Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni

Edisi: 06/24 / Tanggal : 1994-04-09 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis : WIRATA, PUTU


Anak Agung Made Djelantik banyak berjasa pada Bali. Dialah orang yang merumuskan konsep dasar seni lukis Bali. Djelantik juga melestarikan gong gede setelah kaget mendengar lagu-lagu Beatles berkumandang di tempat persembahyangan. Akhir tahun lalu ia menggelar Festival Seni Kontemporer Nasional sebagai wadah seni kontemporer Bali yang sulit berkembang karena ikatan tradisi yang kuat. Akhir-akhir ini suaranya vokal di Bali tentang perlunya pulau ini diselamatkan dari pembangunan sarana wisata yang mendesak kantong-kantong budaya. Tapi Djelantik yang dokter ini pernah "dibuang" ke Pulau Buru. Kepada koresponden TEMPO Putu Wirata di Denpasar, Djelantik menuturkan pengalaman hidupnya. Aku lahir di Puri Karangasem, tahun 1919, di tengah lingkungan yang masih feodal. Walau aku lahir dalam lingkungan kerajaan, masa kecilku tidak terlalu bahagia. Pada saat usiaku satu setengah tahun, ibuku meninggal. Beliau mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan adikku, anaknya yang ketiga. Otomatis, aku jadi anak tiri. Karena sudah jadi kelaziman dalam lingkungan feodal bahwa raja punya banyak istri, anak-anak yang tidak punya ibu kandung juga tidak punya semacam pengayom yang memperjuangkan eksistensinya dalam istana.

Di dalam Puri selalu ada dalang wayang kulit. Pada hari-hari tertentu, pada upacara adat atau agama, Ki Dalang mendalang di Puri. Kalau tidak manggung, hampir saban malam Ki Dalang memberi cerita pengantar tidur buat kami, putra-putri raja. Ceritanya tentu saja diambil dari Ramayana atau Mahabharata. Kami senang, dan ini rupanya merupakan cara Ayah untuk memberi pendidikan budi pekerti pada kami. Ayah juga aktif mepepaosan (melantunkan kidung dari sastra-sastra) dengan para ahli sastra tradisional di Puri. Kehidupan di Puri memang penuh warna kesusastraan.

Kami, putra-putri raja, waktu itu juga mendapat pelajaran berkelahi menggunakan keris. Aku diajar bagaimana menyerang, bagaimana menangkis. Mungkin meniru prajurit-prajurit kerajaan zaman dahulu, kami juga diajar memanah. Panahnya adalah panah baja yang keras dan berat untuk diangkat. Aku sendiri tak serius mempelajari itu. Aku hanya main-main. Jadi, walau pahlawan idamanku Laksamana, aku sama sekali tidak bisa seterampil Laksamana.

Epos Ramayana dan Mahabharata adalah lakon yang sudah sangat populer pada waktu itu. Aku menyukai kedua epos itu. Nah, tokoh idolaku dalam epos Ramayana adalah Laksamana. Dan aku sangat terpengaruh oleh perilaku dan tindak-tanduk Laksamana yang jantan dan kesatria. Saking kagumnya, aku mengidentifikasi diri sebagai Laksamana, yang keras, berani, dan tak segan berkelahi. Ditambah pelajaran bela diri dan latihan memanah mirip Laksamana yang diberikan di Puri, aku semakin merasa sungguh-sungguh segagah Laksamana, ha...ha...ha....

Aku dan kakakku, A.A. Gde Djelantik, akrab seperti Rama dan Laksamana. Aku anggap kakakku sebagai Rama. Ke mana pun pergi, kami selalu berdua. Tentu, aku harus melangkah di belakang dia, berlaku sebagai parekan (abdi, pelayan). Kalau pergi ke pasar, misalnya, kakakku jalan di depan, aku di belakang. Kami juga dikitari beberapa orang pengawal. Zaman itu, wibawa Puri dan kerajaan memang menyusup sampai ke pelosok. Kalau kami sedang berjalan di tengah keramaian, rakyat biasa akan duduk bersila atau bersimpuh begitu kami lewat. Mereka sujud dan menghormat pada kami. Lucu juga kalau dikenang-kenang.

Walau aku lahir dalam keluarga yang cukup besar -- ayahku punya enam istri dan aku punya 27 saudara -- seorang anak tiri seperti aku akan menjadi orang yang kurang berarti. Itu kan sistem feodal kerajaan. Seorang ibu harus pintar-pintar memperjuangkan anaknya agar mendapat perhatian di hadapan raja. Di hadapan saudara-saudaraku, terutama kakak tiriku, A.A. Gde Djelantik, yang jadi saudara tertua, kedudukanku hanya menjadi parekan mereka. Kami memang makan sambil duduk di lantai, tapi aku tidak bisa makan bersama-sama. Kalau ada sisa makanan dari kakak diberikan kepadaku, itu malah kebahagiaan karena dapat ngelungsur (meminta) dan itu bukan sesuatu yang merendahkan atau diskriminasi. Aku juga sering mendapat pakaian bekas dari saudara-saudara yang lebih tua.

Aku bicara dalam bahasa halus (singgih), tapi kakakku bicara dalam bahasa sedang (madya). Itulah yang terjadi, aku tak boleh bicara dengan bahasa yang sama tingkatannya. Tapi aku tidak terlalu pusing oleh tata krama itu. Aku juga tidak pernah punya ambisi untuk menyamai saudara-saudaraku. Pola hidup demikian itu sudah menjadi kelaziman dan aku bisa hidup bahagia dengan saudara-saudaraku.

Sebagai anak-anak raja, kami mendapat pelajaran baca tulis dan bahasa Belanda dari guru yang didatangkan ke Puri. Istilahnya, kami belajar dalam kelas yang bernama sekolah Melayoe. Waktu itu, hubungan dengan Belanda cukup baik. Tidak ada lagi perang. Raja sudah menandatangani kerja sama perdagangan dengan Belanda. Masa-masa perang, seperti Perang Jagaraga di Buleleng, Puputan Klungkung, dan Puputan Badung, sudah lewat.

Fantasi bahwa aku dan kakakku seperti Rama dengan Laksamana membuat aku makin berani. Aku juga semakin ugal-ugalan dan tidak pernah punya rasa takut. Kalau kawan-kawan bercerita tentang setan yang serbaseram, aku akan membantahnya. Aku tidak percaya pada takhayul. Aku masih ingat, pada umur delapan tahun aku mengajak kawan-kawan pergi ke kuburan untuk melihat apa benar di sana ada leak. Aku tidak percaya pada setan dan magic seperti yang umumnya dipercaya orang.

Setelah bersekolah tiga tahun, seorang commandeur (kepala pemerintahan, sederajat dengan bupati sekarang) Belanda menyarankan kepada Ayah agar kakakku disekolahkan di sekolah umum. Waktu itu, sekolah umum HIS tak ada di Karangasem. Pada tahun 1928 itu HIS hanya ada di Denpasar. Kakakku, A.A. Gde Djelantik, sudah siap-siap berangkat ke Denpasar. Dia memang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung, syarat untuk masuk ke HIS. Aku ikut ke Denpasar. Bukan karena keinginan melanjutkan sekolah, melainkan karena di otakku ada bayangan kota yang jauh, tanah yang belum pernah kulihat.

Ayah setuju. Kami berangkat ke Denpasar, tinggal di Puri Kayumas, yang baru dibangun, dan siap menjadi siswa HIS. Sebagai teman dan parekan yang setia kepada kakakku, aku ingin masuk HIS juga. Ketika dites, aku tak bisa membaca, tak bisa menulis, dan tak bisa berhitung. Aku ditolak, tapi aku berontak. Dengan memanfaatkan pengaruh Ayah yang masih cukup dipandang, aku diterima di kelas satu.

Tapi ini tetap merupakan soal. Aku di kelas I, sementara Kakak di kelas III. Padahal, kami tidak mau dipisahkan. Aku berontak, minta agar digabung dengan Kakak, yang rupanya mengamuk juga meminta agar adiknya dimasukkan satu kelas dengan dirinya. Mungkin karena para guru itu segan kepada Ayah, kami mendapatkan kompromi. Aku dinaikkan ke kelas II, sementara Kakak rela diturunkan satu kelas, jadi kelas II juga. Tapi aku tetap tidak tertarik pada pelajaran. Aku lebih suka keluyuran main bola atau bermain-main di jalanan, sementara Kakak tekun luar biasa. Tidak mengherankan kalau nilai raporku tidak pernah lewat dari angka tiga. Merah semua, lo!

Di kelas, aku sering berkelahi dengan A.A. Ngurah Rai, yang kelak dikenal sebagai pahlawan nasional pada Puputan Margarana tahun 1948. Kami memang sama-sama keras kepala dan tak pernah mau mengalah. Pelajaran tak kupedulikan. Tapi, dengan berbagai macam akal, aku bisa naik terus sampai kelas VII dan menamatkan HIS dengan mulus, ha...ha...ha....

Disiplin di zaman Belanda itu ketat sekali. Tiap tiga bulan, inspektur sekolah melakukan pemeriksaan langsung. Dia mengajukan pertanyaan Matematika, Geografi, dan mata pelajaran lain. Yang bodoh bakal ketahuan, begitu juga yang pandai. Karena khawatir "katebelece"-ku ketahuan sang inspektur, tiap ada pemeriksaan, aku diliburkan. Jadi, aku tak pernah bertemu dengan inspektur itu.

Setamat HIS, Kakak meneruskan ke MULO di Malang. Aku juga tamat dengan "pertolongan" dan mendapat surat keterangan yang menyatakan aku boleh masuk ke MULO. Tapi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…