Rosihan Anwar: Wartawan Kebetulan

Edisi: 02/40 / Tanggal : 2011-03-20 / Halaman : 63 / Rubrik : MEM / Penulis : Purwani Diyah Prabandari, Cheta Nilawaty.,


Rosihan Anwar adalah sosok yang penuh warna. Pria kelahiran Kubang nan Dua, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922 ini menulis sajak, bermain sandiwara dan film, serta berbicara hampir tentang apa saja di diskusi dan seminar-seminar. Dan—ini yang penting—tiga perempat hidupnya dihabiskan dalam dunia jurnalistik.

Ia wartawan yang melintasi beberapa zaman: masa penjajahan Jepang, pemerintahan Sukarno, Soeharto, hingga masa reformasi. Dimulai di surat kabar Asia Raya, ia kemudian mendirikan majalah Siasat, juga koran Pedoman. Dia juga pengajar wartawan.

Rosihan disayang, dipuji, dicemooh, dimaki. Dia juga dibungkam. Bahkan tak hanya satu-dua kali.

Rumah sakit adalah tempat yang mungkin paling sering dikunjunginya sekarang. Ketika tulisan ini diturunkan, ia masih terbaring di ICCU Rumah Sakit MMC Kuningan, karena gangguan jantung. Rosihan, kini 89 tahun, masih menulis. Buku terakhirnya dalam proses penerbitan. Dia juga terus bicara. Panjang-lebar, dalam dua pertemuan, dia mengisahkan pernak-pernik hidupnya kepada wartawan Tempo Purwani Diyah Prabandari dan Cheta Nilawaty.

Hari itu libur Maulud Nabi. Kediaman wartawan senior Rosihan Anwar di pinggiran Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, yang selalu ramai itu terlihat sepi. Pintu pagar dan rumah sama tertutup.

Tak lama, sosok yang ditunggu muncul: berbaju batik, necis. ”Sebenarnya saya nih agak sesak,” katanya. Inilah wawancara yang tertunda. Beberapa kali wawancara terpaksa dibatalkan karena ia harus ke rumah sakit. Hari itu, Selasa, 15 Februari, ia bercerita panjang: dua setengah jam.

l l l
Sejak kecil hingga sekolah menengah atas di zaman Belanda, sama sekali tidak terbayang dalam pikiran saya untuk menjadi wartawan. Dulu, cita-cita saya meneruskan belajar ke Universitas Leiden, Belanda. Sebab, saya belajar di sekolah AMS A bagian klasik Barat. Jadi saya belajar bahasa Latin, budaya Yunani.

Cita-cita ini tidak pernah kesampaian. Perang dengan Jepang pecah, pada 7 atau 8 Desember 1941, maka menguaplah segala yang saya bayangkan tadi. Habis. Khalas.

Di Jakarta, saya mesti berusaha bekerja. Kiriman wesel dari ayah saya, Anwar, yang pada zaman kolonial menjadi anggota pangreh praja Belanda—demang di Sumatera Barat, berarti sama dengan bupati di Jawa—berhenti. Jadi, saya mesti cari duit untuk hidup mandiri.

Di surat kabar, ada pengumuman mencari pemuda-pemuda tamatan sekolah menengah atas untuk mengikuti kursus kilat menjadi jaksa yang dilakukan pemerintah Jepang atau Gunseikan. Tempo latihan enam bulan. Selama belajar,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…