Planetarium Tim: Revitalisasi Atau Devitalisasi?

Edisi: 23 Okt / Tanggal : 2022-10-23 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


KOLAM itu terlihat indah. Letaknya di depan bangunan besar Planetarium dan Observatorium Taman Ismail Marzuki di Cikini, Jakarta Pusat. Posisinya yang menghiasi bangunan kubah dengan kaca-kaca melingkar seperti rotunda membuatnya cantik. Kolam itu posisinya juga tak jauh dari teater tertutup Taman Ismail Marzuki, yaitu teater arena. Kolam itu terasa menyegarkan dan memberi variasi tata halaman terbuka. Di depan kolam itu terdapat selasar berlantai kayu menuju lokasi baru teater arena. Selasar itu sering digunakan anak-anak untuk berlatih teater. Ini terlihat sebagai terobosan arsitektur, tapi panorama elok kolam itu bisa menyesakkan bagi para pegawai Planetarium, astronom, dan masyarakat pencinta astronomi.
“Dulu di kolam itu tempat lokasi peneropongan. Di situ kami menggunakan teropong bintang Takashi untuk mengamati langit. Sekarang, karena bangunan dihilangkan, teropong itu kami gudangkan,” kata Widya Sawitar, pensiunan pegawai Planetarium, lulusan astronomi Institut Teknologi Bandung yang pernah mengabdi di Planetarium TIM selama 30 tahun. Teropong Takashi, Widya menjelaskan, memiliki diameter 15 sentimeter dan bisa digunakan mengamati Andromeda. Bukan hanya peneliti, komunitas pencinta astronomi pun bisa turut menggunakannya. “Tiap malam mereka bisa naik ke atas. Ruangannya cukup luas sampai bisa menampung 100 orang, tapi sering kami batasi 50 orang,” ucap Muhammad Rayhan, karyawan Planetarium yang sebelum bekerja di Planetarium aktif dalam Himpunan Astronomi Amatir Jakarta. Tapi sampai minggu ini tidak ada lagi kegiatan peneropongan seperti itu. Planetarium dan Observatorium belum dibuka. Tak terlihat juga pemandangan anak-anak yang berbondong-bondong mengantre hendak menonton simulasi bintang. “Banyak yang menanyai saya di pertemuan atau di media sosial mengenai kapan Planetarium dibuka,” ujar Karlina Supeli, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, yang juga astronom dan pernah bekerja di Planetarium TIM.

Petugas membuka kain penutup pada proyektor bintang di Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19 Oktober 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Planetarium dan Observatorium TIM sesungguhnya adalah penghuni tertua di lahan bekas kebun binatang Raden Saleh di Cikini tersebut. Bangunan Planetarium lebih dulu ada daripada TIM yang baru diresmikan pada 1968. Sukarno adalah penggagas Planetarium. Pada 1960-an ia menginginkan di pusat Jakarta ada sebuah lembaga peneliti antariksa. Ia mengeluarkan surat keputusan presiden pada 1963 untuk mewujudkan hal tersebut. Pada 9 September 1964, Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan Planetarium. Dalam pidatonya Sukarno mengatakan Planetarium Jakarta akan menjadi salah satu planetarium terbesar di dunia karena kubahnya berdiameter 23 meter. Ia menekankan pentingnya Jakarta memiliki planetarium karena sejak masa Galileo Galilei, Nicolaus Copernicus, dan Johannes Kepler, cara umat manusia mengamati tata surya bertolak dari sains, bukan takhayul. “Saudara, sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus cepat mengejar keterbelakangan kita, mengejar di segala lapangan, lapangan politik, ekonomi kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, supaya kita benar-benar dalam waktu yang singkat bisa bernama bangsa Indonesia yang besar,” demikian penjelasan Sukarno saat itu.
“Sukarno menghimpun dana yang nilainya sangat besar waktu itu, sampai Rp 1 miliar lebih, untuk pembangunan planetarium dan observatorium. Proyektor dibeli dari Jerman Timur,” ujar Widya. Yang menarik adalah dana pembangunan didapatkan Sukarno dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan para pengusaha batik Indonesia. “Saya tidak tahu mengapa koperasi batik yang menyumbang. Mungkin para anggotanya ada yang berminat sains,” Widya menambahkan. Dalam pembangunan dan peralatan, semua didatangkan dari Jerman. GKBI menyumbang Rp 1, 67 miliar. Dalam sebuah kampanye pembangunan, GKBI menampilkan tagline “Planetarium adalah kebutuhan revolusi, GKBI adalah alat revolusi”.

Suasana ruang pertunjukan di Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19 Oktober 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Pengelolaan Planetarium di zaman Sukarno selanjutnya berada di bawah Gubernur Jakarta Henk Ngantung. “Tahun 1964, kubah sudah jadi seperti sekarang, sementara bangunan masih terbangun sepertiga,” tutur Widya Sawitar. Tatkala pada 1965 meletus tragedi September berdarah, pembangunan dihentikan sementara. Pembangunan planetarium dilanjutkan kembali pada 1967 di bawah Gubernur Ali Sadikin. “Saya kagum sekali, di masa paling gelap begitu, proyek ini diteruskan. Ini ekstravaganza buat negara yang belum punya apa-apa,” kata Premana W. Premadi, Kepala Observatorium Boscha. Pada 1967, kompleks Planetarium yang berbentuk huruf O dan mengelilingi bangunan kubah rampung. “Kompleksnya cukup besar. Bahkan gardu listrik Planetarium lalu menjadi gardu untuk seluruh wilayah Cikini sampai sekarang,” tutur Widya. Pada tahun itu, Planetarium diketuai oleh Santoso Nitisastro dari Boscha yang sedari awal terlibat perencanaan Planetarium. Pada 1977-2001, Planetarium juga dipimpin seorang astronom, yaitu Darsa Soekartadiredja.
Menurut Premana W. Premadi, peralatan Planetarium saat itu sudah tergolong canggih. Sejak awal Planetarium menggunakan proyektor Carl Zeiss buatan Jerman. Proyektor tersebut dibuat di pabrik Carl Zeiss pada 1959…

Keywords: Planetarium JakartaTaman Ismail MarzukiAstronomiPlanetarium
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…