Dilema Impor LPG Indonesia

Krisis energi dunia akibat pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina mulai menekan harga liquefied petroleum gas di dalam negeri. Sejak 27 Februari lalu, PT Pertamina Patra Niaga menetapkan harga baru LPG nonsubsidi Rp 15.500 per kg, naik Rp 2.000 dari sebelumnya. Mengingat Rusia merupakan salah satu pemasok besar gas dunia, jika perang tidak segera berakhir, harga LPG diperkirakan masih akan terus naik.

Indonesia sebagai negara pengimpor sangat rentan terhadap fluktuasi harga gas dunia. Apalagi jumlah penggunaan LPG di dalam negeri terus bertambah setiap tahun. Tahun 2020, penjualan LPG sudah di atas 8 juta metrik ton, naik 21 persen dari tahun 2016. Bersamaan dengan itu, impor meningkat karena produksi LPG dalam negeri justru turun dari tahun ke tahun. Rata-rata produksi LPG nasional hanya mampu memenuhi 20 persen kebutuhan nasional.

Di sisi lain, subsidi diperkirakan akan membengkak. Pemerintah menganggarkan Rp 66,3 triliun untuk subsidi LPG tahun 2022, dengan asumsi Indonesian crude price tertinggi US$ 63 per barel. Pada Februari lalu rata-rata ICP sudah di angka US$ 95,72 per barel. Pemerintah telah berencana mengurangi konsumsi LPG melalui program kompor induksi dan intensifikasi jaringan gas untuk rumah tangga, namun realisasinya belum maksimal.

Tahun	Impor (Juta MT)	Produksi (Juta MT)	Subsidi (Triliun Rupiah)
2016	4.48	2.23	24.94
2017	5.46	2.01	38.75
2018	5.57	2.00	58.14
2019	5.71	1.94	54.15
2020	6.40	1.92	32.80
2021	6.42	1.97	49.90

*) Subsidi tahun 2020 dikurangi karena adanya penyesuaian anggaran untuk penanganan Covid-19

oleh: Febbi Meidawati

---

Special Reports: