Hilang Jejak Gulag Indonesia
Edisi: 2 Okto / Tanggal : 2022-10-02 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
MENYUSURI Jalan Perintis Kemerdekaan di Tangerang, Banten, selalu membawa ingatan Bedjo Untung pada kenangannya saat berada di sana sekitar 40 tahun lalu. Daerah yang kini disesaki sekolah, gedung kantor, dan pusat belanja itu menyimpan sejarah kelam. "Daerah ini dulu tempat kami menjalani kerja paksa," katanya pada Rabu, 31 Agustus lalu.
Bedjo adalah tahanan politik 1965. Pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 14 Maret 1948, ini ditangkap pada 14 Oktober 1970 di Jakarta karena menjadi anggota Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia. Setelah diinterogasi di salah satu pos Operasi Kalong di Gunung Sahari, ia dikirim ke penjara Salemba dan kemudian ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang pada 1972.
Selama di kamp tahanan Tangerang, ia bersama sekitar 200 tahanan 1965 lain menjalani kerja paksa di lahan seluas 115 hektare di Cikokol. Lokasi kerja paksa itu sekitar 2 kilometer dari tempat ia dibui. Setiap hari mereka pergi pagi dan pulang sore. Mereka diharuskan menanam dan menggiling padi. Mereka hanya diberi makan seadanya dan tak mendapatkan upah dari hasil keringat sendiri. Praktik semacam ini dapat dikategorikan sebagai kerja paksa atau malah perbudakan. Daerah di Cikokol itu juga hanya satu dari sejumlah kamp yang bisa disebut sebagai kamp kerja paksa seperti Gulag pada era Uni Soviet.
Menurut komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, pihaknya telah menyelidiki kasus 1965 ini pada 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Komnas HAM menemukan banyak tempat dan korban peristiwa 1965. Saat itu Komnas HAM memeriksa 349 saksi dan korban yang tersebar di sejumlah kamp di Maumere, Nusa Tenggara Timur; Denpasar, Bali; Sumatera Selatan; Sulawesi Selatan; Maluku; dan Sumatera Utara.
Dari hasil penyelidikan, Komnas HAM menemukan bukti terjadinya pelanggaran HAM berat sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM. "Sebab, ada serangan ke penduduk sipil yang sifatnya sistematis dan meluas," ujar Beka pada Jumat, 30 September lalu. Bentuk kejahatan itu meliputi pembunuhan, pengusiran, pemindahan secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, dan perbudakan.
•••
SELEPAS kudeta gagal Letnan Kolonel Untung dalam Gerakan 30 September 1965 (G-30-S), terjadi penangkapan besar-besaran terhadap pengurus, anggota, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ada yang langsung dieksekusi mati, yang jumlahnya ditaksir 500 ribu-3 juta orang. Ada juga yang akhirnya ditangkap dan diadili. Mereka yang ditangkap dan tak ada bukti cukup untuk dibawa ke pengadilan biasanya dikirim ke kamp penampungan seperti di Pulau Buru, Maluku; Plantungan, Kendal, Jawa Tengah; dan Moncongloe, Maros, Sulawesi Selatan.
Para tahanan itu dikelompokkan menjadi tiga golongan tergantung keterlibatan mereka dalam G-30-S, yakni A, B, dan C. Militer menuding PKI di balik upaya kudeta yang gagal itu. Golongan A berisi orang-orang yang nyata terlibat dalam G-30-S, sementara golongan B diperuntukkan bagi yang terlibat secara tidak langsung. Adapun golongan C terdiri atas orang yang diduga terlibat ataupun tidak terlibat secara langsung dalam G-30-S.
Jumlah mereka yang ditahan sangat besar sehingga menimbulkan masalah dalam penanganannya. Pada masa-masa awal, mereka ditaruh di lembaga pemasyarakatan atau ruang tahanan militer. Setelah diinterogasi, mereka biasanya akan dikirim ke sejumlah kamp, seperti di Plantungan dan Pulau Buru.
Bangunan di…
Keywords: G30S, PKI, Kamp Tahanan, Kerja Paksa, Tahanan Politik 1965, Tapol 65, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…