Omar Dani Panglima Termuda, Lalu Terpidana

Edisi: 17/38 / Tanggal : 2009-06-21 / Halaman : 61 / Rubrik : MEM / Penulis : Nunuy Nurhayati, ,


”… menghukum tertuduh dengan hukuman mati dengan tambahan mencabut haknya atas pemilikan sejumlah tanda jasa, memecat tidak dengan hormat dari pangkat dan segala jabatannya.”

LEBIH dari 40 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Tapi kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) itu masih terus terngiang di kepalanya. Hari itu Sabtu, 24 Desember 1966, di gedung Mahmilub (sekarang Bappenas, Jakarta), vonis dijatuhkan. Hakim menyatakan dia terbukti bersalah melakukan pemberontakan dan pemufakatan jahat untuk melakukan makar terhadap pemerintah Indonesia pada 30 September 1965. Kariernya hancur lebur.

Dialah Omar Dani, Menteri/Panglima Angkatan Udara 1962-1965. Usianya sekarang 85 tahun. Di sebuah rumah di kawasan Buncit Indah, Jakarta Selatan, Omar melewati hari tua bersama sang istri, Sri Setiani, 72 tahun, janda Komodor Udara Soesanto, yang dinikahi enam tahun lalu. Istri pertama Omar Dani, Sri Wuryanti, telah meninggal pada 1998, tiga tahun setelah Omar bebas dari penjara. Sesekali dia berkumpul dengan empat anak, sembilan cucu, dan seorang cicit. Sekadar bersenda-gurau atau berkaraoke bersama.

Ketika Tempo berkunjung ke rumahnya pada Mei lalu, Omar baru dua minggu keluar dari Rumah Sakit Tebet, Jakarta Selatan. Hepatitis C, penyakit yang diidap sejak di penjara, kembali kambuh. Jantung dan lambungnya juga bermasalah. Selama sebulan dia dirawat, sepuluh hari di antaranya di ruang ICU. ”Kondisinya waktu itu sangat parah. Bapak sempat koma,” kata Chica, salah seorang putrinya.

Walau telah kembali ke rumah, Omar masih terus ditopang obat-obatan. Usus dan lambungnya cuma bisa menerima susu dan bubur khusus. Dia hanya bisa berbaring di dipan rumah sakit yang diboyong keluarganya ke kamarnya. Sebuah televisi 21 inci diletakkan di atas lemari persis menghadap tempat tidur dan jadi sumber hiburannya, dari berita sampai reality show. Tubuh lelaki yang dulu dikenal sebagai pria berperawakan tinggi tegap dan berwajah setampan pemain film asal Mesir, Omar Sharif, itu terlihat kurus. Dari balik selimut, Omar memperlihatkan kedua tungkainya yang menghitam dan sedikit bengkak karena gangguan pembuluh darah.

Meskipun mulai kesulitan berbicara, Omar masih ingat hampir semua peristiwa yang dialaminya. Tapi peristiwa yang paling dia ingat adalah vonis di depan mahkamah militer tersebut. ”Pas sidang Mahmilub, saya sedang berpuasa. Waktu itu Ramadan pada Desember, tepat pada malam Natal. Begitu palu hakim diketukkan, tepat pukul 12.00 malam, lonceng gereja di samping gedung Mahmilub berbunyi. Dipersatukannya peristiwa suci dua agama itu memberi saya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…