Jangan Sampai Ada Gereja Tiban
Edisi: 44/19 / Tanggal : 1989-12-30 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis :
Di Perumnas Banyumanik, Semarang Selatan, berdiri Gereja St. Maria Fatima. Di sana, Mgr. Justinus Kardinal Darmojuwono, 75 tahun, tinggal menghabiskan sisa hidupnya. Kardinal pertama, bahkan satu-satunya kardinal bangsa Indonesia itu, kini, memimpin sebuah paroki kecil dengan jemaat empat ribu orang. Setelah melepaskan jabatan sebagai uskup agung, ia memilih menjadi uskup biasa yang langsung melayani umatnya. Dalam menuturkan sebagian kisah hidupnya kepada Wartawan TEMPO Heddy Lugito, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, yang sering diselingi bahasa Jawa dan kadang bahasa Belanda.
SEBAGAI anak desa, saya senang dan bangga. Keluarga kami tidak kaya, namun cukup, boleh dikatakan harmonis. Hubungan Ayah, Ibu, dan anak-anak sungguh menyenangkan. Disiplin dalam keluarga sangat terjaga, kami semuanya harus kerja keras.
Di samping sekolah, saya, kakak, dan adik saya harus kerja di rumah. Setelah pulang sekolah, ada yang kerja di sawah, memelihara tanaman di kebun, atau mencarikan rumput untuk makanan ternak. Karena kami memelihara beberapa ekor kambing, kerbau, dan sapi. Saya sendiri mendapat tugas memelihara tiga ekor kerbau.
Di masa anak-anak hingga usia remaja, saya tinggal di Desa Kliwonan, Godean, kira-kira 13 kilometer sebelah barat Kota Yogya. Jadi, tidak jauh dari desa kelahiran Pak Harto. Dan saya pun dilahirkan di desa itu, 2 November 1914. Pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia I, jadi, zaman rekoso (sulit). Pada saat kelahiran saya, menurut cerita Ayah, makanan susah didapat. Di mana-mana orang kekurangan.
Ayah adalah lurah Desa Surodikoro. Ibu bernama Ngatinah. Seperti juga pada umumnya wanita Jawa di masa itu, ibu saya menangani pekerjaan rumah dan ngopeni (mengasuh) putra-putrinya. Selain kerja di rumah, sesekali Ibu juga ke sawah dan kebun. Itu sudah makan banyak waktu. Dari pagi buta hingga mau tidur, Ibu tak pernah berhenti kerja, ada-ada saja yang dilakukannya.
Sebenarnya, saudara kandung saya ada delapan orang, tapi dua orang kakak saya meninggal waktu kecil. Saya tidak sempat mengenalnya, juga tak ingat siapa namanya. Dari semua saudara saya yang hidup, saya ini anak nomor dua. Kedua kakak saya laki-laki bernama Djamad dan Djanis. Saya sendiri sebenarnya bernama Djamin, tapi teman-teman sekolah saya memanggil Imin. Adik saya bernama Saminah dan Djamal, yang paling bungsu perempuan bernama Muginah.
Kedua orangtua saya bukan Katolik, tapi juga tidak salat, ya, karena dia Kejawen. Dalam keluarga, kami biasa bikin macam-macam slametan (kenduri). Kalau kebetulan ada anggota keluarga yang meninggal, keluarga kami mengadakan slametan, membikin tumpeng, mengundang orang dan santri untuk ndaros (membaca) Quran.
Kedua orangtua saya sungguh-sungguh religius. Artinya, setiap malam Jumat, Ayah selalu ngobong menyan, nyebar kembang di tempat yang dianggap keramat. Ketika saya tanya untuk apa Ayah melakukan hal itu, jawabnya: "Ya kanggo nyuwun marang ingkang murbeng jagad, supoyo olehe golek sandang pangan lancar. Supoyo anggonmu podo sekolah ugo lancar." (Ya untuk minta kepada Tuhan, agar mudah mencari sandang pangan. Supaya sekolahmu juga lancar).
Mungkin saja orang-orang di desa saya bisa disebut orang abangan atau kejawen. Hanya ada satu masjid kecil di sana, gereja tak ada.
Tatkala masih SD, di desa saya hanya ada tiga orang yang masuk sekolah, termasuk saya. Saya sekolah di Sekolah Dasar Desa Gedongan, waktu itu, namanya sekolah Ongko Loro, kira-kira lima kilometer dari desa. Saya selalu berjalan kaki bila pergi ke sekolah. Melompat-lompat di atas balok rel lori tebu. Jika pulang sekolah bersama teman-teman, kami memilih jalan terobosan yang dekat. Melintasi galengan (pematang) sawah dan ladang.
Enaknya, kalau tebu sudah mulai tua. Saya dan teman-teman ngrampasi tebu, ha... ha.... Semua anak, waktu itu, sama. Kalau pulang sekolah, pasti nyolong tebu. Kami haus karena jalan kaki jauh. Kalau mau beli minuman, dilarang Ibu.
Waktu anak-anak, saya jarang sekali bermain dengan teman-teman sebaya. Karena setelah pulang sekolah, harus kerja. Waktu bermain cuma sebentar, paling-paling ramai-ramai mandi di kali pada sore hari. Setelah itu, ada tugas lain.
Sejak kecil, saya sudah terbiasa kerja keras, dari pagi buta hingga menjelang tidur. Meskipun kerja keras, saya senang dalam keluarga. Kami semua rukun, tak pernah cekcok. Di sore hari, kami sekeluarga makan bersama. Setelah makan, kami harus belajar.
Sejak masih SD, setiap malam, saya selalu belajar. Di rumah, saya belajar di meja bundar, diterangi lampu teplok. Dua tiga orang teman sekolah SD selalu datang belajar bersama. Seusai belajar, Ibu pasti menyuguhkan makanan kecil dan teh panas. Apa adanya, dari ketela, singkong, kimpul, semuanya hasil kebun sendiri.
Setelah lulus sekolah Ongko Loro (SD) pada 1931, kemudian saya diasramakan untuk sekolah guru pada Normall School di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Setelah lulus dari sekolah guru, lalu masuk Seminari Menengah, Yogya. Di Seminari, saya harus sungguh-sungguh serius. Karena Normall School dasar bahasanya Jawa, sedangkan di Seminari bahasanya Belanda, semuanya harus mengulang dari kelas satu. Tapi, saya juga banyak dibebaskan dari beberapa mata pelajaran.
Dari seluruh keluarga, yang Katolik cuma dua orang. Saya dan kakak saya yang bernama Janis. Dia lebih dulu. Pada mulanya, Ayah dan Ibu juga bukan Katolik, tapi akhirnya beliau berdua mengikuti jejak saya. Ayah dan Ibu meninggal setelah memeluk Katolik.
Ayah meninggal pada 1952. Pada saat usia tua dan sudah sakit-sakitan, Beliau minta untuk saya baptis. "Aku ingin mengikuti jejakmu. Aku minta dibaptis. Tapi, aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu cuma para nabi," ucapnya. Sebuah kitab yang ditulis dengan huruf Arab yang banyak dimiliki keluarga Jawa pada masa itu. Kitab itu berisi semacam riwayat hidup para nabi dan rasul.
Setengah tahun kemudian setelah saya baptis, Beliau meninggal dan dimakamkan dengan tata cara agama Katolik. Dimasukkan dalam peti mati, dan diberi pakaian yang bagus. Pada saat upacara pemakaman, saya pun hadir. Waktu itu, Ibu berbisik kepada saya: "Kalau kelak aku meninggal, dandani juga seperti ayahmu. Dimasukkan peti, pakai baju segala." Ibu meninggal tepat di hari Natal 1963.
Sesungguhnya, baptis itu tidak dapat menjamin seseorang untuk naik surga. Tatkala saya masih belajar di Seminari Yogya, dilaksanakan Natalan yang bagus sekali. Kalau ibu saya menyaksikan peristiwa itu, tentu saja, tidak akan bisa merasakan dan menghayatinya. Karena, ya, dunianya lain. Tapi, kalau ada surga, tentu, ayah dan ibu saya naik surga. Tidak hanya saya yang mengatakan bahwa Ayah-Ibu itu orang baik. Para tentangga, dulu, menyanjung Ayah-Ibu saya memang orang baik. Hampir semua tetangga saya beranggapan demikian. Kerajaan Allah bukan hanya ikut gereja. Kerajaan Allah adalah untuk siapa saja yang melakukan kehendak Allah. Kalau orang itu baik dan berbudi luhur, tentu,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…