Berebut Batu Bara Kalimantan
Edisi: 15/31 / Tanggal : 2002-06-16 / Halaman : 69 / Rubrik : INVT / Penulis : Wicaksono
DALAM salah satu cerita kenangannya, By the Shores of Silver Lake, penulis Amerika Laura Ingalls Wilder melukiskan sebuah episode yang mendebarkan ingatan kanak-kanaknya. Di suatu petang, di padang rumput Dakota, ia menatap asap yang membubung dan memekatkan langit di kejauhan. "Asap hitam itu datang dari batu bara dan kelak mengubah wajah negeri ini dan menyapu bersih semua kereta kuda dari daratan Amerika," ayahnya, Charles Ingalls, menjelaskan kepada Laura.
Kenangan Ingalls itu, yang selebihnya bisa disaksikan dalam serial televisi terkenal Little House on the Prairie, melukiskan kedigdayaan batu bara. Emas hitam itu menjadi komoditi primadona ketika "demam pembangunan" rel-rel kereta api melanda Amerika pada akhir abad ke-19. Dan seperti emas, dia juga menjadi pusat intrik dan perseteruan.
Dua abad kemudian, batu bara masih menjadi sesembahan, bahkan ketika kereta api tak lagi rakus melahap bahan bakar yang usang itu. Bulan lalu, di Jakarta, ribuan kilometer dari Dakota, perseteruan merebut batu bara mengambil bentuknya yang memiriskan dan berbau darah.
Di lantai 28 Kadin Tower, kawasan Kuningan, Jakarta, sebuah telepon berdering di kantor Rio Tinto, perusahaan raksasa pertambangan dunia. "Saya dari Kalimantan," kata si penelepon, "Bom akan meledak di kantor Rio Tinto jam dua siang nanti." Klik. Telepon ditutup.
Tak mau ambil risiko, begitu mendengar ancaman itu, penerima telepon bergegas mengontak polisi. Semua karyawan perusahaan asal Australia itu diminta keluar dari gedung. Tapi pasukan penjinak bom Gegana tak menemukan secuil pun bom. Ancaman itu ternyata kosong belaka.
Kejadian yang dikisahkan majalah Business Week dua pekan lalu itu jelas tak datang tiba-tiba. Rio Tinto memang tengah menjadi tumpuan kekesalan banyak orang. PT Kaltim Prima Coal, salah satu anak perusahaan Rio Tinto, belum kunjung memenuhi kewajibannya melakukan divestasi atau pengalihan saham kepada pihak Indonesia. Padahal kewajiban itu sudah harus ditunaikan sejak 1996 (lihat Jual-Beli Gaya Karet).
Urusan ini bermula pada 1982 tatkala Rio Tinto, yang berduet dengan Beyond Petroleumâraksasa minyak dari Inggrisâmemperoleh kontrak mengeduk batu bara di Sangatta, Kalimantan Timur. Dengan investasi US$ 1 miliar (setara dengan Rp 9 triliun), mereka membentuk PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang memiliki wilayah penambangan seluas 7.900 kilometer persegi.
Setiap tahun KPC mengekspor sekitar 15,5 juta ton batu bara ke 20 negara. Laba bersihnya mencapai Rp 2,5 triliun per tahun. Dengan estimasi deposit total sebesar 1,2 miliar ton yang bisa terus dikeruk 20 tahun dari sekarang, KPC adalah mesin uang yang giat.
Tak aneh jika dia layak diperebutkan. Berdasarkan perjanjian kontrak pengusahaan batu bara (sering disebut "kontrak batubara")1982 , KPC harus membagi kepemilikan dan keuntungannya kepada Indonesia, yang diwakili oleh pemerintah pusat, daerah, atau investor nasional. Pengalihan saham itu harus dilakukan setelah perusahaan tadi beroperasi, yakni sejak 1996 secara bertahap hingga 2002, sedemikian sehingga pihak Indonesia akhirnya menguasai 51 persen saham KPC.
Aturan pengalihan saham seperti itu lazim dalam dunia pertambangan. Pemerintah di negara berkembang mengundang investor asing yang memiliki teknologi dan kecanggihan manajemen untuk mengeskploitasi hasil tambangnya. Perusahaan asing memperoleh konsesi yang menguntungkan, tapi pada suatu saat harus menjual sebagian sahamnya kepada pemerintah. Ada motif mulia dalam hal ini: hasil tambang harus memberikan kemakmuran terbesar bagi rakyat pribumi.
Sejauh ini, KPC hanya memberi Indonesia royalti 13,5 persen atau Rp 340 miliar dari keuntungan bersih tiap tahun. Dengan kepemilikan 51 persen, keuntungan pihak Indonesia akan jauh lebih besar dan secara teoretis bisa mencapai Rp 1,25 triliun.
Masalahnya, divestasi itu tak kunjung terwujud. Proses pengalihan saham itu bolak-balik terbentur perbedaan kepentingan antara KPC, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, dan pemerintah pusat.
Rio Tinto tak ingin 51 persen…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.