Riwayat Ong Hok Ham Dari Malang Sampai Jakarta
Edisi: 28 Mei / Tanggal : 2023-05-28 / Halaman : / Rubrik : IQR / Penulis :
CUACA mendung. Bangku-bangku kayu panjang sudah disusun rapi di atas hamparan rumput taman, Ahad sore, 16 April lalu. Pelantang suara ditaruh di pojok halaman. Panitia pun sudah bersiap-siap. Namun, apa daya, hujan deras mengguyur disertai gelegar halilintar. Walhasil, acara bincang publik tentang sejarawan Ong Hok Ham yang diadakan Masyarakat Sejawaran Indonesia Komisariat Malang dipindah ke dalam ruang pamer Dialectica Gallery, Jalan Sumbing, Kota Malang, Jawa Timur.
Acara tersebut bertema “Keluarga Han di Jawa Timur bagi Sejarawan Ongkhokham” dengan narasumber David Reeve, sejarawan senior dan profesor tidak tetap di University of News South Wales, Australia. David Reeve tahun lalu menerbitkan buku biografi Ong Hok Ham berjudul To Remain Myself (The History of Onghokham). Ia datang ke Malang dan bercerita mengenai keluarga-keluarga besar Ong di Malang dan kota-kola lain di Jawa Timur. Buku itu berisi kisah hidup Ong dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa perang, masa belajar di Amerika, hingga masa kariernya sebagai sejarawan sampai pensiun. Buku ini rencananya akan diterbitkan dalam edisi berbahasa Indonesia tahun ini.
Ong lahir dari keluarga peranakan. Ibunya keturunan keluarga Han Hoo Tong (1859-1919) di Pasuruan dan Tan di Surabaya. Han Hoo Tong dikenal sebagai salah seorang raja gula Indonesia asal Pasuruan. Anggota keluarga Han dan Tan banyak yang menduduki jabatan opsir di Cina. Sementara itu, orang tua ayahnya berasal dari Malang dan Bangil, Pasuruan. David menjelaskan, keluarga Ong berada di Malang selama November 1945-Juli 1947. Mereka adalah bagian dari puluhan ribu pengungsi dari Surabaya pada awal-awal masa pertempuran Surabaya. Keluarga Ong di Malang awalnya tinggal bersama seorang saudara bernama Tante Koppo di sebuah rumah besar di Jalan Celaket (rumah besar ini sekarang berwujud hotel mewah). Dari situ mereka pindah ke kamar kos dekat Stasiun Malang.
Onghokham di kantor redaksi Majalah Tempo, Jakarta, 1983. Tempo/Dodo Karundeng
“Saat itu periode perang banyak ketegangan. Sering terjadi benturan antara orang Republik dan peranakan karena peranakan sering dianggap mata-mata Belanda. Ada perampokan dan kadang-kadang pembunuhan,” tulis Reeve. Pada 1946-1947, Malang menjadi kota Republik terbesar di Jawa Timur sehingga menjadi lokasi kegiatan Republik Indonesia, dari rapat, konferensi, kunjungan pemimpin besar, hingga peliputan wartawan domestik dan asing. “Pada 17 Agustus 1946 dirayakan hari ulang tahun kemerdekaan pertama secara besar-besaran di Kota Malang. Ada pawai besar, makanya banyak petinggi Republik dan wartawan ke Malang,” ucap Reeve.
Kejadian paling besar di Malang saat itu adalah pelaksanaan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 25 Februari-6 Maret 1947 di Gedung Concordia (sekarang pusat belanja Sarinah). Hampir semua unsur pemerintah Republik ada di Malang. Perjanjian Linggarjati disepakati pada Maret-Juni 1947, tapi keadaan makin menegangkan karena Belanda justru mengingkari Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati pada 25 Maret 1947. Bahkan Belanda melancarkan operasi militer di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada 21 Juli-5 Agustus 1947, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. “Akhirnya Kota Malang kembali direbut Belanda dan keluarga Ong dikirim kembali ke Surabaya. Namun kejadian-kejadian di Malang yang dilihat Ong turut membentuk tingginya rasa nasionalisme Ong. Ia jadi sangat mencintai Indonesia. Ia selalu berbicara sebagai warga negara Indonesia, bukan sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa,” ujar Reeve.
•••
DAVID Reeve, 77 tahun, berkenalan dan bersahabat dengan Ong Hok Ham sejak 1975 saat sama-sama mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia—sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya atau FIB. David sekarang adalah honorary associate professor di University of New South Wales. Bagi dia, Ong sejarawan unik karena hidupnya yang nyentrik, bohemian, dengan semua ciri yang sering dimaki-maki di Indonesia (Ong seorang gay dan tidak bertuhan alias ateis).
Ong Hok Ham lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 1 Mei 1933. Ia adalah salah seorang sejarawan Indonesia yang berkonsentrasi pada penelitian masa kolonial. Ia sering dijuluki intelektual publik karena sering menulis di majalah Tempo, majalah Prisma, dan harian Kompas. Ia wafat pada 30 Agustus 2007 dalam usia 74 tahun…
Keywords: Pramoedya Ananta Toer, Buku, Malang, Sejarawan, Ong Hok Ham, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…