Ambisi Latief Dibayar Tunai

Edisi: 03/27 / Tanggal : 1998-10-26 / Halaman : 55 / Rubrik : INVT / Penulis : Setiyardi , Pudjiarti, Hani, Wiyana, Dwi


BOLEH jadi ini cuma kebetulan: dua pengusaha besar sama-sama aktif di Golkar, lalu memimpin departemen yang sama. Abdul Latief menjadi Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VI. Koleganya, Fahmi Idris, menduduki posisi yang sama untuk periode 1998-2000. Hal biasa saja, sebetulnya. Tapi terasa jadi istimewa tatkala keduanya "tersangkut" pada soal yang sama: sebuah dana superbesar, sekitar Rp 7 triliun, total aset milik 15 juta buruh yang tersimpan di PT Jamsostek, sebuah badan usaha milik negara (BUMN) di bawah Departemen Tenaga Kerja (Depnaker).

Latief bos grup bisnis eceran mentereng, Pasaraya, sempat menjadi omongan orang sehubungan dengan ribut-ribut penggunaan dana perusahaan pengelola dana sosial terbesar di Indonesia itu. Terutama dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan (RUUK), November 1997 lalu. Nilainya lumayan gede, dan mungkin memecahkan rekor, untuk mengegolkan sebuah undang-undang: Rp 7,1 miliar. Latief sendiri menyebut biaya itu "cuma" Rp 3,1 miliar--dan belakangan Rp 2,8 miliar (lihat boks: Kabar-Kabur Dana Buruh).

Sedangkan Fahmi Idris belakangan ini ramai diberitakan karena perihal yang sama. Tapi itu bukan menyangkut "kabar buruk", melainkan keputusannya pekan lalu, mewakili pemerintah, untuk menunda berlakunya UU bagi para pekerja itu sampai tahun 2000 nanti. Ada puluhan masalah yang harus dibenahi dari 199 pasal yang termaktub di dalam undang-undang itu. Bos grup bisnis Kodel ini juga mengusulkan dilakukan "demonopolisasi" dana pekerja yang selama ini diurus Jamsostek.

Alasan Fahmi, monopoli (hanya di tangan Jamsostek) bukan cara yang sehat untuk mengelola dana triliunan rupiah itu. Ia lalu mengusulkan kepada Menteri Keuangan Bambang Subianto agar Jaminan Hari Tua (JHT), yang mencapai 75 persen dari total dana Jamsostek, diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). Sedangkan pengelolaan jaminan kesehatan, kecelakaan, dan kematian ditawarkan kepada perusahaan asuransi BUMN dan swasta.

Padahal "cara lama" itulah yang dipakai Latief. Ia jadi "bintang media massa" selama berpekan-pekan sejak pertengahan minggu ketiga November 1997. Alkisah, saat itu, Komisi V DPR sibuk dalam sebuah acara dengar pendapat. Mendadak, para anggota komisi tersentak kaget tatkala lima lembar dokumen beredar di ruangan itu. Sa]ah satunya memuat surat pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja, Dr. Yudo Swasono, kepada Direktur Utama Jamsostek pada waktu itu, Abdullah Nusi.

Dalam surat yang dibuat atas nama Menteri Abdul Latief, Yudo menyebutkan, sesuai dengan arahan lisan menteri, ada penambahan dana untuk menyusun RUUK sebesar Rp 2 miliar. "Yang semula Rp 5,1 miliar menjadi Rp 7,1…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.