Satu Mario, Tiga Timor
Edisi: 41/42 / Tanggal : 2013-12-15 / Halaman : 72 / Rubrik : MEM / Penulis : Purwani Diyah Prabandari, Jose Sarito Amaral,
JARUM jam hampir menunjuk angka 09.30. Mario Viegas Carrascalao memasuki lobi Hotel Timor di seberang Pelabuhan Dili. "Belum terlambat, kan?" kata mantan Gubernur Timor Timur ini. Provinsi yang dulu dipimpinnya itu kini telah menjadi negeri berdaulat, Timor Leste, setelah jajak pendapat pada 1999. Mario melepas kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara Timor Leste.
Tak sulit bertemu dengan Mario. Dia kini memiliki banyak waktu luang. "Saya sudah 76 tahun. Sudah saatnya istirahat," ujarnya sambil tertawa. Sejak mundur dari jabatan Wakil Perdana Menteri Timor Leste sekitar tiga tahun lalu, ia tak lagi memiliki segudang kegiatan.
Awal November lalu, Mario menerima Purwani Diyah Prabandari dan fotografer Subekti dari Tempo dalam dua kesempatan. Pada pertemuan pertama, Rabu pagi di Hotel Timor, dia sanggup berbicara sekitar empat jam tanpa jeda, bahkan tak minum. Dia hanya berhenti bicara dua kali saat menerima telepon dari istrinya, Maria Helena Stoffel Cidrack Viegas, yang mengingatkannya untuk makan siang. Pertemuan kedua, pada Kamis sore, berlangsung di rumahnya, tak jauh dari Bandar Udara Presidente Nicolau Lobato. Di sana ikut bergabung kontributor Tempo di Dili, Jose Sarito Amaral. Mario tampak bugar meski mengidap penyakit jantung dan lever.
***
Ayah saya, Manuel Viegas Carrascalao, adalah orang Portugal yang dibuang ke Timor karena melawan pemerintah. Sedangkan ibu saya, Marcelina Guterres, orang Timor asli. Dari 12 bersaudara, hanya kakak saya, Manuel; adik saya, Joao; dan saya yang menggeluti dunia politik.
Sejak kecil, kami sudah harus bekerja. Ayah saya mengurus perkebunan. Baru pada umur 12 tahun, saya masuk sekolah dasar. Saya berhasil lulus dalam satu tahun, sesuai dengan yang disyaratkan Ayah. Setelah sekolah menengah atas, tak ada pendidikan lanjutan. Saya meneruskan pendidikan ke Portugal hanya dengan bekal 1.800 escudo (waktu itu senilai US$ 20). Untuk bertahan hidup, saya bekerja di kantin karena bisa makan siang dan malam gratis. Saya lulus menjadi insinyur kehutanan dan menjadi orang Timor Portugal kesepuluh yang mencapai gelar sarjanaââ¬âselama 400-an tahun penjajahan Portugal.
Pada 1970, saya, istri, dan anak saya, Pedro Miguel Stoffel Cidrack Viegas Carrascalao, pulang ke Timor Portugal. Beberapa bulan kemudian, saya diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan.
Ketika Revolusi Bunga menjatuhkan diktator Salazar-Caetano di Lisabon, saya ikut membentuk Serikat Demokratik Timor (UDT) bersama Manuel dan Joao Carrascalao pada 11 Mei 1974. Waktu itu, pemerintah di Dili mengizinkan pembentukan partai politik. Mungkin saat itu saya satu-satunya orang yang paham partai politik karena pengalaman saya di Portugal.
April sebelumnya, Francisco Lopes da Cruz, yang kemudian menjadi Presiden UDT, pergi ke Jakarta untuk mencari dukungan dan persahabatan, bukan untuk berintegrasi. Ia ditemui orang Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Kolonel Aloysius Sugiyanto.
Pada 20 Mei 1974, terbentuk ASDT, yang…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…