Kisah Seputar Petisi 50

Edisi: 49/23 / Tanggal : 1994-02-05 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis : GSI


Ketika Ali Sadikin dan kawan-kawannya dari kelompok Petisi 50 diundang Menristek B.J. Habibie untuk mengunjungi PT PAL dan IPTN, banyak orang kaget. Kunjungan itu agaknya dilihat sebagai perubahan sikap Pemerintah terhadap kelompok Petisi 50. Bagaimana sebenarnya kelompok Petisi 50 itu saat ini, dan bagaimana latar belakang keberadaannya? Akhir tahun 1993 lalu, Ali Sadikin bercerita panjang tentang hal itu -- juga tentang sisi-sisi kehidupannya yang lain -- kepada wartawan TEMPO Gabriel Sugrahetty dan Wahyu Muryadi. "Supaya generasi muda mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya," katanya.

Menjadi Menteri pada Usia 36 Tahun

Menurut ibu saya, saya lahir pada hari Rabu tanggal 7 Juli 1927. Tapi ketika saya coba menghitung tanggal, ternyata tanggal 7 Juli 1927 bukan hari Rabu. Hari Rabu justru jatuh pada tanggal 7 Juli tahun 1926, bukan tahun 1927. Maka, saya selalu mengatakan lahir tahun 1926 meskipun dalam KTP ditulis lahir tahun 1927.

Saya masuk ke Sekolah Pelayaran Tinggi pada waktu zaman Jepang. Sejak dulu saya memang sudah bercita-cita ingin menjadi perwira Angkatan Laut. Kelihatannya gagah. Setamat dari Sekolah Pelayaran Tinggi, saya sempat menjadi guru di Sekolah Pelayaran Tinggi di Jakarta.

Tahun 1945-1949 saya menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat, yang ditempatkan di Karesidenan Pekalongan. Saya termasuk salah satu yang ikut membentuk Pangkalan IV Angkatan Laut. Sejarah membuktikan bahwa Pangkalan IV itu adalah satu-satunya kesatuan Angkatan Laut yang ditugasi oleh pusat untuk tugas teritorial selain Angkatan Darat.

Pada waktu perang gerilya, Pak Nasution adalah panglima komando untuk Jawa sambil merangkap wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman. Saya anggap Pak Nas sebagai Bapak Angkatan Darat karena saya kenal betul dengan dia. Saya tidak pernah tahu Panglima Besar Jenderal Sudirman. Saya pernah dilatih oleh Pak Nas ketika zaman Jepang, sebelum saya belajar ke Pelayaran Tinggi. Ketika itu Pak Nas sudah ikut dalam gerakan bawah tanah bersama almarhum T.B. Simatupang.

Sewaktu Clash Kedua, kami kembali lagi ke Korps Armada IV. Kemudian kami diberangkatkan ke Surabaya dan di sana menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL). Pangkat saya waktu itu masih kapten. Tahun 1953-1954 saya dikirim ke korps marinir di Amerika Serikat selama sembilan bulan. Pulangnya mampir ke Negeri Belanda melihat korps marinir di sana selama dua bulan. Saya menikah bulan Desember 1954, sepulang dari Amerika, karena juga kebetulan Ibu Nani sudah selesai kuliahnya di Universitas Airlangga bulan Desember 1954 itu. Saya sudah pacaran dengan Ibu Nani sejak tahun 1952.

Saya dan kawan-kawan kemudian mengadakan reorganisasi KKO. Markas Besar KKO yang di Surabaya dipindahkan ke Jakarta. Saya tetap di Surabaya sebagai Komandan Pusat Pendidikan merangkap Komandan Pasukan KKO-AL. Kemudian saya serahkan Komandan Pasukan KKO-AL, supaya saya berkonsentrasi hanya pada Komandan Pusat Pendidikan dan sebagai guru di Akademi Angkatan Laut.

Tahun 1960 saya sudah brigadir jenderal, padahal waktu itu saya baru berumur 34 tahun. September 1963 saya menjadi Menteri Perhubungan Laut dan tahun 1964 menjadi menteri koordinator maritim. Pada umur 36 tahun, saya sudah mayor jenderal dan menteri perhubungan laut. Jadi, pada umumnya sekarang menteri umurnya 50-an sampai 60-an, sedangkan saya dulu umur 36 sudah jadi menteri.

Ketika saya menjadi menteri, saya menguasai PAL. Dulu PAL itu adalah bagian dari Angkatan Laut, sebagai detasemen untuk melayani kapal-kapal perang dan juga melayani seluruh instalasi Angkatan Laut di darat. Sekarang PAL sudah dikeluarkan dari Angkatan Laut.

Angkatan Laut itu mempunyai sejarah "bodoh politik". Lain dengan Angkatan Darat, yang menguasai teritorial di darat. Mungkin itu tradisi dari pemerintah Hindia Belanda dulu dengan KNIL-nya, yang menguasai angkatan darat dan udara. Ketika itu, kalau keadaan darurat perang, yang berkuasa adalah tentara, KNIL. Sedangkan gubernur, residen, dan bupati di bawah komandan angkatan darat. Jadi, di darat yang berkuasa adalah angkatan darat.

Saya Berdiri di Atas Semua Golongan

Waktu saya menjadi Gubernur DKI Jakarta, partai-partai ingin supaya floating mass dihapuskan. Kalau tidak dihapuskan, mereka hanya bisa sampai kabupaten, sedangkan di kecamatan hanya ada komisaris partai. Tapi Golkar tidak begitu. Jalur pembinaan masyarakatnya melalui gubernur, bupati, camat, dan lurah. Dan pembinaan floating mass dalam kenyataan praktisnya dikerjakan oleh Korpri sampai pada tingkat lurah. Tapi PDI dan PPP tidak boleh sampai bawah. Mereka hanya diizinkan sampai tingkat komisaris atau tingkat kecamatan. Bagaimana akan ada pembinaan politik?

Bagaimana Golkar sampai kalah (di Jakarta) sewaktu kepemimpinan saya? Yang jelas, saya tidak mau main curang. Waktu itu pemalsuan hasil pemilu banyak terjadi. Teromol yang sampai ke pusat apakah teromol yang asli atau tidak, kita tidak tahu. Selama dua kali pemilu, saya menggunakan komputer dan pada saat Golkar dan partai berkumpul, orang-orang partai sudah punya angka dari setiap tempat pemungutan suara. Jadi, dia tinggal mengecek saja, berapa angka dari tiap-tiap kelurahan atau TPS, kita akan tahu.

Yang paling lucu, saya belum lagi selesai menghitung dan melaporkan ke masyarakat mengenai hasil pemilu untuk Jakarta, sekonyong-konyong Gubernur Sulawesi Selatan, Ahmad Lamo, melaporkan bahwa perhitungan di sana sudah selesai. Golkar menang sekian persen, katanya. Padahal, lurah di sana itu jaraknya sekian ratus kilo di pedalaman. Telepon juga tidak ada. Bagaimana mungkin? Padahal, di Jakarta ada telepon dan komputer, perhitungan suara belum selesai.

Kalahnya Golkar di Jakarta tetap saja membuat saya tenang. Menteri Dalam Negeri, waktu itu Amirmachmud, tidak meminta saya bertanggung jawab. Dia sudah tahu sifat saya. Memang, semua gubernur diminta memenangkan Golkar. Ambillah misalnya 70%, itu targetnya. Lalu gubernur akan bilang ke bupati bahwa targetnya 75%. Lantas bupati bilang ke orang kecamatan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…