Tiga Zaman, Tiga Kehidupan

Edisi: 51/39 / Tanggal : 2011-02-20 / Halaman : 53 / Rubrik : MEM / Penulis : Suryani Ika Sari , Ninin Damayanti ,


Sihir lagu lagu itu seolah tak lekang oleh zaman. Penggemar Titiek Puspa pun membentang dari kalangan rakyat jelata sampai penghuni Istana. Maka rasanya tak salah bila menyebut nenek yang tetap cantik di usia 73 tahun ini sebagai salah satu legenda hidup musik di Tanah Air.

Di kalangan penyanyi yang lebih muda, dia dikenal pula sebagai senior yang bijaksana. Dua pekan lalu Suryani Ika Sari dan Ninin Damayanti dari Tempo mewawancarai Titiek Puspa. Dia menuturkan perjalanan karier, kisah cinta yang tak selalu bahagia, sampai kedekatannya dengan kalangan Istana.

Hari itu, 1 November 2010, menjadi karunia yang luar biasa buat saya. Tuhan masih memberi kesempatan bagi saya untuk merayakan ulang tahun yang ke 73. Saya bisa berkumpul dengan anak anak, menantu, cucu, serta kerabat. Kali ini saya tak membuat acara wah seperti tiga tahun lalu, saat menggelar konser ”Karya Abadi Sang Legenda 70 Tahun Titiek Puspa”.

Meski sederhana, ulang tahun kali ini terasa lebih bermakna. Saya bisa ber ha ha hi hi dengan anak, menantu, cucu, dan, cicit dengan bebas. Kali ini keluarga memang minta untuk merayakan secara khusus, tanpa tamu undangan. Mereka sering protes, tiap kali saya ulang tahun justru tersisih karena saya sibuk meladeni tamu.

Perayaan ulang tahun itu menjadi ”hidup ketiga” buat saya dalam tiga zaman yang telah saya lewati. Seolah menjadi hidup baru, setelah saya berkutat dengan kanker rahim—penyakit yang sering dikatakan mematikan. Setahun saya berjuang untuk sembuh dari penyakit yang menurut vonis dokter di Rumah Sakit Mount Elisabeth, Singapura, itu sudah memasuki stadium tiga.

Semula saya sudah pasrah kepada­ Yang Di Atas. Kalau diberi kesembuhan, ya matur nuwun Gusti. Jika saya harus menghadap Gusti, ya monggo. Eh, kok, di tengah perjuangan saya melawan penyakit itu, ada yang memberitakan saya sudah meninggal. Tapi saya ambil hikmahnya, ternyata banyak orang yang cinta dan peduli terhadap saya.

Pengobatan di rumah sakit yang sangat melelahkan dan menyakitkan saya jalani, terutama saat menjalani kemoterapi. Rasanya seperti ada rantai kapal yang keluar dari alat vital saya. Sakit setengah mati. Gusti memang Mahabaik. Di tengah keputusan saya untuk kembali ke Indonesia, saya mendapat secercah harapan. Anak saya menyarankan pengobatan alternatif melalui meditasi di Hemaloka. Setelah meditasi selama 13 hari, dokter menyatakan saya clean dari kanker. Sebuah anugerah dan mukjizat dari Yang Di Atas buat saya.

l l l
Saya lahir di Desa Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan, 1 November 1937. Bapak, Tugeno Puspowidjojo, saat itu sedang menjalani tugas sebagai mantri di sebuah rumah sakit Belanda di sana. Saya diberi nama Sudarwati.

Ibu saya, Siti Mariam, ikut ke mana saja…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…