KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH

Edisi: 13/24 / Tanggal : 1994-05-28 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis : ZA


KETIKA insiden Waduk Nipah marak di Madura Oktober 1993 lalu dan membawa korban empat jiwa, agaknya orang disadarkan kembali bahwa peran ulama di Madura masih besar. Banyak yang menduga pembebasan tanah Waduk Nipah ditentang masyarakat karena Pemerintah tidak mendekati para ulama. Kiai Haji Alawy Muhammad, seorang ulama yang bersuara keras dalam menanggapi kasus Nipah, menyebut ulama seperti selender, sebutan populer di Madura untuk mesin penghalus jalan. "Kalau jalan rusak, selender dipakai. Kalau jalan sudah halus, selender masuk gudang," katanya.

Masa-Masa Sulit Saya dilahirkan tahun 1928 di Dusun Tenggumung, Desa Karongan. Keluarga saya adalah keluarga petani. Ayah saya bernama Kiai Haji Muhammad dan ibu saya bernama Siti Fathuniah. Keduanya sudah meninggal. Ayah saya meninggal tahun 1960 dan ibu saya meninggal tahun 1973. Saya sendiri anak nomor empat dari 11 saudara. Desa kelahiran saya itu hanya dua kilometer di sebelah utara Kota Sampang. Dulu, ketika saya masih kecil, jalan ke desa saya jelek sekali. Tapi sekarang jalannya sudah diaspal oleh Pemerintah, penduduk yang bepergian bisa naik mobil Colt atau becak. Sekarang ini sudah jauh lebih enak.

Orang-orang bilang kami memang masih garis keturunan kiai. Konon, saya masih keturunan keempat almarhum Kiai Syamsudin dari Batuampar, Pamekasan. Mbah saya, Kiai Haji Abdul Haqim, adalah perintis pondok pesantren ini. Tapi saya tidak suka kalau orang membesar-besarkan soal garis keturunan.

Dulu, pondok ini hanya surau kecil dengan puluhan santri. Dan pondok keluarga saya ini sempat kosong karena tak ada yang mengelola. Baru setelah adik saya, Kiai Haji Makmun, pulang belajar agama dari Mekah, pondok ini mulai dibenahi kembali. Secara resmi Pondok At-Taroqqi berdiri pada tahun 1968. At-Taroqqi itu artinya peningkatan, agar para santri yang belajar di pondok bisa meningkatkan taraf kehidupannya, baik untuk keperluan dunia maupun akhirat. Adik saya itu yang sehari-hari memimpin pondok.

Saya lebih banyak mengurus keperluan ekonomi keluarga. Adik saya Kiai Haji Makmun belajar di Mekah atas anjuran saya. Tapi rupanya Allah tak memberi umur panjang pada adik saya itu. Tahun 1973, adik saya meninggal dunia karena kecelakaan. Sejak itu, saya yang kemudian mengemudikan pondok.

Sebenarnya, saya tidak pernah menyangka akan menjadi kiai. Keinginan ketika kecil, ya, jadi orang biasa, menjadi anggota masyarakat biasa. Waktu saya kecil, orang Madura itu hidupnya susah, dan untuk bisa hidup harus berjuang. Sebabnya, kondisi daerah Madura yang miskin. Tanahnya kering dan tak begitu luas, sehingga tidak bisa memberikan harapan yang muluk-muluk kepada penghuni pulau ini. Umumnya cita-cita anak Madura sederhana saja, bagaimana bisa hidup tanpa kelaparan. Karena itu, untuk bisa hidup dengan layak, umumnya orang Madura pergi menyeberang ke tanah Jawa. Di Jawa, hidup relatif lebih mudah, jual barang rombeng saja laku dan bisa makan. Kalau mau hidup irit malah bisa naik haji.

Masa remaja saya lebih banyak saya habiskan untuk merantau. Pada umur 13 tahun saya sudah turun ke sawah membantu orang tua. Pada usia 14 tahun, kalau tidak salah sekitar tahun 1943, saya sudah merantau ke Jawa. Saya merantau di Pulau Jawa selama 17 tahun. Tahun pertama saya merantau ke Surabaya. Waktu itu saya tidur di Pasar Blauran. Di Kota Surabaya saya mulai belajar berdagang. Waktu itu saya berdagang apa saja yang bisa mendatangkan rezeki. Ada kain, ya jadi pedagang kain. Ada barang bekas, ya jualan barang bekas. Sampai saya hafal betul liku-liku Pasar Blauran. Orang Madura itu kan serbabisa. Asal mau sedikit susah payah, tak mungkin kelaparan. Saya tinggal di Surabaya sekitar enam bulan, kemudian saya merantau ke Jember, masih di Jawa Timur.

Saya pergi ke Surabaya karena tanah orang tua tak mencukupi untuk menghidupi seluruh keluarga. Apalagi saat itu zaman pendudukan Jepang, hidup sulitnya setengah mati. Mencari bahan makanan sulit. Apalagi mencari kain untuk baju, sulitnya minta ampun.

Walaupun dalam keadaan tertekan, orang Madura tak ada yang berontak melawan Jepang. Bagaimana bisa berontak, wong pengetahuan saja tak ada. Untuk mengangkat senjata, diperlukan keberanian. Dan orang baru berani kalau mendapat pengetahuan. Dengan pengetahuan, orang jadi tahu akan hak-haknya. Saat itu penduduk Madura masih banyak yang buta pengetahuan, dan pondok pesantren juga masih sedikit.

Terbelakangnya masyarakat Madura sampai sekarang ini, tahun 1994, masih terasa. Misalnya carok, atau saling membunuh dengan celurit, dikenal orang sebagai budaya Madura. Sebenarnya itu bukan budaya Madura, tapi budayanya orang primitif. Carok adalah perbuatan orang gendeng. Perbuatan orang yang kurang berpendidikan. Carok dilarang oleh agama Islam. Membunuh itu berat hukumnya dalam Islam. Biasanya carok terjadi karena soal perempuan. Yang laki tersinggung karena istrinya diganggu laki-laki lain. Dan dalam tiap pengajian saya selalu mengatakan bahwa carok merupakan perbuatan dosa yang besar. Walau memang belum hilang betul, carok sudah berkurang.

Hanya saja, banyak orang lain menilai, kelakuan orang Madura banyak yang negatif. Misalnya, orang Madura kalau berdagang tidak jujur. Kalau dagangannya ditawar dan tak jadi dibeli, orang Madura marah. Sebenarnya, yang tidak jujur itu kan satu dua orang saja. Yang jujur pasti masih banyak. Anggapan tentang orang Madura tidak jujur itu sebenarnya politik pedagang Cina, agar orang hanya membeli dari pedagang Cina. Saya kira ini soal anggapan. Kalau kita bisa berkomunikasi dengan orang Madura, mudah sekali, kok. Lihat saja, kalau sampean misalnya bisa menawar dengan menggunakan bahasa Madura, pedagang tak akan memberi harga mahal. Kembali ke cerita saya di Surabaya dulu sebagai pedagang, saya sempat merantau ke Kabupaten Jember selama satu tahun. Setiap merantau saya selalu membawa orang tua, termasuk waktu di Kabupaten Jember. Di kabupaten ini saya sempat tinggal di Kecamatan Balung dan Kecamatan Kencong. Di daerah inilah saya dikawinkan oleh orang tua saya. Istri saya yang pertama namanya Siti Romlah. Ia masih terhitung famili. Saya kawin dengan Romlah kira-kira tahun 1944.

Umur perkawinan saya dengan Romlah hanya empat puluh hari. Mungkin karena waktu itu sebenarnya saya belum ingin kawin. Karena itu, kami lantas pisah baik-baik. Setelah itu, saya merantau…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…