kemudian bersama suaminya, Atik Rubino, menjemput Mia setelah pembebasan tahanan politik dari LP Bulu pada 28 Juli 1978 di Komando Daerah Militer Diponegoro. Mia lantas tinggal di rumah Nasti di Jalan Noroyono, Semarang. Tapi kemudian Atik dan Nasti pindah ke Jakarta.
Mia tinggal di rumahnya di kawasan Tugu, Semarang. Di rumah dengan tanah yang cukup luas itu, Mia bebas berkebun. Tanah dan rumah itu dibeli dari hasil penjualan tanah di kawasan Kali Tunjang, Desa Papringan, Yogyakarta, yang terbengkalai. Mia pindah ke Limo, Depok, Jawa Barat, pada 1996. Pertimbangan kesehatan menjadi alasan Mia pindah ke sana.
•••
DI tanah seluas 150-an meter persegi tempat berdiri rumah mungil bertipe 36 itu (kini sudah dikembangkan dan dimiliki Sri Nasti Rukmawati), Mia Bustam menghabiskan masa sepuhnya dengan kegiatan kesukaannya, berkebun. Di rumah itu jugalah Mia mulai menuliskan memoarnya. “Memori Ibu sangat kuat,” tutur Sri Nasti. Mia…
Keywords: Sukarno, Sudjojono, G30S, Mia Bustam, Lekra, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…